Rabu, 23 Juli 2008

HATI-HATI TERHADAP TAWARAN ASURANSI CUCI DARAH (HEMODIALISIS)

HIMBAUAN YAYASAN PEDULI GINJAL UNTUK MASYARAKAT

Sebagai perwujudan dari salah satu tujuan YAYASAN PEDULI GINJAL (YADUGI) yaitu untuk memberikan penyuluhan tentang kesehatan ginjal ke publik, bersama ini kami mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dan teliti, bila ditawarkan asuransi kesehatan (atau kegiatan penghimpunan dana untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat) yang khusus menanggung biaya cuci darah (hemodialisis). Himbauan ini ditujukan pula kepada pihak-pihak yang memasarkan produk asuransi (atau sejenisnya) seperti disebut di atas.

Mengapa? Karena dalam pengamatan YADUGI yang telah sembilan tahun menjalankan kegiatan cuci darah secara intensif dan ekstensif – penggunaan dan analisis data yang menjadi dasar utama dibuatnya skim asuransi kesehatan (atau sejenisnya) yang menanggung biaya cuci darah tersebut, sebaiknya telah diuji secara ilmiah. Sedangkan data yang melandasi skim ini kebanyakan diperoleh dari sumber sekunder yang kurang dapat dipertanggung jawabkan akurasi dan validitasnya.

Penderita gagal ginjal kronik (GGK) yang harus menjalankan cuci darah (dan cangkok ginjal) di Indonesia, jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup termasuk ragam dan jenis makanan yang disantap – di samping kekurangan pengetahuan masyarakat tentang hal-hal primer dan sekunder yang dapat menyebabkan GGK.

Biaya cuci darah terus meningkat dari waktu ke waktu. Saat ini diperkirakan biaya satu kali cuci darah minimal Rp. 550,000.-. Bila penderita GGK harus melakukan cuci darah dua kali seminggu yang berarti delapan kali sebulan, maka harus membayar biaya sebesar Rp. 4,400,000.- per bulan atau Rp. 52,800,000.- per tahun, seumur hidup.

Mengingat biaya cuci darah yang mahal untuk sebagian terbesar rakyat Indonesia pada satu pihak dan semakin banyaknya jumlah penderita GGK di pihak lain, maka bila ada tawaran asuransi yang menanggung biaya cuci darah, hampir dapat dipastikan akan diminati. Oleh sebab itu, dalam kaitan ini YADUGI menghimbau agar masyarakat yang ingin membeli polis asuransi ataupun membayar iuran JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat), seyogianya berhati-hati dan teliti. Karena, jangan sampai terjadi dana untuk membiayai cuci darah, hanya janji saja – yang tentu saja tidak diharapkan.

YADUGI juga menghimbau, kepada Perusahaan Asuransi dan Badan Pelaksana (BAPEL) JPKM yang menjalankan program pertanggungan cuci darah, agar bersedia membuka dan menguji data dasar yang digunakan untuk perhitungan pembiyaan (asuransi) cuci darah ke suatu panel yang disarankan dibentuk oleh Departemen Kesehatan dan PERNEFRI. Sekali lagi, YADUGI menduga kuat bahwa analisis data dasar yang digunakan lebih banyak memanfaatkan sumber sekunder seperti dari internet. Yang tentu saja sulit dipertanggung jawabkan secara ilmiah, khususnya untuk kasus Indonesia.

Demikianlah himbauan YADUGI, semoga mendapat perhatian dari masyarakat, pemerintah dan perusahaan serta lembaga terkait.

Hormat kami,

AMIR KARAMOY

Ketua Pengurus

Press release ini disampaikan pula kepada:

Menteri Keuangan RI

Menteri Kesehatan RI

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Perhimpunan Nefrologi Indonesia

Ikatan Dokter Indonesia

Asosiasi Perusahaan Asuransi Indonesia

Kamis, 10 Juli 2008

PP NO. 42/2007: PEMBOROSAN YANG MENIMBULKAN KETIDAK PASTIAN USAHA?

Setelah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 42 tahun 2007, pada sekitar bulan Maret 2007 menggantikan PP no. 16 tahun 1997 tentang “Waralaba”, Departemen Perdagangan langsung merancang perubahan peraturan menteri (permen) perdagangan no. 12/M-DAG/Per/3/ 2006 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba” yang baru berjalan hampir 2 tahun. Permen ini menggantikan SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 yang adalah aturan petunjuk PP no. 16/1997 yang digantikan PP no. 42/2007.

Seharusnya Departemen Perdagangan mengeluarkan PP no. 42/2007 dahulu, baru permen dibuat, bukan sebaliknya, mengeluarkan permen perdagangan no. 12/2006 terlebih dahulu, yang dasar hukum adalah PP no. 16/1997. Akibatnya, dengan penggantian PP, otomatis permen yang baru berumur hampir 2 tahun tersebut, dirubah lagi.

Di samping itu, PP no. 42/2007 yang diberlakukan efektif tanggal 23 Juli 2998, tampaknya juga tidak akan berlangsung lama. Mengapa? Karena bila RUU tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) disahkan pada tanggal 10 Juni 2008 menjadi UU, menggantikan UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha Kecil”, maka otomatis PP baru yang ini (PP no. 42/2007) harus dirubah lagi yang berakibat permen yang baru harus kembali dirubah untuk ketiga kalinya. Bila ini terjadi, maka benar-benar merupakan suatu pemborosan yang potensial menimbulkan ketidak pastian hukum dalam usaha waralaba.

