Senin, 27 April 2009

LEGITIMASI DAN HATE SYMBOLS

Secara sosiologis-politis kokohnya legitimasi seseorang atau pemerintah diukur dari sejauhmana rakyat menerima kewenangan dan mentaati keputusan atau kebijakan yang diambil seorang pemimpin (atau pemerintah). Dalam pengertian yang sederhana,  legitimasi adalah pengakuan dan dukungan terhadap kewenangan, keputusan atau kebijakan seorang pemimpin (atau pemerintah). Berkurangnya atau bahkan hilangnya legitimasi (delegitimasi) dapat membuat seorang pemimpin (pemerintah) jatuh. Proses delegitimasi yang menjatuhkan seseorang atau pemerintah, menurut saya, tidak sedehana. Ada suatu proses sosial-politik yang berlangsung relatif panjang – tidak tiba-tiba.   Efektifitas hate symbols tergantung dari dua hal, yaitu konsulidasi dan sosialisasi. Konsulidasi artinya mereka yang memunculkan hate symbols berupaya secara terus menerus membina dan mengembangkan diri dengan mengajak pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik yang sama guna memperkokoh "organisasi" perlawanan, untuk melakukan proses delegitimasi.  Sosialisasi adalah upaya untuk menyebarkan hate symbols ke masayarakat luas agar menjadi simbol pembakangan atau perlawanan.  Kekuatan hate symbols tidak diukur dari berapa banyak pihak yang sejalan atau mendukung simbol tersebut, tetapi lebih kepada aspek kualitas simbol  yang dipersepsikan oleh publik.

Misalnya, proses yang medelegitimasi Bung Karno – walaupun Bung Karno dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup –  saya kira didorong oleh dua isyu utama yang kemudian menjelma menjadi hate symbols yang terkonsulidasi dan tersosialisasi, yaitu: (1) Sistem pemerintahan yang otoriter (2) Keadaan ekonomi yang sangat buruk.   Apa permasamaan dan perbedaan hate symbols yang mendelegitimasi Bung Karno dan Pak Harto? Persamaanya adalah (1) Sistem pemerintahan yang otoriter, sedangkan perbedaanya, bukan soal ekonomi tetapi (2) merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Seperti ditulis di atas, "kualitas" hate symbols jauh lebih efektif  daripada kuantitas pihak yang mendukung. Misalnya, sebagai contohnya saja, bila dihitung secara kuantitatif sama sekali tidak masuk akal Presiden Soekarno dan Presiden Suharto bisa terpental dari kekuasaanya pada tahun 1966 dan 1998. Karena, pihak yang menentang Bung Karno, ketika itu,  hanya sebagian kecil mahasiswa/pelajar (KAMI & KAPPI/KAPI) yang didukung RPKAD (sekarang KOPASUS) dan pasukan Kujang dari batalyon Siliwangi.  Sebagian terbesar mahasiswa di kampus masih didominasi oleh GMNI (dari kelompok "ASU") dan elemen-elemen lainnya yang mendukung Bung Karno. Angkatan Darat secara formal masih menyatakan dukungannya kepada Bung Karno, demikian pula Angkatan Laut, Udara dan Kepolisian.  Walaupun secara kuantitas pihak yang ingin mempertahankan Bung Karno jauh lebih besar daripada yang menghendaki "turun", namun kualitas hate symbols faktanya berhasil menjatuhkannya. 

Demikian pula Pak Harto. Walaupun secara kuantitatif pihak yang mendukungnya masih jauh lebih banyak daripada yang menghendakinya lengser, akan tetapi berkat kualitas hate symbols yang mendorong gerakan mahasiswa, dikawal oleh liputan media massa (terutama media internasional), kharisma Pak Harto memudar yang berakhir dengan kejatuhannya.  Padahal  kita mengetahui bahwa, ABRI masih memberikan dukungan kepada Pak Harto ketika itu.  Hanya marinir yang tampaknya cenderung bersimpati kepada gerakan mahasiswa.

