Senin, 25 Mei 2009

WARALABA (FRANCHISE): SKIM INVESTASI DI SEKTOR RIIL - Oleh Amir Karamoy

Waralaba (franchise) adalah, "hak khusus yang dimiliki orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba" –  demikian bunyi PP no. 42/2007 tentang "WARALABA". Berdasarkan pengertian di atas, maka waralaba dapat dikatakan adalah (1) Sistem bisnis (dalam rangka pemasaran) yang telah terbukti berhasil. (2) Sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Secara singkat, dapat dikatakan, waralaba adalah "penggunaan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business) yang dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain" yaitu perusahaan atau perorangan.  Pemilik sistem bisnis (yang telah terbukti berhasil) tadi disebut pewaralaba (franchisor), sedang pihak yang memanfaatkan/menggunakan sistem bisnis disebut terwaralaba (franchisee). Kebanyakan terwaralaba adalah pengusaha kecil (lokal/nasional) dan pewaralaba adalah perusahaan menengah besar. 

 

Berdasarkan data tahun 2008 (Sumber: IFBM), ada 518 perusahan pewaralaba yang sepanjang tahun 2008 membentuk sebanyak 41.381 gerai (outlets), baik franchised outlets maupun company owned outlets dengan mempekerjakan 890.128 tenaga kerja. Perputaran penjualan waralaba, pada tahun 2008 mencapai Rp. 52,8 trilyun. Namun, menurut Departemen Perdagangan penjualan kotor waralaba mencapai Rp. 80 trilyun.

 

Waralaba pemegang merek asing  lebih tertarik membangun gerai usaha sendiri (company owned outlets) daripada membangun gerai waralaba (franchised outlets). Sedangkan waralaba pemilik merek nasional/lokal, kebanyakan lebih tertarik  membangun gerai waralaba.  Apa perbedaan gerai usaha sendiri dengan gerai waralaba? Gerai usaha sendiri adalah cabang perusahaan atau "anak" perusahaan yang dimiliki (owned) dan dikelola (operated) perusahaan induk, sedangkan gerai waralaba kepemilikan usahanya (ownership) dikuasai oleh banyak pihak, baik perusahaan ataupun perorangan..  Secara kontras, dapat ilustrasikan bahwa, gerai usaha sendiri dimiliki oleh hanya satu perusahaan, gerai waralaba dimiliki oleh publik.

 

Dalam konteks "menjual" portofolio waralaba oleh pewaralaba dalam rangka ekspansi pasar dengan membentuk gerai-gerai waralaba, acapkali dikategorikan sebagai suatu skim investasi di sektor riil.  Pewaralaba sebagai pihak yang menjual waralaba dan terwaralaba adalah pihak yang membeli atau berinvestasi dalam waralaba, disebut investor.  Saat ini ada dua pola yang dijalankan dalam investasi waralaba, yaitu (1) Investasi aktif; (2) Investasi pasif.  Disebut investasi aktif karena investor (terwaralaba) bekerja dan menjalankan sehari-hari usahanya sendiri (dengan supervisi dan bimbingan pewaralaba) agar investasinya itu cepat kembali dan bertumbuh secara menguntungkan. Investasi pasif, investor atau terwaralaba terbatas hanya menyediakan modal dan atau aset, pihak pewaralaba-lah yang menjalankan operasional usaha sehari-hari gerai atau toko milik terwaralaba. Dalam pola investasi aktif, pihak pewaralaba menerima pembayaran dari investor berupa franchise fee atau up-front fee (hanya dibayarkan satu kali di muka) dan on-going royality yang diambil dari hasil penjualan kotor (gross revenues) gerai terwaralaba, berdasarkan jumlah prosentasi tertentu, selama kedua pihak terikat perjanjian (waralaba).

 

Dalam pola investasi pasif, biasanya, selain franchise fee atau up-front fee dibayarkan kepada pewaralaba,  kemudian setiap 3 atau 4 bulan sekali dibagi keuntungan bersih dari hasil penjualan gerai terwaralaba. Besarnya prosentasi pembagian keuntungan (profit sharing), proporsinya dinegosiasikan dan disepakati para pihak. Misalnya, 40% atau 45% untuk terwaralaba dan 60% atau 55% untuk pewaralaba, atau dapat pula sebaliknya.  

