Minggu, 22 Maret 2009

WARALABA PENGHADANG PHK

Oleh Amir Karamoy

Ketua KomiteTetap Waralaba dan Lisensi - KADIN

 

Waralaba (franchise), seperti dimaksud oleh PP no.  42 tahun 2007 adalah, "hak khusus yang dimiliki orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba".

Berdasarkan pengertian di atas, maka waralaba adalah (1) Sistem bisnis (dalam rangka pemasaran) yang telah terbukti berhasil. (2) Dapat dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Artinya,  waralaba pada dasarnya adalah penggunaan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil oleh pihak lain. Pemilik sistem bisnis (yang telah terbukti berhasil) disebut pewaralaba (franchisor), sedang pihak lain yang menggunakan sistem bisnis tersebut disebut terwaralaba (franchisee).

 

Sebagian terbesar  terwaralaba adalah pengusaha kecil (lokal/nasional) dan pewaralaba adalah perusahaan menengah besar.  Waralaba, seperti dua sisi koin.  Satu sisi menciptakan kesempatan berusaha, sisi lainnya, menciptakan kesempatan kerja. Berdasarkan data tahun 2008 (Sumber: IFBM), ada 518 perusahan pewaralaba (berperan menciptakan kesempatan berusaha) yang sepanjang tahun 2008 membentuk sebanyak 41.381 gerai terwaralaba (yang berperan menciptakan kesempatan kerja) dengan mempekerjakan 890.128 tenaga kerja. Perputaran penjualan waralaba, pada tahun 2008 mencapai Rp. 4,4 trilyun per bulan.

 

Waralaba asing  lebih tertarik membangun gerai usaha sendiri (company owned outlets) daripada membangun gerai waralaba (franchised outlets).  Apa perbedaan membangun gerai usaha sendiri dengan waralaba? Gerai usaha sendiri adalah cabang perusahaan yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola perusahaan induk, sedangkan gerai waralaba dimiliki pihak lain. Untuk mengontraskan perbedaan tadi dapat dikatakan, bahwa  gerai usaha sendiri dimiliki oleh hanya satu perusahaan, gerai waralaba dimiliki oleh publik (banyak orang).

 

Dalam konteks mendirikan gerai waralaba, cara ini acapkali pula dikategorikan sebagai suatu skim alternatif investasi aktif.  Mengaapa aktif?,  Karena pihak investor (terwaralaba) berupaya (dengan supervisi dan bimbingan pewaralaba) menjalankan usahanya agar investasinya itu cepat kembali dan berkembang  secara menguntungkan. Berbeda bila berinvestasi di pasar modal misalnya. Kebanyakan investor pasif dan menyerahkan kepada fund-manager atau pialang.  Secara empiris, dari beberapa simulasi keuangan yang pernah dibuat, return waralaba rata-rata lebih stabil dan oleh karena itu bila dihitung dalam jangka menengah dan panjang, lebih tinggi dari pada bermain di pasar modal.  Investasi waralaba sama sekali tidak terpangaruh oleh isyu-isyu ekonomi atau politik dan relatif stabil menghadapi turun naiknya nilai tukar uang. Di samping, tidak terpengaruh oleh turun-naiknya nilai saham di pasar regional.

 

Dari beberapa studi yang pernah dibuat di AS pula , terungkap bahwa tingkat keberhasilan usaha waralaba rata-rata mencapai 92%, sedang usaha non-waralaba hanya 38%.  Bagaimana di Indonesia? Tingkat keberhasilannya tidak setinggi di AS, diperkirakan hanya mencapai 55%. Mengapa ini terjadi? Tulisan berikut ini akan membahasnya, dikaitkan dengan upaya menghadang gelombang PHK pada tahun 2009, sebagai dampak dari krisis keuangan dunia.

 

* * *

 

Sejumlah sumber menyebutkan telah mulai terjadi gelombang PHK pada awal tahun 2009 ini di Indonesia. JAMSOSTEK misalnya, memperkirakan sekitar 500.000 pekerja di PHK akibat dampak resesi ekonomi dunia pada tahun 2009 ini.. Pihak lainnya, memperkirakan PHK akan menyebabkan 1 sampai dengan 1,5 juta pekerja menganggur. Penurunan pertumbuhan ekonomi nasional sebanyak 1% akan menghasilkan pengangguran sebanyak 250 sampai dengan 300 ribu pekerja.

 

Antispasi terjadinya gelombang PHK akibat dampak krisis finansial dunia,  maka perlu didorong sektor-sektor usaha yang lebih berorientasi kepada penggunaan produksi dalam negeri, padat karya sekaligus masih mampu bertumbuh dalam situasi resesi ekonomi. Waralaba, karena terkait dengan kebutuhan primer manusia, seperti ritel, makanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya, diyakini tidak akan terlalu berpengaruh walaupun pertumbuhan ekonomi melambat.  Sektor ritel misalnya, yang porsinya terbanyak dalam waralaba, adalah sektor nomor dua terbesar setelah pertanian yang menampung tenaga kerja di Indonesia. Di samping itu, waralaba adalah sektor usaha yang mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri, berdasarkan perintah PP no. 42 tahun 2007 dan Permedag no. 31 tahun 2008.

