Selasa, 21 Juli 2009

TIDAK SIGNIFIKAN DAMPAK TEROR BOM TERHADAP WARALABA

PRESS RELEASE

 

WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) menyatakan adalah tidak benar anggapan bahwa waralaba dari AS semakin tertekan masuk ke Indonesia seperti disampaikan oleh Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) di suatu harian ekonomi dan bisnis, dampak dari teror bom 17 Juli 2009 di hotel JW Marriot dan Rizt Carlton, Jakarta.

Dari pemantauan WALI, animo waralaba asing (termasuk dari AS) untuk masuk ke pasar Indonesia tidak berubah, kalaupun ada hambatan bukan akibat teror yang dilakukan oleh kelompok anti Pancasila, tetapi lebih karena terjadinya krisis finansial di AS di satu pihak, dan peraturan waralaba yang tidak konsisten yang cenderung berbenturan  antara pusat dengan daerah.

Investasi waralaba asing berbeda dengan penanaman modal asing langsung  (direct foreign investment).  Investasi waralaba di suatu Negara yang dilakukan pewaralaba asing (foreign franchisor), sama sekai tidak membawa kapital, tetapi terbatas pada HaKI (hak kekayaan intelektual) seperti merek, paten, rahasia dagang, hak cipta dan sebagainya. Pihak atau mitra lokal (terwaralaba lokal atau local franchisee) justru adalah yang mengeluarkan biaya berupa modal dan pendanaan.

Dengan demikian, pewaralaba asing (foreign franchisor) sama sekali tidak dirugikan secara finansial bila terjadi teror bom di suatu Negara yang berakibat perputaran roda  ekonomi terhambat.  Yang dirugikan justru adalah investor lokal atau mitra lokal – karena telah mengeluarkan modal (yang cukup besar) pada suatu pihak, di pihak lain, kemungkinan melambatnya ekonomi dan menurunnya pendapatan (revenues) dan profit.

Namun demikian, dalam pengamatan WALI, teror bom di Jakarta baru-baru ini tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan dan perputaran sektor riel,  khususnya waralaba dan lisensi (baik asing maupun lokal).

Pada tahun 2008 (sumber IFBM) ada sekitar 528 perusahaan waralaba (pewaralaba) dengan 41.385 gerai. Penjualan waralaba adalah sebesar Rp. 4,4 trilyun/bulan dan menyerap tenaga kerja sebanyak 890.128. Pertumbuhan waralaba pada tahun 2009 mencapai 16%.  Dari sumber lain, diperoleh angka yang lebih tinggi, yang menyebut penjualan waralaba mencapai Rp. 80 trilyun/tahun dengan jumlah perusahaan waralaba (pewaralaba) sekitar 700an. 

Waralaba pada hakekatnya adalah bisnis kreatif yang berbasiskan HaKI, menciptakan peluang berusaha (menumbuhkan wirausaha) sekaligus membuka kesempatan kerja dan memanfaatkan produk lokal serta sebagian terbesar dijalankan oleh pengusaha kecil dan menengah.

Berdasarkan data dan karekteristik usaha waralaba seperti tersebut di atas, maka sepatutnya Pemerintah lebih lagi mendorong waralaba dengan memangkas birokrasi perijinan, bermitra secara setara dengan komunitas waralaba dan lisensi (WALI) yang profesional, mewajibkan usaha waralaba (termasuk asing) yang beroperasi di daerah-daerah dimiliki dan dioperasikan oleh pengusaha lokal (menumbuhkkan gerai waralaba atau franchised outlets – bukan parent company owned outlets) serta mendorong ekspor waralaba/lisensi lokal ke pasar global.

 

Jakarta, 22 Juli 2009

Ketua Dewan Pengarah WALI,

 

 

AMIR KARAMOY


Jumat, 03 Juli 2009

KASUS PERSENGKETAAN HUKUM McDONAL'S DI INDONESIA (McDONALD'S LEGAL DISPUTE IN INDONESIA)

Catatan: Amir Karamoy



Kasus persengketaan (hukum) antara Bambang N. Rachmadi – yang dipersepsikan masyarakat sebagai terwaralaba (franchisee) pioneer dalam membuka pasar, sekaligus memperkenalkan / mempromosikan produk dan merek dagang (brand) serta membesarkan citra McDonald's di Indonesia – dengan McDonald's Corporation, pemilik/pemberi waralaba (franchisor) dari Amerika, berawal dari dikebirinya hak Bambang N. Rachmadi sebagai pemegang saham minoritas pada PT. Bina Nusa Rama (PT. BNR). Menurut Bambang N. Rachmadi, sebagai pemegang saham minoritas (10%) – melalui PT. Rezeki Utama – di PT. BNR hak-nya dilanggar seenaknya, oleh sebab itu langkah yang dilakukannya adalah menggunakan hak-nya yang tersisa, yaitu "(hak) menggugat" secara hukum untuk mendapatkan keadilan.


Persengketaan hukum ini menjadi terkait dengan waralaba, karena ditanda tanganinya perjanjian waralaba utama (master franchise agreemet) antara PT. Rekso Nasional Food (PT.. RNF) dengan McDonald's International Property Company yang mengalihkan hak PT. BNR membangun restoran siap saji McDonald's di Indonesia kepada PT. RNF – setelah PT. RNF membeli asset restoran PT. BNR. Bambang N. Rachmadi hanya diberikan hak untuk mengelola 15 restoran, sedangkan PT. RNF jauh lebih banyak (diperkirakan akan mengelola lebih kurang 200 restoran). Merasa jasa-jasanya selama ini dalam membesarkan McDonald's di Indonesia, seperti disebut di atas, diabaikan — Bambang N. Rachmadi merasa dirinya telah dilecehkan bahkan dianiaya oleh McDonald's Corp.


Demikialah pokok-pokok yang merupakan latar belakang terjadinya gugatan hukum yang dilancarkan Bambang N. Rachmadi terhadap McDonald's Corp. – salah satu perusahaan raksasa di dunia dari Amerika Serikat.


Kasus pergantian maupun penambahan pemegang saham pada perusahaan penerima waralaba asing di Indonesia sudah beberapa kali terjadi, misalnya Coca-Cola, Pizza Hut's, kemudian KFC dan lain-lain, relatif berlangsung baik-baik saja. Mengapa dalam kasus McDonald's terjadi sengketa hukum? Apa yang salah? Apakah persengketaan ini lebih banyak soal pelanggaran etika dalam kemitraan bisnis antara asing dengan nasional?