 

Secara empiris, dari beberapa simulasi keuangan yang pernah dibuat, return waralaba, khususnya usaha waralaba rumah makan atau kafe dan ritel,  rata-rata lebih stabil dan bila dihitung dalam jangka menengah dan panjang, lebih tinggi dari pada bermain di pasar modal.  Investasi dalam waralaba sama sekali tidak terpangaruh oleh isyu-isyu ekonomi atau politik dan relatif stabil menghadapi turun naiknya nilai tukar uang. Di samping, tidak terpengaruh oleh turun-naiknya nilai saham di pasar regional.

 

Dari beberapa studi yang pernah dibuat di AS  (US Federal Trade Commission), terungkap bahwa tingkat keberhasilan usaha (business success rate) waralaba rata-rata mencapai 92%, sedang usaha non-waralaba hanya 38%. Mengapa tingkat keberhasilan sebagai investor (terwaralaba) tinggi? Karena, investor "membeli pengalaman usaha" – seperti disebut di atas – yang telah terbukti sukses dan menguntungkan. Bukankah "pengalaman adalah guru yang baik?"  

 

Bila waralaba ingin dijadikan skim investasi di sektor riel, disarankan agar aturan tentang waralaba lebih diperketat. Khususnya aturan profesionalitas  pewaralaba dan transparansi dalam penawaran waralaba (initial franchise offering), lewat dikeluarkannya suatu regulasi. Misalnya, setiap pewaralaba, ketika menawarkan waralabanya, diwajibkan untuk membuka (disclose) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Dan, setiap pemberian  surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) oleh Departemen Perdagangan (atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah), harus berdasarkan rekomendasi suatu badan independen yang profesional – dimana badan ini bertugas melakukan penilaian tingkat kesehatan usaha pewaralaba. Mengapa Badan independen ini diperlukan? Karena, Departemen Perdagangan maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah-daerah sudah sibuk dengan rutinitas pekerjaaannya sehari-hari oleh sebab itu, dikuatirkan tidak dapat fokus dalam membina usaha waralaba.  Adanya Badan independen yang operasionalnya dibiayai sendiri, tidak mengambil anggaran negara/daerah, akan lebih fokus dalam membina dan mengembangkan waralaba. KADIN dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) dapat berperan dalam pembentukan Badan dimaksud di atas. Melalui pembentukan Badan ini pula, maka strategi yang akan ditempuh dalam rangka menjadikan waralaba sebagai skim investasi di sektor riel adalah menumbuhkan terlebih dahulu pewaralaba yang sehat, bonafid dan telah terbukti  menguntungkan. Mengapa? Karena  hanya dari pewaralaba yang telah berhasil akan tumbuh berkembang terwaralaba yang sukses atau investor yang mendapatkan capital gain yang tinggi – tidak pernah sebaliknya.

 

Selain itu, disarankan otoritas perbankan segera menyalurkan kredit murah bagi usaha kecil, khususnya untuk terwaralaba.  Belajar dari AS misalnya, Presiden Obama telah mengeluarkan suatu kebijakan khusus  untuk mendorong berkembangnya waralaba sebagai bagian dari recovery package di AS. Badan yang membiayai usaha kecil menengah (termasuk waralaba) yaitu, Small Business Administratiom (SBA) telah diperintahkan untuk meningkatkan jaminan kredit SBA dan memperkcil fees (increasing the SBA loan guarantees, lowering fees).

 

Pengucuran kredit untuk waralaba, resikonya jauh lebih rendah (lower-risk) dibandingkan dengan usaha independen.  Terlebih apabila adanya ketentuan yang mewajibkan pewaralaba dalam mendapatkan STPW, harus memiliki rekomendasi dari badan independen seperti diusulkan di atas.  Dengan demikian, pihak bank tidak perlu ragu untuk mengucurkan kreditnya, karena perjalanan bisnis terwaralaba terus didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba yang sudah terbukti berhasil dan bonafid. Pendampingan yang diberikan pewaralaba berujung kepada tingkat keberhasilan usaha terwaralaba semakin besar dan pada gilirannya tingkat resiko kredit menjadi lebih rendah daripada usaha non-waralaba.

 

Mudah-mudahan gagasan di atas didengar dan mendapat perhatian dari pihak yang membuat regulasi.

