Minggu, 15 Februari 2009

MASALAH PEMBERANTASAN KORUPSI oleh Amir Karamoy

Terjadinya tindak korupsi, selain perilaku – akibat sudah lama tertaman, bahwa seolah-olah balas jasa berupa pemberian hadiah, pemberian ucapan terima kasih dalam bentuk material (uang & benda berharga), simbol bentuk/tanda kesetiaan pada pejabat atau atasan, upeti dan sebagainya    sebagai suatu yang wajib dan wajar.  Hal lainnya, seperti acapkali dikatakan banyak pihak, adalah adanya niat dan tersedianya kesempatan. 

 

Namun demikian, bila kita perhatikan kasus-kasus korupsi belakangan ini – menurut saya – cenderung karena "keserakahan untuk memperkaya diri dan/atau kelompok dengan memanfaatkan kekuasaan/wewenang (power/authority) yang dimilikinya". Kategori korupsi semacam ini terjadi bukan karena adanya niat semata, tetapi atas niat tersebut  diciptakan peluang untuk melakukan korupsi melalui rekayasa kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya. 

 

Dalam bentuk formula korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut:


(K)orupsi  = (S)erakah + (K)ekuasan

atau

K = S + K


Pendapat yang mengatakan power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely" benar!  Karena keserakahan individual maupun kelompok cenderung timbul akibat adanya power (terlebih yang absolute).   Oleh sebab itu power harus dikontrol baik oleh sistem hukum (sanksi/ancaman hukuman badan), politik (check and balances), sosial/budaya (social control dalam bentuk social participation & social punishment).   Jadi, kata kuncinya disini adalah adanya sanksi dan control.

 

Berangkat dari premises di atas, maka paradigma pemberantasan korupsi, harus didekati (approached) melalui strategi menumbuhkan keadaan dan kondisi dimana orang yang memiliki kekuasaan tidak menjadi serakah (greedy). Karena kekuasaan dan harta (uang) seperti candu, yang dapat membuat adict.  Seseorang yang berkuasa dan sudah kaya cenderung akan menambah kekayaannya, demikian seterusnya.  Oleh sebab itu, saya menolak pendapat yang mengatakan bahwa penghasilan yang tinggi/besar sebagai jalan keluar meniadakan korupsi.   Saya berpendapat, hal yang lebih strategis dalam pencegahan korupsi, adalah tidak memberikan peluang tumbuhnya keserakahan (greediness), melalui pembentukan system control yang built-in dalam aplikasi kekuasaan/kewenangan, dengan membuat pedoman operasional dan  standar-standar baku, serta sanksi (dan reward) – sejalan dengan memenuhi kebutuhan setiap keluarga secara moderat dan sesuai dengan jenjang pangkatnya (pegawai negeri, militer/polisi) terhadap pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan.

 

*  *  *

 

Sesuai premises di atas, penyebab atau potensi terjadinya korupsi seberapapun besar atau kecil nilainya,   adalah: (1) Tidak ditaatinya sistem  dan prosedur administrasi/keuangan yang telah dibakukan. (2) Lemahnya fondasi sistem dan  prosedur tersebut (tidak appropriate  dan applicable), karena dalam pembuatannya tidak dilakukan secara konsepsional, terencana dan berdasarkan data yang akurat dan relevan.  (3) Control yang kurang atas ketaatan dari setiap actor yang menjalankan prosedur. (4)  Sanksi hukum yang diberlakukan cenderung kearah physical punishment bukan upaya mencegah (preventive) dan mendidik dalam rangka merubah prilaku (behavior) dan tatanan berfikir (mindset).