Secara subyektif saya lebih tertarik untuk melihat dampak masalah ini ke depan terkait posisi Indonesia dalam hubungan dengan "serbuan" waralaba asing ke pasar domestik. Misalnya, bagaimana dengan perlindungan penerima waralaba nasional atau lokal, setelah perjanjian waralaba utama (master franchise) berakhir? Apakah prinsip "clean break" dalam pemutusan dan pengahiran perjanjian waralaba seperti disebut dalam Permendag no. 31/2008 ditaati, dilaksanakan dan diawasi sebagaimana semestinya? Apakah ketentuan PP no. 42/2007 dan Permendag no. 31/2008 benar-benar ditaati oleh pelaku usaha waralaba, khususnya waralaba asing? Misalnya, ketentuan "choice of forum" atau "choice of law", sungguhpun telah ditetapkan wajib menggunakan hukum Indonesia, pada kenyataannya sering diingkari.


Saya menyakini persengketaan hukum antara Bambang N. Rachmadi dengan McDonald's Corp., pasti ada hal-hal yang dipersepsikan oleh masing-masing pihak sebagai kesalahan – tidak mungkin sepihak. Seperti kata pepatah, "tidak ada asap tanpa api" atau "ada aksi ada reaksi".


Untuk mendamaikan persengketaan (hukum) dalam keluarga besar McDonald's, saya atas nama WALI, kemudian menawarkan diri sebagai penengah (mediator), untuk mencari pemecahan masalah secara bermartabat dan menguntungkan kedua pihak (win-win solution) – tidak membawanya ke pengadilan. Namun pihak McDonald's menolak tawaran WALI dengan alasan meragukan independensi WALI - seperti disampaikan oleh Mr. Todd O. Tucker Vice President & General Counsel McDonald"s yang berkedudukan di Singpore. Berdasarkan ketidak netralan itu, WALI kemudian menawarkan Komite Tetap Waralaba & Lisensi KADIN INDONESIA sebagai Penengah, akan tetapi juga tidak ditanggapi. Suatu hal yang sangat disayangkan dan disesalkan.


Secara eksplisit maupun implisit isi surat penolakan dari McDonald's Corp. yang bekedudukan di Singapore terhadap itikad baik WALI, sangat kentara adanya indikasi yang menganggap persengketaan ini adalah masalah "kecil". Benarkah pesengketaan ini soal kecil? Jawabannya tidak! Karena bagi WALI persengketaan ini dapat menjadi preseden buruk, jika tidak terselesaikan dengan baik dan menguntungkan kedua belah pihak. Suatu preseden dimana waralaba asing dapat seenaknya mendikte pengusaha waralaba nasional/lokal yang telah bersusah payah membuka dan merintis pasar, membesarkan pangsa pasar, membuat citra yang positif atas merek waralaba asing tersebut – kemudian setelah itu "habis manis sepah dibuang". Di samping, mungkin tidak kita sadari bahwa sesama perusahaan nasional telah "diadu domba" oleh perusahaan raksasa waralaba dunia.


Saya berharap kabinet baru nanti yang dibentuk oleh Presiden terpilih, hasil pilpres 2009 akan menjadikan pasar Indonesia lebih ramah terhadap waralaba asing, sekaligus membuat perundangan yang benar-benar melindungi pengusaha waralaba nasional/lokal pada pasca bermitra dengan perusahaan waralaba asing, termasuk kewajiban untuk tidak hanya membentuk company owned outlets (yang dimiliki/dikuasai oleh hanya 1 perusahaan), tetapi minimal 50% franchised outlets yang dimiliki publik.


Jakarta, 1 Juli 2009



Catatan:


Beberapa saat setelah tulisan ini ditulis di blog, saya diberi tau tengah terjadi upaya perdamaian yang telah menunjukan titik cerah akan terjadi perdamain. Semoga demikian dan itulah WALI harapkan.























































Selasa, 16 Juni 2009

FRANCHISE PORTFOLLIO: ALTERNATIVE INVESTMENT IN REAL SECTOR

By Amir Karamoy *)

 

 

Franchise is a special right possesses individually or by an enterprise over a business system having a characteristic kind of business, with the objective of marketing goods or services which have been proven successful and can be utilized or use by other parties based on  a franchise agreement – as stated in the government regulation no. 42/2007 about Waralaba (franchise).

 

Based on the above comprehension, franchise can be defined as (1) a business system (in marketing) that has been proven successful; (2) this system can be utilized  or used by other party based on a franchise agreement. In short, franchise is  the use of a proven system of business by other parties, company or individual. The owner of this proven business system is called Franchisor and the party using it is the Franchisee. Most Franchisees are local and small business enterprises, while  Franchisor are medium or big companies.

 

Based on the data of 2008 (IFBM) there are 518 Franchisor companies in Indonesia which throughout the year 2008 had opened 41.381 outlets, consisting of franchised outlets and company owned stores – employing 890.128 workers. The franchise sales turn over reached up to Rp. 52,8 trillion (approximately US $ 52,8 million).  However, according to the Trade Minister franchise gross sales reached up to Rp. 80 trillion (US $ 80 million).

 

Foreign franchise holders are mostly interested in developing theirs company owned stores. While local franchise owners are more into franchised outlets. What is the differences between the two? Company owned store is a branch company or separately unit store owned and operated by the parent company (franchisor). While ownership of franchised outlet  can be from many parties  (company or individual). It can be illustrated contradictory as while company store is owned by only one enterprise, a franchised outlets by public.

 

Contextual to selling franchise portfolio by a franchisor,  building franchise outlets for the purpose of market expansion is often categorized as investing scheme in the real sector. The franchisor is the one who sells a franchise portfolio and the franchisee who buys is the investor.

 

At present,  there are two patterns in franchise investment (1) active investment; (2) passive investment. It is defined as active investment since the investor is fully involve in managing and operating his/hers daily business himself/herself (with supervision and guidance by the franchisor) so that the investment quickly returns and his/hers company grows with profit. 

 

In this pattern the franchisor receives a payment from the investor as franchise fee or up-front fee which is paid once and an on-going royalty taken from the gross revenues of franchisee's outlets based on certain percentage as agreed and noted in the franchise/license agreement. While in the passive investment the investor (franchisee) only provide the capital and or asset (store building and its equipment) and the franchisor conduct the daily business operation of the shop or outlet owned by the franchisee. Through this passive investment pattern, usually besides franchise fee or up-front fee payed to the franchisor, every 3 or 4 months net profit from the franchisee outlets sales is distributed. Percentage of the profit sharing has to be negotiated and agreed by the parties affiliated. For example, 40% - 50% for the franchisee and 60% -  50% for the franchisor or vice versa.

 

Empirically, through several financial simulation ever conducted, franchise return in F & B and retail, are more  stable and on the medium and long term range higher than when investing in the capital market. Investment in franchise portfolio is not influenced by economical  or political issues and relatively stable facing the fluctuated exchange rate as well as  fluctuated regional market stock rate.