 

Jakarta, 26 Mei 2009

 
 


 

Sabtu, 09 Mei 2009

TUNTUTAN PROFESIONALITAS CALEG

 

 

Kecocokan karakter dasar (basic character) dengan minat (interest) seseorang terhadap suatu pekerjaan atau profesi biasanya akan membawa keberhasilan dalam kariernya. Tidak mudah untuk mengetahui apakah karakter seseorang betul-betul sesuai dengan minat yang diwujudkan dalam pilihan pekerjaan atau profesi. Ilmu psikologi, secara ilmiah melalui metode tes misalnya, berupaya mengungkap kecocokan karakter dan minat seseorang terhadap suatu bidang pekerjaan.   Namun, tes yang dibuat itu tidak menjamin ketepatan dan kepastian, hanya mengungkapkan indikasi-indikasi kecenderungan atas kecocokan seseorang pada suatu bidang pekerjaan tertentu. Untuk memperkuat pendapat di atas, sebagai contoh misalnya   seleksi anggota KPU yang tes tertulisnya dilakukan oleh suatu tim khusus dari Unversitas Indonesia, ternyata dalam kenyataanya, kinerjanya jauh dari memenuhi harapan. Artinya, tes psikologi yang meluluskan anggota KPU tidak memberikan jawaban yang tepat.

 

Banyak para ahli SDM mengatakan, bahwa faktor yang penting dalam keberhasilan seseorang adalah ditentukan oleh sejauhmana orang tersebut menyenangi dan mencintai pekerjaan atau profesinya. Bila seseorang tidak menyenangi dan mencintainya, hampir pasti akan gagal. Namun, menyenangi dan mencintai, pada hemat saya, ditentukan pula oleh kecocokan karakter terhadap minat dan pilihan bidang pekerjaan/profesi. Patut dicatat, bahwa setiap individu tumbuh dan berkembang. Seseorang yang tadinya karakter dan minatnya – melalui tes – dikatakan cenderung tidak cocok dengan suatu bidang pekerjaan tertentu,  ternyata dalam kenyataanya cocok. Demikian pula sebaliknya, yang tadinya dikatakan cocok, ternyata tidak.  Mengapa? Karena ternyata pengaruh lingkungan dalam arti luas, adalah juga variabel yang mampu membentuk atau bahkan merubah karakter termasuk prilaku.   Sebagai contoh saja. Teman saya, ketika sama-sama berkuliah, bila mengendarai mobil di Jakarta cenderung kebut-kebutan, ia tidak perduli apakah pengendara lain terganggu atau tidak. Namun, ketika teman tadi melanjutkan studi di Amerika Serikat, hal menarik yang saya temukan adalah cara mengendarai mobilnya berubah total, sangat sopan dan taat terhadap rambu-rambu lalu lintas. Saya tanyakan kenapa berubah? Ia menjawab sambil tersenyum, lingkungan dan suasana sosial di AS telah "memaksa" ia berubah.

 

Demikian pula lingkungan dan suasana tempat bekerja dalam arti luas, turut menentukan seseorang berprestasi dan kariernya tumbuh berkembang. Bisa saja seseorang yang berbakat dan memiliki kemampuan seperti yang direkomendaiskan oleh hasil tes psikologi, ternyata gagal dalam kenyataanya.  Atau seseorang dengan rekam jejak yang baik dan berkualitas, ternyata setelah menduduki suatu jabatan, gagal.  Kegagalan tersebut patut diduga karena lingkungan dan suasana kerja (sering juga disebut "budaya kerja") tidak mendukungnya.

 

Selain, aspek kecocokan karakter dengan minat dan pilihan bidang pekerjaan/profesi, tingkat pendidikan formal, sangat berperan terhadap intelektualitas, khususnya dalam kemampuan menganalisis.  Lebih tinggi pendidikan formal seseorang, kecenderungannya lebih baik kemampuan analisisnya. Kemampuan analisis ini adalah alat yang berperan besar menopang kemajuan karier dan prestasi kerja seseorang.