 

Sebagai Konsultan Waralaba (franchise) yang telah ikut membantu dan mengembangkan banyak perusahaan besar, menengah dan kecil dalam membuat Pedoman/Manual Operasional berupa SOP (Standard Operating Procedure), Sistem Pelatihan dan Sistem Audit (pelayanan, managemen dan keuangan) yang appropriate dan applicable, sebagai persyaratan dasar dan utama suatu perusahaan menjalankan waralaba yang baik dan profesional, menunjukan indikasi kuat, bahwa suatu sistem atau prosedur ditaati dan dijalanlan dengan benar, karena dilakukannya secara berkesinambungan sistem pelatihan (dalam rangka transfer of knowledge and skill serta yang tidak kurang penting transfer of values/norms)  dan audit (management and financial control dan monitoring) secara berkala maupun "sidak" sebagai upaya terus menerus untuk menumbuhkan sense of ownership dan membagun common goals, dari setiap orang  yang bekerja di korporat tersebut. Pelaksanaan pelatihan itu, tidak terbatas untuk "bawahan" saja, tetapi semua eselon/level manajeman, tanpa pandang bulu yang dilakukan secara berjenjang dan berkala.

 

Khusus tentang sanksi,  perlu dijelaskan bahwa dari pengalaman kami, bentuk sanksi yang dipraktekan sebaiknya lebih mengarah kepada upaya "mengoreksi dalam rangka mendidik" – berdasarkan anggapan bahwa "manusia pada dasarnya baik".  Namun,  apabila setelah melalui beberapa tahap,  sanksi-sanksi yang bersifat "megoreksi dan mendidik" itu tetap tidak ditaati, baru diberikan sanksi yang keras.. Hal-hal di atas bila dikerjakan secara konsepsional, terencana serta melalui suatu prosedur yang baku dan berkesinambungan, akan mampu mencegah  tindak korupsi dan penyalah gunaan kewenangan hingga pada titik terendah.

 

Di samping aspek-aspek di atas, ingin saya tekankan pula disini, bahwa faktor kepemimpinan (leadership) memegang peranan sentral. Komitmen untuk menjalankan sistem dan prosedur yang baik dan benar, harus ditaati dan dilakukan semua pihak – tanpa kecuali.

 

*  *  *

 

Pendekatan di atas berangkat dari suatu teori "hubungan timbal balik antara sistem (& struktur/prosedur) dengan pelaku (actor)".  Ada pihak yang mengatakan karena pelaku membuat sistem, maka ia potensial pula melanggar sistem yang dibuatnya itu.  Ada juga yang mengatakan sistem (yang solid) dapat membentuk (merubah) prilaku actor.  Saya lebih mempercayai pendapat kedua, bahwa sistem dapat mengatur prilaku (dalam jangka menengah/panjang). Artinya, perilaku yang baik akan terbentuk karena hadirnya suatu sistem atau prosedur yang baik dan telah mapan (established). Syaratnya, sistem tersebut harus dilembagakan (institutionalized) –  sehingga menjadi suatu nilai/norma yang terwujud sebagai bagian budaya (sub-culture) setiap actors.

 

Dari uraian di atas maka, upaya pemberantasan tindak korupsi dapat diliat pada formula berikut ini:


UPK = S/P + P  +  A + K  


 

- UPK (Upaya pemberantas Korupsi)

- S/P (Sistem/Struktur//Prosedur) yang baik dan sesuai

- P (Pelatihan yang berjenjang dan bekersinambungan)

- A (Audit Berkala/mendadak

- K (Komitmen) dari pimpinan

 

 

Apabila sistem dan prosedur yang dipraktekan di korporat, dipraktekan di jajaran aparat / birokrasi Pemerintahan, maka saya percaya, dapat mencegah terjadinya tindak korupsi., sejauh memenuhi formula UPK = S/P + P + A + K dan dijalankan secara benar dan konsekwen.

 

*  *  *

 

Saya menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam tulisan  ini. Lembaga KPK, walaupun relatif masih muda usia, telah banyak melakukan kajian, pelatihan, seminar/workshop dan sebagainya, tentang konsep, cara-cara ataupun pencarian metode/sistem  untuk memberantas korupsi secara efisien dan efektif –  baik secara preventif maupun represif. Kita semua berharap, dalam KPK jangan tumbuh dan berkembang "rutinitas" yang mereduksi kreatifitas dan inovasi. KPK perlu terus mengkaji metode dan tindakan pemberantasan korupsi sekalipun tidak konvensional. Motto: "The power of planning and the creativity of execution" harus dikerjakan.

 

Semoga  hal-hal yang ditulis di atas,  dapat menjadi masukan.

 

 

Jakarta, 14 Februari 2009