 

Several studies in the U.S..A. (among others: The US Federal Trade Commission, Arthur Anderson, John Naisbitt) revealed that the success rate of franchise business is 92% while non-franchise business 38%. Why is  the investor (franchisee) success rate high? It is since the investor buys a business experience as mentioned above – which has been proven successful. Isn't it true that "experience is the best teacher?"

 

If franchise should become a scheme for investment in the real sector than it should be recommended that regulation concerning franchise be more strict. Especially regulation on franchise professionalism and transparency on the initial franchise offering. For example, when a franchise is being offered by a franchisor, it is a requirement to disclose its financial  report which has been audited by a certified accountant (public accountant). And each franchise permit given by the Trade Ministry or Trade Local Office, should be based on recommendation by a professional independent institution or body which function to assess the financial health of the franchise business, such as, financial stability and profitability. KADIN (Indonesia Chamber of Commerce and Industry) and WALI (Indonesia Franchising and Licensing Society) could take the role of establishing  the body mentioned above.

 

The strategy to create franchise portfolio as alternative investment scheme in the real sector is to develop a reliable and bonafide franchisor, proven to be beneficial. Why? Because only through an experienced and successful franchisor will derive flourishing sound investors or franchisees – never the opposite.

 

June 19, 2009

 

    *)

Indonesia Franchising and Licensing Society - WALI Chairman of The Board and Chairman of the National Committee on Franchising & Licensing - Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN). Founder and previously was Chairman of AFI (Indonesian Franchise Association).

 

 

 

 

 

 

 


Senin, 25 Mei 2009

WARALABA (FRANCHISE): SKIM INVESTASI DI SEKTOR RIIL - Oleh Amir Karamoy

Waralaba (franchise) adalah, "hak khusus yang dimiliki orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba" –  demikian bunyi PP no. 42/2007 tentang "WARALABA". Berdasarkan pengertian di atas, maka waralaba dapat dikatakan adalah (1) Sistem bisnis (dalam rangka pemasaran) yang telah terbukti berhasil. (2) Sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Secara singkat, dapat dikatakan, waralaba adalah "penggunaan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business) yang dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain" yaitu perusahaan atau perorangan.  Pemilik sistem bisnis (yang telah terbukti berhasil) tadi disebut pewaralaba (franchisor), sedang pihak yang memanfaatkan/menggunakan sistem bisnis disebut terwaralaba (franchisee). Kebanyakan terwaralaba adalah pengusaha kecil (lokal/nasional) dan pewaralaba adalah perusahaan menengah besar. 

 

Berdasarkan data tahun 2008 (Sumber: IFBM), ada 518 perusahan pewaralaba yang sepanjang tahun 2008 membentuk sebanyak 41.381 gerai (outlets), baik franchised outlets maupun company owned outlets dengan mempekerjakan 890.128 tenaga kerja. Perputaran penjualan waralaba, pada tahun 2008 mencapai Rp. 52,8 trilyun. Namun, menurut Departemen Perdagangan penjualan kotor waralaba mencapai Rp. 80 trilyun.

 

Waralaba pemegang merek asing  lebih tertarik membangun gerai usaha sendiri (company owned outlets) daripada membangun gerai waralaba (franchised outlets). Sedangkan waralaba pemilik merek nasional/lokal, kebanyakan lebih tertarik  membangun gerai waralaba.  Apa perbedaan gerai usaha sendiri dengan gerai waralaba? Gerai usaha sendiri adalah cabang perusahaan atau "anak" perusahaan yang dimiliki (owned) dan dikelola (operated) perusahaan induk, sedangkan gerai waralaba kepemilikan usahanya (ownership) dikuasai oleh banyak pihak, baik perusahaan ataupun perorangan..  Secara kontras, dapat ilustrasikan bahwa, gerai usaha sendiri dimiliki oleh hanya satu perusahaan, gerai waralaba dimiliki oleh publik.

 

Dalam konteks "menjual" portofolio waralaba oleh pewaralaba dalam rangka ekspansi pasar dengan membentuk gerai-gerai waralaba, acapkali dikategorikan sebagai suatu skim investasi di sektor riil.  Pewaralaba sebagai pihak yang menjual waralaba dan terwaralaba adalah pihak yang membeli atau berinvestasi dalam waralaba, disebut investor.  Saat ini ada dua pola yang dijalankan dalam investasi waralaba, yaitu (1) Investasi aktif; (2) Investasi pasif.  Disebut investasi aktif karena investor (terwaralaba) bekerja dan menjalankan sehari-hari usahanya sendiri (dengan supervisi dan bimbingan pewaralaba) agar investasinya itu cepat kembali dan bertumbuh secara menguntungkan. Investasi pasif, investor atau terwaralaba terbatas hanya menyediakan modal dan atau aset, pihak pewaralaba-lah yang menjalankan operasional usaha sehari-hari gerai atau toko milik terwaralaba. Dalam pola investasi aktif, pihak pewaralaba menerima pembayaran dari investor berupa franchise fee atau up-front fee (hanya dibayarkan satu kali di muka) dan on-going royality yang diambil dari hasil penjualan kotor (gross revenues) gerai terwaralaba, berdasarkan jumlah prosentasi tertentu, selama kedua pihak terikat perjanjian (waralaba).

 

Dalam pola investasi pasif, biasanya, selain franchise fee atau up-front fee dibayarkan kepada pewaralaba,  kemudian setiap 3 atau 4 bulan sekali dibagi keuntungan bersih dari hasil penjualan gerai terwaralaba. Besarnya prosentasi pembagian keuntungan (profit sharing), proporsinya dinegosiasikan dan disepakati para pihak. Misalnya, 40% atau 45% untuk terwaralaba dan 60% atau 55% untuk pewaralaba, atau dapat pula sebaliknya.  

 

Secara empiris, dari beberapa simulasi keuangan yang pernah dibuat, return waralaba, khususnya usaha waralaba rumah makan atau kafe dan ritel,  rata-rata lebih stabil dan bila dihitung dalam jangka menengah dan panjang, lebih tinggi dari pada bermain di pasar modal.  Investasi dalam waralaba sama sekali tidak terpangaruh oleh isyu-isyu ekonomi atau politik dan relatif stabil menghadapi turun naiknya nilai tukar uang. Di samping, tidak terpengaruh oleh turun-naiknya nilai saham di pasar regional.

 

Dari beberapa studi yang pernah dibuat di AS  (US Federal Trade Commission), terungkap bahwa tingkat keberhasilan usaha (business success rate) waralaba rata-rata mencapai 92%, sedang usaha non-waralaba hanya 38%. Mengapa tingkat keberhasilan sebagai investor (terwaralaba) tinggi? Karena, investor "membeli pengalaman usaha" – seperti disebut di atas – yang telah terbukti sukses dan menguntungkan. Bukankah "pengalaman adalah guru yang baik?"  