 

Pada sisi lain, bila dilihat sebaliknya, suatu pekerjaan atau profesi menuntut pula persyaratan sebagai karakter dasar. Misalnya, sebagai ilmuwan atau peneliti menuntut karakter yang cocok dalam mengemban kebebasan akademik (academic freedom). Bila ilmuwan karakternya tidak sejalan atau tidak dapat memanfaatkan kebebasan yang diberikan, potensial ia tidak akan berkembang atau  bisa-bisa kekacauan yang terjadi, karena kebebasan digunakan secara tidak bertanggung jawab.  Contoh lainnya adalah  seniman. Stereo type seniman dan artis yang sesungguhnya, biasanya egonya kuat, menjunjung tinggi kebebasan ekspresi dan peka terhadap nilai-nilai kultural.  Wartawan yang baik, memiliki  karakter yang mengutamakan objektifitas dalam membuat berita (memberitakan secara berimbang), mampu mengendalikan stress menghadapi tengat waktu yang ketat serta kesadaran untuk melakukan self censorship.

 

Bagaimana dengan anggota DPR/DPRD? Tentu saja sebaiknya memiliki karakter dasar yang cocok dengan pekerjaan sebagai politisi dalam menjalankan fungsi-fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi dan anggaran mensyaratkan dibutuhkannya latar belakang pendidikan formal yang tinggi (minimal perguruan tinggi) terkait dengan ilmu hukum dan ilmu ekonomi (keuangan dan akutansi). Tugas sebagai legislator  adalah membuat undang-undang (atau perda) dan mengawasi pelaksanaanya dan fungsi anggaran adalah membuat bujet negara (atau daerah) dan mengawasi penggunaanya.  Setiap anggota DPR/DPRD (& DPD) sebaiknya memiliki karakter yang tidak mengangap "the detail is the evil". Maksudnya adalah, seseorang yang memiliki karakter kerja yang  memang menyukai ketelitian dan rinci.  Penguasaan pada suatu bidang atau  masalah (sesuai dengan pembagian Komisi di DPR/DPRD), tidak bisa hanya pada hal-hal yang bersifat umum. Tetapi harus rinci dan mendalam. Penguasaan data (kuantitatif) atas suatu masalah pasti akan memberikan nilai tambah.  Bila anggota DPR/DPRD tidak menyukai angka (statistik) dan tidak memiliki kemampuan menganalisis secara logis dan rasional, maka kehadirannya di lembaga legislatif hanya sebagai sosok yang dibutuhkan untuk voting.

 

Memang anggota legislatif didampingi staf ahli, tetapi staf ahli harus diarahkan oleh anggota DPR, bukan sebaliknya. Kehadiran staf ahli hanya sebagai pembantu ahli, pihak yang membantu mengumpulkan data dan menganalisisnya serta teman untuk berdiskusi.  Namun, inisiatif dan pengarahan atas kerja staf ahli ditentukan oleh anggota DPR sesuai dengan garis kebijakan fraksi dan parpolnya.

 

Fungsi pengawasan mensyaratkan perlunya penguasaan ilmu komunikasi dan pengetahuan metodelogi survey. Komunikasi dalam pengertian, berhubungan dan berkomunikasi dengan konstituen secara setara dan memperlakukannya sebagai subyek, bukan obyek. Sedangkan dalam menyerap dan menyaring aspirasi, dilakukan melalui metode survey (atau observasi), baik secara kualitatif (indepth) maupun kuantitatif.  Di samping kemampuan untuk melakukan content analysis atas berita-berita dari media massa. Paling tidak, metode-metode survey di atas bukanlah sesuatu yang asing.

 

Komunikasi dan hasil penyerapan serta penyaringan aspirasi seperti dimaksud di atas, kemudian dibawa dan diperjuangkan – agar aspirasi tersebut menjadi kebijakan pemerintah, paling tidak mendapat perhatian pihak terkait.  Yang dimaksud dengan komunikasi disini, bukan hanya secara vertikal, tetapi juga horinsontal, yaitu  dengan pihak eksekutif termasuk sesama anggota legislatif. Dalam konteks ini, maka setiap anggota DPR/DPRD mutlak disyaratkan memiliki kemampuan dan menguasai tehnik menyampaikan idea dan pendapat dengan baik dan meyakinkan,  di samping kemampuan negosiasi dan lobi politik.