Apakah kekisruhan daftar pemilih tetap (DPT) pasca pemilu legislatif dan buruknya kinerja KPU dapat menjadi hate symbols yang memicu  delegitimasi kepemimpinan SBY dan kemenangan partai Demokrat?  Uraian berikut ini, secara spekulatif, mencoba membahasnya.

Seperti ditulis dimuka, proses delegitimasi lebih ditentukan oleh kualitas hate symbols bukan kuantitas pengakuan.  Artinya, bila kekisruhan DPT akibat kinerja KPU yang sangat buruk dibiarkan terus berkembang, walaupun SBY dan partai demokrat memenangkan pemilu (kuantitas dukungan jauh lebih besar), maka secara teoritis empiris dalam jangka waktu tertentu akan mendorong percepatan proses delegitimasi.  Fakta "kecurangan" yang terus dihembuskan, tanpa penyelesian hukum tentang kecurangan dalam pemilu yang dikatakan telah mengorbankan demokrasi dan mengebiri hak konstitusi rakyat dapat menjelma menjadi hate symbols.  Bila hal ini dibiarkan, maka dapat menjadi bola salju yang potensial medelegitimasi SBY dan partai demokrat.  Oleh sebab itu, kekisruhan DPT dan buruknya kinerja KPU tidak boleh anggap sebagai suatu hal yang "wajar" dalam penyelenggaraan pemilu nomor 3 terbesar di dunia –  tetapi harus diselesaikan secara hukum dan sesegera mungkin sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Pemerintah (SBY) harus pro aktif dan mengawal penyelesaian hukum secara tuntas dan tanpa pandang bulu dan menunjukan kepada rakyat bahwa pemerintah tidak berpihak.  

Namun demikian, suatu hal yang selalu harus disadari, walaupun telah diselesaikan secara hukum seperti disarankan di atas, tidak berarti suara-suara ketidak puasan terhadap pemilu legislatif berakhir. Tuduhan kecurangan dan pemerintah SBY (& JK) harus bertanggung jawab atas tudahan tersebut menjelang pilpres akan terus dipakai sebagai alat untuk memperkuat kualitas hate symbols.  Setiap kubu capres/cawapres yang berkompetisi akan terus mencari kelemahan lawannya masing-masing.  Suatu hal yang wajar dalam setiap pemilu dimana saja.  Namun, bila SBY dan partai demokrat bersama dengan partai-partai yang berkoalisi dengannya dapat menekan kualitas hate symbols atau bahkan menghilangkannya sama sekali maka akan memberikan akses lebih besar untuk merebut kembali kursi sebagai orang nomor 1  negara ini.

Bila kompetitor partai demokrat dan koaliasinya yang tidak mengusung SBY sebagai capres memanfaatkan hate symbols dan berhasil melakukan sosislisasi secara intens, bukan tidak mungkin  dapat memenangkan pilpres.  Karena isyu yang tampaknya akan digunakan, adalah memberikan kesan kepada rakyat, bahwa kekalahan parpol-parpol dalam pemilihan umum legislatif adalah akibat "kecurangan" SBY. Dengan kata lain, parpol-parpol yang tidak mencalonkan SBY sebagai capres kemungkinan besar akan memanfaatkan  strategi "teraniaya".

Saya menduga, pada pilpres Juli mendatang akan terjadi persaingan ketat dalam strategi periklanan dan promosi yang dilakukan oleh parpol-parpol yang mendukung capresnya.  SBY telah memiliki modal kuat, yaitu popularitasnya. Sedangkan kompetitornya akan berupaya  agar popularitas SBY menurun drastis. Siapa yang berhasil? Kita tunggu saja.

Jakarta, 28 April 2009

 

Amir Karamoy, Ketua TELITI (Telaah legislatif Indonesia)