 

Bila waralaba ingin dijadikan skim investasi di sektor riel, disarankan agar aturan tentang waralaba lebih diperketat. Khususnya aturan profesionalitas  pewaralaba dan transparansi dalam penawaran waralaba (initial franchise offering), lewat dikeluarkannya suatu regulasi. Misalnya, setiap pewaralaba, ketika menawarkan waralabanya, diwajibkan untuk membuka (disclose) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Dan, setiap pemberian  surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) oleh Departemen Perdagangan (atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah), harus berdasarkan rekomendasi suatu badan independen yang profesional – dimana badan ini bertugas melakukan penilaian tingkat kesehatan usaha pewaralaba. Mengapa Badan independen ini diperlukan? Karena, Departemen Perdagangan maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah-daerah sudah sibuk dengan rutinitas pekerjaaannya sehari-hari oleh sebab itu, dikuatirkan tidak dapat fokus dalam membina usaha waralaba.  Adanya Badan independen yang operasionalnya dibiayai sendiri, tidak mengambil anggaran negara/daerah, akan lebih fokus dalam membina dan mengembangkan waralaba. KADIN dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) dapat berperan dalam pembentukan Badan dimaksud di atas. Melalui pembentukan Badan ini pula, maka strategi yang akan ditempuh dalam rangka menjadikan waralaba sebagai skim investasi di sektor riel adalah menumbuhkan terlebih dahulu pewaralaba yang sehat, bonafid dan telah terbukti  menguntungkan. Mengapa? Karena  hanya dari pewaralaba yang telah berhasil akan tumbuh berkembang terwaralaba yang sukses atau investor yang mendapatkan capital gain yang tinggi – tidak pernah sebaliknya.

 

Selain itu, disarankan otoritas perbankan segera menyalurkan kredit murah bagi usaha kecil, khususnya untuk terwaralaba.  Belajar dari AS misalnya, Presiden Obama telah mengeluarkan suatu kebijakan khusus  untuk mendorong berkembangnya waralaba sebagai bagian dari recovery package di AS. Badan yang membiayai usaha kecil menengah (termasuk waralaba) yaitu, Small Business Administratiom (SBA) telah diperintahkan untuk meningkatkan jaminan kredit SBA dan memperkcil fees (increasing the SBA loan guarantees, lowering fees).

 

Pengucuran kredit untuk waralaba, resikonya jauh lebih rendah (lower-risk) dibandingkan dengan usaha independen.  Terlebih apabila adanya ketentuan yang mewajibkan pewaralaba dalam mendapatkan STPW, harus memiliki rekomendasi dari badan independen seperti diusulkan di atas.  Dengan demikian, pihak bank tidak perlu ragu untuk mengucurkan kreditnya, karena perjalanan bisnis terwaralaba terus didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba yang sudah terbukti berhasil dan bonafid. Pendampingan yang diberikan pewaralaba berujung kepada tingkat keberhasilan usaha terwaralaba semakin besar dan pada gilirannya tingkat resiko kredit menjadi lebih rendah daripada usaha non-waralaba.

 

Mudah-mudahan gagasan di atas didengar dan mendapat perhatian dari pihak yang membuat regulasi.

 

Jakarta, 26 Mei 2009

 
 


 

Sabtu, 09 Mei 2009

TUNTUTAN PROFESIONALITAS CALEG

 

 

Kecocokan karakter dasar (basic character) dengan minat (interest) seseorang terhadap suatu pekerjaan atau profesi biasanya akan membawa keberhasilan dalam kariernya. Tidak mudah untuk mengetahui apakah karakter seseorang betul-betul sesuai dengan minat yang diwujudkan dalam pilihan pekerjaan atau profesi. Ilmu psikologi, secara ilmiah melalui metode tes misalnya, berupaya mengungkap kecocokan karakter dan minat seseorang terhadap suatu bidang pekerjaan.   Namun, tes yang dibuat itu tidak menjamin ketepatan dan kepastian, hanya mengungkapkan indikasi-indikasi kecenderungan atas kecocokan seseorang pada suatu bidang pekerjaan tertentu. Untuk memperkuat pendapat di atas, sebagai contoh misalnya   seleksi anggota KPU yang tes tertulisnya dilakukan oleh suatu tim khusus dari Unversitas Indonesia, ternyata dalam kenyataanya, kinerjanya jauh dari memenuhi harapan. Artinya, tes psikologi yang meluluskan anggota KPU tidak memberikan jawaban yang tepat.

 

Banyak para ahli SDM mengatakan, bahwa faktor yang penting dalam keberhasilan seseorang adalah ditentukan oleh sejauhmana orang tersebut menyenangi dan mencintai pekerjaan atau profesinya. Bila seseorang tidak menyenangi dan mencintainya, hampir pasti akan gagal. Namun, menyenangi dan mencintai, pada hemat saya, ditentukan pula oleh kecocokan karakter terhadap minat dan pilihan bidang pekerjaan/profesi. Patut dicatat, bahwa setiap individu tumbuh dan berkembang. Seseorang yang tadinya karakter dan minatnya – melalui tes – dikatakan cenderung tidak cocok dengan suatu bidang pekerjaan tertentu,  ternyata dalam kenyataanya cocok. Demikian pula sebaliknya, yang tadinya dikatakan cocok, ternyata tidak.  Mengapa? Karena ternyata pengaruh lingkungan dalam arti luas, adalah juga variabel yang mampu membentuk atau bahkan merubah karakter termasuk prilaku.   Sebagai contoh saja. Teman saya, ketika sama-sama berkuliah, bila mengendarai mobil di Jakarta cenderung kebut-kebutan, ia tidak perduli apakah pengendara lain terganggu atau tidak. Namun, ketika teman tadi melanjutkan studi di Amerika Serikat, hal menarik yang saya temukan adalah cara mengendarai mobilnya berubah total, sangat sopan dan taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Saya tanyakan kenapa berubah? Ia menjawab sambil tersenyum, lingkungan dan suasana sosial di AS telah "memaksa" ia berubah.

 

Demikian pula lingkungan dan suasana tempat bekerja dalam arti luas, turut menentukan seseorang berprestasi dan kariernya tumbuh berkembang. Bisa saja seseorang yang berbakat dan memiliki kemampuan seperti yang direkomendaiskan oleh hasil tes psikologi, ternyata gagal dalam kenyataanya.  Atau seseorang dengan rekam jejak yang baik dan berkualitas, ternyata setelah menduduki suatu jabatan, gagal.  Kegagalan tersebut patut diduga karena lingkungan dan suasana kerja (sering juga disebut "budaya kerja") tidak mendukungnya.

 

Selain, aspek kecocokan karakter dengan minat dan pilihan bidang pekerjaan/profesi, tingkat pendidikan formal, sangat berperan terhadap intelektualitas, khususnya dalam kemampuan menganalisis.  Lebih tinggi pendidikan formal seseorang, kecenderungannya lebih baik kemampuan analisisnya. Kemampuan analisis ini adalah alat yang berperan besar menopang kemajuan karier dan prestasi kerja seseorang.