 

Selain hal-hal di atas, ada pula beberapa karakter dasar lainnya yang dibutuhkan. Misalnya, kemampuan mengendalikan diri dan tetap konsentrasi dalam situasi kebosanan mengikuti rapat yang bertele-tele. Hal ini sama sekali tidak mudah, terlebih bila seseorang yang tidak memiliki daya tahan, baik secara emasional maupun intelektual, ketika mengikuti rapat-rapat yang berkepanjangan.   Misalnya, karakter seniman atau artis yang profesional, rasanya tidak akan tahan duduk dan diam, sambil tetap harus berkonsentrasi mengikuti perdebatan yang berkepanjangan dan mungkin membosankan.   Bayangkan bila rapat-rapat di DPR/DPRD berlangsung 6 sampai dengan 10 jam hampir setiap hari, pasti rasa bosan menghinggapi.  Bila rasa bosan dalam menghadiri rapat-rapat tidak mampu diatasi, maka potensial akan membuat seseorang tidak produktif dan cenderung bersikap masa bodoh (apatis). Padahal menghadiri dan ikut aktif memberikan pendapat secara cerdas pada rapat-rapat di DPR/DPRD adalah tuntutan profesionalitas yang paling utama sebagai politisi dan legislator.  

 

Walapun anggota DPR/DPRD dipilih oleh suara terbanyak, namun berdasarkan perudangan yang berlaku, seperti disinggung di atas, tetap berada dalam kendali parpol yang mengusungnya. Dengan demikian, sebagai anggota DPR/DPRD pada dasanya tidak independen. Oleh sebab itu bila anggota DPR/DPRD tersebut adalah benar-benar seorang yang berprofesi sebagai artis atau seniman sesungguhnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi, maka sebagai anggota legislatif cenderung tidak cocok. Mengapa? Karena karakter dasar artis/seniman, pada hakekatnya tidak menyukai hal-hal yang menghalangi kreatifitas dan menyumbat suara hati sanubarinya. Setiap artis/seniman termasuk akademisi yang sesungguhnya, saya menduga, akan berpotensi berbeda pendapat dengan garis kebijakan parpol yang diwakilinya. Bila "conflict" ini terjadi, maka dibutuhkan kemampuan untuk melakukan negosiasi dalam rangka mencapai kompromi baru yang"win-win", dengan tetap berpijak kepada kepentingan dan keadilan untuk rakyat dan kebenaran berdasarkan suara hati sanubari.

 

Kemudian, merasa lebih pandai, percaya diri yang berlebihan, menganggap status dan posisinya sebagai anggota legislatif berada di atas profesi lainnya dan sebagainya, adalah sumber penyebab kegagalan sebagai anggota DPR/DPRD.  Teman saya aktifis LSM yang pernah menyelenggarakan lokakarya mengenai "tehnik dan tata cara membuat perundangan", mengatakan dari 550 anggota DPR yang diundang, hanya 2 yang hadir.   Mengapa para anggota DPR tidak berminat mengikuti lokakarya tersebut, padahal sangat relevan dengan tugas dan pekerjaannya? Jawabannya, "mereka merasa lebih tau dan lebih pintar".  Kalau betul lebih tau dan pandai, telitilah apakah program legislasi DPR periode 2004-2009 mencapai target seperti yang disepakati? Apakah kualitas perundangan yang dibuat bermutu? Berapa banyak produk UU yang kemudian dibawa ke Makamah Konstitusi? Jawabanya, masih jauh dari harapan! 

 

Apakah bila seseorang tidak memiliki karakter profesionalitas seperti yang dituntut sebagai anggota DPR/DPRD dapat berubah? Seperti ditulis di atas, lingkungan dan suasana kerja dapat merubah karakter, kebiasaan dan prilaku. Terlebih lagi bila sebelum terpilih telah menumbuhkan motivasi diri (self motivation) yang kuat untuk berubah. Namun, bila tidak cocok dengan karakter yang dituntut dan tidak mau berubah, sebaiknya sejak  saat ini mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dan mengusulkan pergantian antar waktu. Bila tetap memaksakan diri, bersiaplah menerima cemohan atau cercaan publik, yang tidak hanya akan mempermalukan dirinya sendiri, tetapi juga keluarga, parpol dan potensial menumbuhkan citra buruk lembaga legislatif. Termasuk kemungkinan dihinggapi penyakit tertentu, karena stress mental yang berkepanjang. Kecuali memang sudah tidak ada lagi rasa malu dan rasa tanggung jawab dan semata-mata menjadi  anggota DPR/DPRD hanya untuk datang, duduk, dengar, diam, dolan (jalan-jalan) dan duit – cape deh.

 

Jakarta, 9 Mei 2009

 

 

Amir Karamoy, Ketua Telaah Legislatif Indonesia (TELITI)