 

Berdasarkan uraian di atas,  tidak pelak lagi pemerintah perlu lebih lagi mendorong waralaba sebagai salah satu sektor usaha yang diharapkan dapat mengurangi pengangguran akibat PHK. Karena, seperti telah disinggung tadi, waralaba pada hakekatnya memiliki dua sisi koin. Menciptakan dan mendorong kesempatan berusaha, dalam rangka menumbuhkan kewirausahaan di kalangan masyarakat, sekaligus juga menciptakan lapangan kerja.  Cara-cara yang pernah dilakukan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), PT. PPA (Perusahaan Pengelola Aset) dan Merpati Nusantara Airlines, ketika akan membubarkan diri atau melangsingkan perusahaanya, memberikan alternatif  kepada para pekerjanya agar memanfaatkan uang PHK (uang pesangon) ditanamkan pada usaha waralaba. Beberapa karyawan yang terkena PKH atau memilih pensiun dini,  kemudian bergabung berinvestasi dalam usaha waralaba dan sukses.

 

Supaya investasinya tidak sia-sia, sebagai kebijakan dalam rangka lebih melindungi investor atau (calon) terwaralaba, disarankan agar aturan tentang waralaba lebih diperketat. Khususnya aturan profesionalitas  pewaralaba dan transparansi penawaran waralaba (franchise offering), lewat dikeluarkannya aturan baru atau revisi permendag no. 31/2008. Misalnya, setiap pewaralaba, ketika menawarkan waralabanya, diwajibkan untuk membuka (disclose) laporan keuangan yang telah diaudit (Permendag no. 31/2008 tidak mewajibkan audit). Atau, setiap pengeluaran  surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) oleh Departemen Perdagangan (atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah), harus berdasarkan rekomendasi badan independen, dimana badan ini bertugas melakukan penilaian tingkat kesehatan usaha pewaralaba. Mengapa ini diperlukan? Karena, hanya dengan cara ini dapat ditumbuhkan  pewaralaba yang profesional dan bonafid. Melalui cara ini pula diharapkan tingkat keberhasilan usaha terwaralaba akan semakin tinggi, tidak hanya 55% seperti disebut di atas, tetapi dapat mencapai 90%,  karena di supervisi dan dibimbing oleh perwaralaba yang telah menguntungkan (profitable), teruji (proven) dan mantab (established).  Bisakah ini terjadi? Sangat mungkin, karena dalam seluruh perjalanan bisnis terwaralaba akan selalu didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba.  Walaupun, dalam operasionalisasi usaha sehari-hari, terwaralaba bebas menjalankannya. Artinya, kunci keberhasilan waralaba terletak pada profesionalitas dan bonafiditas pewaralaba. Oleh sebab itu, strategi yang harus dipilih terlebih dahulu adalah memilih perusahaan pewaralaba yang sehat dan mantap (established), terlepas  skalanya menengah atau besar. Di samping itu secara hukum, hal ini  sesuai dengan ketentuan UU no. 20 tahun 2008 tentang "Usaha Mikro, Kecil dan Menengah".  Yang menyebutkan bahwa waralaba adalah suatu kemitraan usaha yang dilaksanakan atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan.

 

Selain itu, otoritas perbankan perlu segera mengusahakan kredit bersubsidi bagi usaha kecil, khususnya untuk terwaralaba.  Belajar dari AS misalnya, Presiden Obama telah mengeluarkan suatu kebijakan khusus  untuk mendorong berkembangnya waralaba sebagai bagian dari recovery package di AS. Badan yang membiayai usaha kecil menengah (termasuk waralaba), Small Business Administratiom (SBA) diperintahkan untuk meningkatkan jaminan kredit SBA dan memperkcil fees (increasing the SBA loan guarantees, lowering fees). Lebih didorongnya waralaba adalah untuk lebih banyak menyediakan lapangan kerja, akibat gelombang PHK yang terjadi di AS, sekaligus menumbuhkan entrepreneur di kalangan usaha kecil. 

 

Pengucuran kredit bersubsidi untuk terwaralaba, resikonya jauh lebih rendah dibandingkan dengan usaha independen.  Terlebih apabila adanya ketentuan yang mewajibkan pewaralaba dalam mendapatkan STPW harus memiliki rekomendasi terlebih dahulu dari badan independen seperti diusulkan di atas.  Dengan demikian, pihak bank tidak perlu ragu untuk mengucurkan kreditnya, karena terwaralaba, walaupun masuk dalam kategori "usaha kecil"  operasionalisasi bisnisnya menggunakan manajemen  "usaha menengah besar".  Perjalanan bisnis terwaralaba yang terus didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba memberikan  nilai tambah lebih yang berujung kepada tingkat resiko kredit relatif lebih rendah daripada usaha non-waralaba.

 

Seperti kata pepatah "banyak jalan menuju Roma" – "banyak cara menanggulangi pengangguran akibat PHK".  Keputusan untuk memilih jalan terdekat ke Roma atau cara tersingkat untuk mengatasi pengangguran, harus segera dibuat.

 

Jakarta, 23 Maret 2009