 

Pada sisi lain, bila dilihat sebaliknya, suatu pekerjaan atau profesi menuntut pula persyaratan sebagai karakter dasar. Misalnya, sebagai ilmuwan atau peneliti menuntut karakter yang cocok dalam mengemban kebebasan akademik (academic freedom). Bila ilmuwan karakternya tidak sejalan atau tidak dapat memanfaatkan kebebasan yang diberikan, potensial ia tidak akan berkembang atau  bisa-bisa kekacauan yang terjadi, karena kebebasan digunakan secara tidak bertanggung jawab.  Contoh lainnya adalah  seniman. Stereo type seniman dan artis yang sesungguhnya, biasanya egonya kuat, menjunjung tinggi kebebasan ekspresi dan peka terhadap nilai-nilai kultural.  Wartawan yang baik, memiliki  karakter yang mengutamakan objektifitas dalam membuat berita (memberitakan secara berimbang), mampu mengendalikan stress menghadapi tengat waktu yang ketat serta kesadaran untuk melakukan self censorship.

 

Bagaimana dengan anggota DPR/DPRD? Tentu saja sebaiknya memiliki karakter dasar yang cocok dengan pekerjaan sebagai politisi dalam menjalankan fungsi-fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi dan anggaran mensyaratkan dibutuhkannya latar belakang pendidikan formal yang tinggi (minimal perguruan tinggi) terkait dengan ilmu hukum dan ilmu ekonomi (keuangan dan akutansi). Tugas sebagai legislator  adalah membuat undang-undang (atau perda) dan mengawasi pelaksanaanya dan fungsi anggaran adalah membuat bujet negara (atau daerah) dan mengawasi penggunaanya.  Setiap anggota DPR/DPRD (& DPD) sebaiknya memiliki karakter yang tidak mengangap "the detail is the evil". Maksudnya adalah, seseorang yang memiliki karakter kerja yang  memang menyukai ketelitian dan rinci.  Penguasaan pada suatu bidang atau  masalah (sesuai dengan pembagian Komisi di DPR/DPRD), tidak bisa hanya pada hal-hal yang bersifat umum. Tetapi harus rinci dan mendalam. Penguasaan data (kuantitatif) atas suatu masalah pasti akan memberikan nilai tambah.  Bila anggota DPR/DPRD tidak menyukai angka (statistik) dan tidak memiliki kemampuan menganalisis secara logis dan rasional, maka kehadirannya di lembaga legislatif hanya sebagai sosok yang dibutuhkan untuk voting.

 

Memang anggota legislatif didampingi staf ahli, tetapi staf ahli harus diarahkan oleh anggota DPR, bukan sebaliknya. Kehadiran staf ahli hanya sebagai pembantu ahli, pihak yang membantu mengumpulkan data dan menganalisisnya serta teman untuk berdiskusi.  Namun, inisiatif dan pengarahan atas kerja staf ahli ditentukan oleh anggota DPR sesuai dengan garis kebijakan fraksi dan parpolnya.

 

Fungsi pengawasan mensyaratkan perlunya penguasaan ilmu komunikasi dan pengetahuan metodelogi survey. Komunikasi dalam pengertian, berhubungan dan berkomunikasi dengan konstituen secara setara dan memperlakukannya sebagai subyek, bukan obyek. Sedangkan dalam menyerap dan menyaring aspirasi, dilakukan melalui metode survey (atau observasi), baik secara kualitatif (indepth) maupun kuantitatif.  Di samping kemampuan untuk melakukan content analysis atas berita-berita dari media massa. Paling tidak, metode-metode survey di atas bukanlah sesuatu yang asing.

 

Komunikasi dan hasil penyerapan serta penyaringan aspirasi seperti dimaksud di atas, kemudian dibawa dan diperjuangkan – agar aspirasi tersebut menjadi kebijakan pemerintah, paling tidak mendapat perhatian pihak terkait.  Yang dimaksud dengan komunikasi disini, bukan hanya secara vertikal, tetapi juga horinsontal, yaitu  dengan pihak eksekutif termasuk sesama anggota legislatif. Dalam konteks ini, maka setiap anggota DPR/DPRD mutlak disyaratkan memiliki kemampuan dan menguasai tehnik menyampaikan idea dan pendapat dengan baik dan meyakinkan,  di samping kemampuan negosiasi dan lobi politik.

 

Selain hal-hal di atas, ada pula beberapa karakter dasar lainnya yang dibutuhkan. Misalnya, kemampuan mengendalikan diri dan tetap konsentrasi dalam situasi kebosanan mengikuti rapat yang bertele-tele. Hal ini sama sekali tidak mudah, terlebih bila seseorang yang tidak memiliki daya tahan, baik secara emasional maupun intelektual, ketika mengikuti rapat-rapat yang berkepanjangan.   Misalnya, karakter seniman atau artis yang profesional, rasanya tidak akan tahan duduk dan diam, sambil tetap harus berkonsentrasi mengikuti perdebatan yang berkepanjangan dan mungkin membosankan.   Bayangkan bila rapat-rapat di DPR/DPRD berlangsung 6 sampai dengan 10 jam hampir setiap hari, pasti rasa bosan menghinggapi.  Bila rasa bosan dalam menghadiri rapat-rapat tidak mampu diatasi, maka potensial akan membuat seseorang tidak produktif dan cenderung bersikap masa bodoh (apatis). Padahal menghadiri dan ikut aktif memberikan pendapat secara cerdas pada rapat-rapat di DPR/DPRD adalah tuntutan profesionalitas yang paling utama sebagai politisi dan legislator.  

 

Walapun anggota DPR/DPRD dipilih oleh suara terbanyak, namun berdasarkan perudangan yang berlaku, seperti disinggung di atas, tetap berada dalam kendali parpol yang mengusungnya. Dengan demikian, sebagai anggota DPR/DPRD pada dasanya tidak independen. Oleh sebab itu bila anggota DPR/DPRD tersebut adalah benar-benar seorang yang berprofesi sebagai artis atau seniman sesungguhnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi, maka sebagai anggota legislatif cenderung tidak cocok. Mengapa? Karena karakter dasar artis/seniman, pada hakekatnya tidak menyukai hal-hal yang menghalangi kreatifitas dan menyumbat suara hati sanubarinya. Setiap artis/seniman termasuk akademisi yang sesungguhnya, saya menduga, akan berpotensi berbeda pendapat dengan garis kebijakan parpol yang diwakilinya. Bila "conflict" ini terjadi, maka dibutuhkan kemampuan untuk melakukan negosiasi dalam rangka mencapai kompromi baru yang"win-win", dengan tetap berpijak kepada kepentingan dan keadilan untuk rakyat dan kebenaran berdasarkan suara hati sanubari.