Dari kejadian di atas, terkesan bahwa pembuatan suatu regulasi tampaknya bukan semata-mata karena kebutuhan riel dunia usaha (waralaba), tetapi lebih dalam rangka untuk mencapai target program pemerintah dan untuk “menghabiskan bujet yang telah terlanjur dialokasikan”.

Hal lainnya, yang menurut saya masih menjadi pertanyaan adalah dalam PP no. 42/2007, waralaba tidak lagi diartikan sebagai penggunaan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) dari pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee), tetapi penggunaan sistem bisnis dengan suatu ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil. Waralaba, dalam PP no. 42/2007 adalah hak khusus atas suatu sistem bisnis yang dimiliki pemberi waralaba.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Hak Khusus dilindungi UU, sehingga siapapun yang membajak, menjiplak atau menggunakan tanpa ijin pemberi waralaba dapat dikenai sanksi hukum? Jawabanya tidak!

Untuk lebih jelas saya kutib pengertian waralaba yang baru yaitu: “Usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karekteristik khusus dari Pemberi Waralaba”.

Dari pengertian waralaba di atas, terus terang, saya sulit mengukur dan bingung siapa yang dapat menentukan “perbedaan yang tidak mudah ditiru” dan “membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud?”. Bila saya berandai, hak khusus atas suatu sistem bisnis yang diperdagangkan – katakanlah – dilindungi hukum, lantas bagaimana mengukur untuk mengetahui bahwa hak khusus tersebut telah ditiru atau digunakan orang lain? Dengan rumusan lain, sebagai misal, bagaimana membedakan sistem bisnis rumah makan yang menyajikan makanan Sunda atau Padang yang merek dagangnya berbeda? Bagi saya yang membedakannya adalah terletak pada persepsi konsumen terhadap merek, bukan sistem bisnisnya. Mengapa? Karena konsumen cenderung membeli produk/jasa sejenis, karena pilihan merek. Merek-lah yang memantulkan sinyal kepada konsumen atas bekerjanya sistem bisnis yang proven. Merek yang dikenal oleh pelanggan atau pasar, bukan sistem bisnisnya.

Kemudian, dengan perkembangan ilmu dan teknologi (hardware dan software) dewasa ini dan keterbukaan informasi, sistem bisnis apa yang tidak dapat ditiru? Oleh karenanya, bila hak khusus atas sistem bisnis tidak dilindungi hukum, maka setiap orang dapat saja meniru atau menjiplak. Tentunya saja ini akan sangat merugikan pemberi waralaba, sebagai pemilik hak sistem bisnis.

Kritik lainnya terhadap PP “Waralaba” yang baru ini adalah, mengenai kriteria, “terbukti sudah memberikan keuntungan”. Apakah usaha tersebut benar “sudah menguntungkan” tidak jelas siapa yang menilai. Memang dalam rangka penawaran waralaba, pemberi waralaba wajib memiliki prospektus yang mencantumkan laporan keuangan dua tahun terakhir. Tetapi tidak ada penjelasan laporan keuangan itu audited atau unaudited. Apabila laporan keuangan tidak diaudit oleh kantor akuntan (publik), lantas apa pegangan (calon) penerima waralaba atas keabsahan laporan keuangan tersebut?

Dalam PP no. 16/1997 yang lama, secara tegas dicantumkan perjanjian waralaba dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Namun, dalam PP baru (no. 42/2007) ditulis, perjanjian waralaba yang berbahasa asing harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan memperhatikan hukum Indonesia. Ketentuan ini, menurut saya, merupakan kemunduran. Mengapa? Karena di kebanyakan negara – yang saya ketahui – setiap aturan yang berkaitan dengan UKM, menggunakan hukum nasional, tidak sekedar “memperhatikan”. Ketentuan menggunakan hukum nasional setempat menunjukan keberpihakan negara melindungi UKM lokal.

Saya juga berpendapat, ada beberapa substansi PP baru ini (PP no. 42/2007), mungkin tanpa disadari, justru potensial menghambat tumbuhnya UKM menjadi pemberi waralaba nasional yang handal, karena beratnya persyaratan yang ditetapkan dan tentu saja akan sulit dipenuhi oleh usaha kecil. Misalnya, aturan tentang “bimbingan dalam bentuk pelatihan, penelitian dan pengembangan” dan seterusnya.

Dalam perjalanannya ke depan, tampaknya hanya perusahaan –perusahaan besar yang akan sanggup menjadi pemberi waralaba, suatu hal yang bertolak belakang dengan semangat dan maksud PP no. 42/2007 dibuat.

Sebagai penutup tulisan ini saya ingin menyarankan, dengan (akan) dicabut PP no. 42/2007 akibat diberlakukan UU tentang “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah” menggantikan UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha Kecil”, sebaiknya pemerintah merubah substansi aturan waralaba dengan memuat ketentuan yang benar-benar berpihak kepada UKM – yang sebagian telah diutarakan di atas. Patut pula dipertimbangkan untuk membuat UU tentang waralaba yang antara lain memuat ketentuan perlindungan atas Hak Khusus sistem usaha dan prinsip fair business practices, suatu subtansi yang menyebutkan bahwa perjanjian waralaba (& lisensi) tidak sepenuhnya dikecualikan dari UU no. 5 tahun 1999 (“Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat”).

Jakarta, 30 Juni 2008

Amir Karamoy

Ketua Dewan Pengarah WALI & Konsultan Waralaba/Lisensi Senior