 

Kemudian, merasa lebih pandai, percaya diri yang berlebihan, menganggap status dan posisinya sebagai anggota legislatif berada di atas profesi lainnya dan sebagainya, adalah sumber penyebab kegagalan sebagai anggota DPR/DPRD.  Teman saya aktifis LSM yang pernah menyelenggarakan lokakarya mengenai "tehnik dan tata cara membuat perundangan", mengatakan dari 550 anggota DPR yang diundang, hanya 2 yang hadir.   Mengapa para anggota DPR tidak berminat mengikuti lokakarya tersebut, padahal sangat relevan dengan tugas dan pekerjaannya? Jawabannya, "mereka merasa lebih tau dan lebih pintar".  Kalau betul lebih tau dan pandai, telitilah apakah program legislasi DPR periode 2004-2009 mencapai target seperti yang disepakati? Apakah kualitas perundangan yang dibuat bermutu? Berapa banyak produk UU yang kemudian dibawa ke Makamah Konstitusi? Jawabanya, masih jauh dari harapan! 

 

Apakah bila seseorang tidak memiliki karakter profesionalitas seperti yang dituntut sebagai anggota DPR/DPRD dapat berubah? Seperti ditulis di atas, lingkungan dan suasana kerja dapat merubah karakter, kebiasaan dan prilaku. Terlebih lagi bila sebelum terpilih telah menumbuhkan motivasi diri (self motivation) yang kuat untuk berubah. Namun, bila tidak cocok dengan karakter yang dituntut dan tidak mau berubah, sebaiknya sejak  saat ini mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dan mengusulkan pergantian antar waktu. Bila tetap memaksakan diri, bersiaplah menerima cemohan atau cercaan publik, yang tidak hanya akan mempermalukan dirinya sendiri, tetapi juga keluarga, parpol dan potensial menumbuhkan citra buruk lembaga legislatif. Termasuk kemungkinan dihinggapi penyakit tertentu, karena stress mental yang berkepanjang. Kecuali memang sudah tidak ada lagi rasa malu dan rasa tanggung jawab dan semata-mata menjadi  anggota DPR/DPRD hanya untuk datang, duduk, dengar, diam, dolan (jalan-jalan) dan duit – cape deh.

 

Jakarta, 9 Mei 2009

 

 

Amir Karamoy, Ketua Telaah Legislatif Indonesia (TELITI)

 

 

 

 

 


Senin, 27 April 2009

LEGITIMASI DAN HATE SYMBOLS

Secara sosiologis-politis kokohnya legitimasi seseorang atau pemerintah diukur dari sejauhmana rakyat menerima kewenangan dan mentaati keputusan atau kebijakan yang diambil seorang pemimpin (atau pemerintah). Dalam pengertian yang sederhana,  legitimasi adalah pengakuan dan dukungan terhadap kewenangan, keputusan atau kebijakan seorang pemimpin (atau pemerintah). Berkurangnya atau bahkan hilangnya legitimasi (delegitimasi) dapat membuat seorang pemimpin (pemerintah) jatuh. Proses delegitimasi yang menjatuhkan seseorang atau pemerintah, menurut saya, tidak sedehana. Ada suatu proses sosial-politik yang berlangsung relatif panjang – tidak tiba-tiba.   Efektifitas hate symbols tergantung dari dua hal, yaitu konsulidasi dan sosialisasi. Konsulidasi artinya mereka yang memunculkan hate symbols berupaya secara terus menerus membina dan mengembangkan diri dengan mengajak pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik yang sama guna memperkokoh "organisasi" perlawanan, untuk melakukan proses delegitimasi.  Sosialisasi adalah upaya untuk menyebarkan hate symbols ke masayarakat luas agar menjadi simbol pembakangan atau perlawanan.  Kekuatan hate symbols tidak diukur dari berapa banyak pihak yang sejalan atau mendukung simbol tersebut, tetapi lebih kepada aspek kualitas simbol  yang dipersepsikan oleh publik.

Misalnya, proses yang medelegitimasi Bung Karno – walaupun Bung Karno dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup –  saya kira didorong oleh dua isyu utama yang kemudian menjelma menjadi hate symbols yang terkonsulidasi dan tersosialisasi, yaitu: (1) Sistem pemerintahan yang otoriter (2) Keadaan ekonomi yang sangat buruk.   Apa permasamaan dan perbedaan hate symbols yang mendelegitimasi Bung Karno dan Pak Harto? Persamaanya adalah (1) Sistem pemerintahan yang otoriter, sedangkan perbedaanya, bukan soal ekonomi tetapi (2) merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Seperti ditulis di atas, "kualitas" hate symbols jauh lebih efektif  daripada kuantitas pihak yang mendukung. Misalnya, sebagai contohnya saja, bila dihitung secara kuantitatif sama sekali tidak masuk akal Presiden Soekarno dan Presiden Suharto bisa terpental dari kekuasaanya pada tahun 1966 dan 1998. Karena, pihak yang menentang Bung Karno, ketika itu,  hanya sebagian kecil mahasiswa/pelajar (KAMI & KAPPI/KAPI) yang didukung RPKAD (sekarang KOPASUS) dan pasukan Kujang dari batalyon Siliwangi.  Sebagian terbesar mahasiswa di kampus masih didominasi oleh GMNI (dari kelompok "ASU") dan elemen-elemen lainnya yang mendukung Bung Karno. Angkatan Darat secara formal masih menyatakan dukungannya kepada Bung Karno, demikian pula Angkatan Laut, Udara dan Kepolisian.  Walaupun secara kuantitas pihak yang ingin mempertahankan Bung Karno jauh lebih besar daripada yang menghendaki "turun", namun kualitas hate symbols faktanya berhasil menjatuhkannya. 

Demikian pula Pak Harto. Walaupun secara kuantitatif pihak yang mendukungnya masih jauh lebih banyak daripada yang menghendakinya lengser, akan tetapi berkat kualitas hate symbols yang mendorong gerakan mahasiswa, dikawal oleh liputan media massa (terutama media internasional), kharisma Pak Harto memudar yang berakhir dengan kejatuhannya.  Padahal  kita mengetahui bahwa, ABRI masih memberikan dukungan kepada Pak Harto ketika itu.  Hanya marinir yang tampaknya cenderung bersimpati kepada gerakan mahasiswa.

Apakah kekisruhan daftar pemilih tetap (DPT) pasca pemilu legislatif dan buruknya kinerja KPU dapat menjadi hate symbols yang memicu  delegitimasi kepemimpinan SBY dan kemenangan partai Demokrat?  Uraian berikut ini, secara spekulatif, mencoba membahasnya.

Seperti ditulis dimuka, proses delegitimasi lebih ditentukan oleh kualitas hate symbols bukan kuantitas pengakuan.  Artinya, bila kekisruhan DPT akibat kinerja KPU yang sangat buruk dibiarkan terus berkembang, walaupun SBY dan partai demokrat memenangkan pemilu (kuantitas dukungan jauh lebih besar), maka secara teoritis empiris dalam jangka waktu tertentu akan mendorong percepatan proses delegitimasi.  Fakta "kecurangan" yang terus dihembuskan, tanpa penyelesian hukum tentang kecurangan dalam pemilu yang dikatakan telah mengorbankan demokrasi dan mengebiri hak konstitusi rakyat dapat menjelma menjadi hate symbols.  Bila hal ini dibiarkan, maka dapat menjadi bola salju yang potensial medelegitimasi SBY dan partai demokrat.  Oleh sebab itu, kekisruhan DPT dan buruknya kinerja KPU tidak boleh anggap sebagai suatu hal yang "wajar" dalam penyelenggaraan pemilu nomor 3 terbesar di dunia –  tetapi harus diselesaikan secara hukum dan sesegera mungkin sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Pemerintah (SBY) harus pro aktif dan mengawal penyelesaian hukum secara tuntas dan tanpa pandang bulu dan menunjukan kepada rakyat bahwa pemerintah tidak berpihak.  

Namun demikian, suatu hal yang selalu harus disadari, walaupun telah diselesaikan secara hukum seperti disarankan di atas, tidak berarti suara-suara ketidak puasan terhadap pemilu legislatif berakhir. Tuduhan kecurangan dan pemerintah SBY (& JK) harus bertanggung jawab atas tudahan tersebut menjelang pilpres akan terus dipakai sebagai alat untuk memperkuat kualitas hate symbols.  Setiap kubu capres/cawapres yang berkompetisi akan terus mencari kelemahan lawannya masing-masing.  Suatu hal yang wajar dalam setiap pemilu dimana saja.  Namun, bila SBY dan partai demokrat bersama dengan partai-partai yang berkoalisi dengannya dapat menekan kualitas hate symbols atau bahkan menghilangkannya sama sekali maka akan memberikan akses lebih besar untuk merebut kembali kursi sebagai orang nomor 1  negara ini.

Bila kompetitor partai demokrat dan koaliasinya yang tidak mengusung SBY sebagai capres memanfaatkan hate symbols dan berhasil melakukan sosislisasi secara intens, bukan tidak mungkin  dapat memenangkan pilpres.  Karena isyu yang tampaknya akan digunakan, adalah memberikan kesan kepada rakyat, bahwa kekalahan parpol-parpol dalam pemilihan umum legislatif adalah akibat "kecurangan" SBY. Dengan kata lain, parpol-parpol yang tidak mencalonkan SBY sebagai capres kemungkinan besar akan memanfaatkan  strategi "teraniaya".

Saya menduga, pada pilpres Juli mendatang akan terjadi persaingan ketat dalam strategi periklanan dan promosi yang dilakukan oleh parpol-parpol yang mendukung capresnya.  SBY telah memiliki modal kuat, yaitu popularitasnya. Sedangkan kompetitornya akan berupaya  agar popularitas SBY menurun drastis. Siapa yang berhasil? Kita tunggu saja.

Jakarta, 28 April 2009

 

Amir Karamoy, Ketua TELITI (Telaah legislatif Indonesia)

 

 

 

 

 

Minggu, 22 Maret 2009

WARALABA PENGHADANG PHK

Oleh Amir Karamoy

Ketua KomiteTetap Waralaba dan Lisensi - KADIN

 

Waralaba (franchise), seperti dimaksud oleh PP no.  42 tahun 2007 adalah, "hak khusus yang dimiliki orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba".

Berdasarkan pengertian di atas, maka waralaba adalah (1) Sistem bisnis (dalam rangka pemasaran) yang telah terbukti berhasil. (2) Dapat dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Artinya,  waralaba pada dasarnya adalah penggunaan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil oleh pihak lain. Pemilik sistem bisnis (yang telah terbukti berhasil) disebut pewaralaba (franchisor), sedang pihak lain yang menggunakan sistem bisnis tersebut disebut terwaralaba (franchisee).

 

Sebagian terbesar  terwaralaba adalah pengusaha kecil (lokal/nasional) dan pewaralaba adalah perusahaan menengah besar.  Waralaba, seperti dua sisi koin.  Satu sisi menciptakan kesempatan berusaha, sisi lainnya, menciptakan kesempatan kerja. Berdasarkan data tahun 2008 (Sumber: IFBM), ada 518 perusahan pewaralaba (berperan menciptakan kesempatan berusaha) yang sepanjang tahun 2008 membentuk sebanyak 41.381 gerai terwaralaba (yang berperan menciptakan kesempatan kerja) dengan mempekerjakan 890.128 tenaga kerja. Perputaran penjualan waralaba, pada tahun 2008 mencapai Rp. 4,4 trilyun per bulan.

 

Waralaba asing  lebih tertarik membangun gerai usaha sendiri (company owned outlets) daripada membangun gerai waralaba (franchised outlets).  Apa perbedaan membangun gerai usaha sendiri dengan waralaba? Gerai usaha sendiri adalah cabang perusahaan yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola perusahaan induk, sedangkan gerai waralaba dimiliki pihak lain. Untuk mengontraskan perbedaan tadi dapat dikatakan, bahwa  gerai usaha sendiri dimiliki oleh hanya satu perusahaan, gerai waralaba dimiliki oleh publik (banyak orang).

 

Dalam konteks mendirikan gerai waralaba, cara ini acapkali pula dikategorikan sebagai suatu skim alternatif investasi aktif.  Mengaapa aktif?,  Karena pihak investor (terwaralaba) berupaya (dengan supervisi dan bimbingan pewaralaba) menjalankan usahanya agar investasinya itu cepat kembali dan berkembang  secara menguntungkan. Berbeda bila berinvestasi di pasar modal misalnya. Kebanyakan investor pasif dan menyerahkan kepada fund-manager atau pialang.  Secara empiris, dari beberapa simulasi keuangan yang pernah dibuat, return waralaba rata-rata lebih stabil dan oleh karena itu bila dihitung dalam jangka menengah dan panjang, lebih tinggi dari pada bermain di pasar modal.  Investasi waralaba sama sekali tidak terpangaruh oleh isyu-isyu ekonomi atau politik dan relatif stabil menghadapi turun naiknya nilai tukar uang. Di samping, tidak terpengaruh oleh turun-naiknya nilai saham di pasar regional.

 

Dari beberapa studi yang pernah dibuat di AS pula , terungkap bahwa tingkat keberhasilan usaha waralaba rata-rata mencapai 92%, sedang usaha non-waralaba hanya 38%.  Bagaimana di Indonesia? Tingkat keberhasilannya tidak setinggi di AS, diperkirakan hanya mencapai 55%. Mengapa ini terjadi? Tulisan berikut ini akan membahasnya, dikaitkan dengan upaya menghadang gelombang PHK pada tahun 2009, sebagai dampak dari krisis keuangan dunia.

 

* * *

 

Sejumlah sumber menyebutkan telah mulai terjadi gelombang PHK pada awal tahun 2009 ini di Indonesia. JAMSOSTEK misalnya, memperkirakan sekitar 500.000 pekerja di PHK akibat dampak resesi ekonomi dunia pada tahun 2009 ini.. Pihak lainnya, memperkirakan PHK akan menyebabkan 1 sampai dengan 1,5 juta pekerja menganggur. Penurunan pertumbuhan ekonomi nasional sebanyak 1% akan menghasilkan pengangguran sebanyak 250 sampai dengan 300 ribu pekerja.

 

Antispasi terjadinya gelombang PHK akibat dampak krisis finansial dunia,  maka perlu didorong sektor-sektor usaha yang lebih berorientasi kepada penggunaan produksi dalam negeri, padat karya sekaligus masih mampu bertumbuh dalam situasi resesi ekonomi. Waralaba, karena terkait dengan kebutuhan primer manusia, seperti ritel, makanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya, diyakini tidak akan terlalu berpengaruh walaupun pertumbuhan ekonomi melambat.  Sektor ritel misalnya, yang porsinya terbanyak dalam waralaba, adalah sektor nomor dua terbesar setelah pertanian yang menampung tenaga kerja di Indonesia. Di samping itu, waralaba adalah sektor usaha yang mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri, berdasarkan perintah PP no. 42 tahun 2007 dan Permedag no. 31 tahun 2008.

 

Berdasarkan uraian di atas,  tidak pelak lagi pemerintah perlu lebih lagi mendorong waralaba sebagai salah satu sektor usaha yang diharapkan dapat mengurangi pengangguran akibat PHK. Karena, seperti telah disinggung tadi, waralaba pada hakekatnya memiliki dua sisi koin. Menciptakan dan mendorong kesempatan berusaha, dalam rangka menumbuhkan kewirausahaan di kalangan masyarakat, sekaligus juga menciptakan lapangan kerja.  Cara-cara yang pernah dilakukan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), PT. PPA (Perusahaan Pengelola Aset) dan Merpati Nusantara Airlines, ketika akan membubarkan diri atau melangsingkan perusahaanya, memberikan alternatif  kepada para pekerjanya agar memanfaatkan uang PHK (uang pesangon) ditanamkan pada usaha waralaba. Beberapa karyawan yang terkena PKH atau memilih pensiun dini,  kemudian bergabung berinvestasi dalam usaha waralaba dan sukses.

 

Supaya investasinya tidak sia-sia, sebagai kebijakan dalam rangka lebih melindungi investor atau (calon) terwaralaba, disarankan agar aturan tentang waralaba lebih diperketat. Khususnya aturan profesionalitas  pewaralaba dan transparansi penawaran waralaba (franchise offering), lewat dikeluarkannya aturan baru atau revisi permendag no. 31/2008. Misalnya, setiap pewaralaba, ketika menawarkan waralabanya, diwajibkan untuk membuka (disclose) laporan keuangan yang telah diaudit (Permendag no. 31/2008 tidak mewajibkan audit). Atau, setiap pengeluaran  surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) oleh Departemen Perdagangan (atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah), harus berdasarkan rekomendasi badan independen, dimana badan ini bertugas melakukan penilaian tingkat kesehatan usaha pewaralaba. Mengapa ini diperlukan? Karena, hanya dengan cara ini dapat ditumbuhkan  pewaralaba yang profesional dan bonafid. Melalui cara ini pula diharapkan tingkat keberhasilan usaha terwaralaba akan semakin tinggi, tidak hanya 55% seperti disebut di atas, tetapi dapat mencapai 90%,  karena di supervisi dan dibimbing oleh perwaralaba yang telah menguntungkan (profitable), teruji (proven) dan mantab (established).  Bisakah ini terjadi? Sangat mungkin, karena dalam seluruh perjalanan bisnis terwaralaba akan selalu didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba.  Walaupun, dalam operasionalisasi usaha sehari-hari, terwaralaba bebas menjalankannya. Artinya, kunci keberhasilan waralaba terletak pada profesionalitas dan bonafiditas pewaralaba. Oleh sebab itu, strategi yang harus dipilih terlebih dahulu adalah memilih perusahaan pewaralaba yang sehat dan mantap (established), terlepas  skalanya menengah atau besar. Di samping itu secara hukum, hal ini  sesuai dengan ketentuan UU no. 20 tahun 2008 tentang "Usaha Mikro, Kecil dan Menengah".  Yang menyebutkan bahwa waralaba adalah suatu kemitraan usaha yang dilaksanakan atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan.

 

Selain itu, otoritas perbankan perlu segera mengusahakan kredit bersubsidi bagi usaha kecil, khususnya untuk terwaralaba.  Belajar dari AS misalnya, Presiden Obama telah mengeluarkan suatu kebijakan khusus  untuk mendorong berkembangnya waralaba sebagai bagian dari recovery package di AS. Badan yang membiayai usaha kecil menengah (termasuk waralaba), Small Business Administratiom (SBA) diperintahkan untuk meningkatkan jaminan kredit SBA dan memperkcil fees (increasing the SBA loan guarantees, lowering fees). Lebih didorongnya waralaba adalah untuk lebih banyak menyediakan lapangan kerja, akibat gelombang PHK yang terjadi di AS, sekaligus menumbuhkan entrepreneur di kalangan usaha kecil. 

 

Pengucuran kredit bersubsidi untuk terwaralaba, resikonya jauh lebih rendah dibandingkan dengan usaha independen.  Terlebih apabila adanya ketentuan yang mewajibkan pewaralaba dalam mendapatkan STPW harus memiliki rekomendasi terlebih dahulu dari badan independen seperti diusulkan di atas.  Dengan demikian, pihak bank tidak perlu ragu untuk mengucurkan kreditnya, karena terwaralaba, walaupun masuk dalam kategori "usaha kecil"  operasionalisasi bisnisnya menggunakan manajemen  "usaha menengah besar".  Perjalanan bisnis terwaralaba yang terus didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba memberikan  nilai tambah lebih yang berujung kepada tingkat resiko kredit relatif lebih rendah daripada usaha non-waralaba.

 

Seperti kata pepatah "banyak jalan menuju Roma" – "banyak cara menanggulangi pengangguran akibat PHK".  Keputusan untuk memilih jalan terdekat ke Roma atau cara tersingkat untuk mengatasi pengangguran, harus segera dibuat.

 

Jakarta, 23 Maret 2009