Selasa, 09 Agustus 2011

ADAKAH PELUANG PARPOL BARU?


Oleh Amir Karamoy



Tidak ada hal baru dalam tulisan berikut ini. Karena memang hanya bermaksud untuk mengingatkan kembali hal-hal yang perlu dipersiapkan, sehubungan dengan pembentukan parpol baru untuk bersaing dan meraih suara sebanyak mungkin dalam pemilu.

Untuk parpol baru yang akan bertarung dalam pemilu 2014, tidak ada salahnya mempelajari keberhasilan 3 parpol ketika pada awal keikut sertaanya dalam pemilu,  langsung  meraih suara cukup signifikan, yaitu Partai Keadilan (PK) yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD)  dan terakhir, Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA).

Pada awal kiprahnya pada pemilu legislatif 1999, PK mendapatkan 7 kursi  di DPR.  Karena tidak tidak mencapai electoral threshold (ambang batas parlemen), maka pada pemilu 2004 PK yang berubah menjadi PKS melesat memperolehi  45 kursi di DPR.

Sedangkan pada pemilu 2004 partai baru yang bernama Partai Demokrat langsung meroket mendapatkan 57 kursi di DPR. Kemudian pada pemilu 2009,  secara menyakinkan PD menunjukan “gigi”-nya, menjadi parpol terbesar di Indonesia, mengalahkan dominasi partai-partai lama, yaitu Golkar dan PDIP.  PD memperoleh 150 kursi di DPR. Meningkat hampir 3 kali dibanding pemilu 2004.

Kemudian, pada pemilu 2009 pendatang baru Partai Gerindra  langsung mendapatkan sebanyak 26 kursi di DPR. Adalah tidak berlebihan bila ada yang berpendapat pada pemilu 2014, kursi partai Gerindra juga akan melesat. Kebijakan partai seperti ditunjukan oleh fraksinya di DPR, terkait dengan tidak ikut serta dalam kegiatan studi banding, karena dianggap hanya menghambur-hamburkan anggaran negara dan menolak rencana pembangunan gedung DPR yang baru, karena tidak sesuai dengan aspirasi rakyat banyak, menunjukan komitmen Gerindra yang potensial dapat menjadi aset meraih lebih banyak lagi pemilih pada pemilu  2014 mendatang. 

* * *

Apa modal keberhasilan PKS? Dari hasil studi literature,  kekuatan PKS adalah adanya basis massa yang loyal (CSIS, 2008). Yaitu, kaum muda terdidik yang berbasis islam, remaja mesjid, islam modernis, dan lain-lain (Dr. Fahmi Ambar, Isnet 2010). Dengan mengusung nilai-nilai dan ajaran islam PKS membentuk citranya sebagai partai yang bersih dan peduli.

Selain dukungan basis massa yang jelas, organisasi PKS dibangun secara profesional dan moderen. Kekuatan PKS, adalah pada soliditas yang kuat dan kohesi organisasi yang mengakar sampai ke daerah-daerah.   Kekuatan organisasi inilah yang menjadikan PKS, sebagai parpol baru, berhasil dalam pemilu 2004 dan melejit pada pemilu  2009. Karena, dalam politik, organisasi adalah alat atau organ yang strategis dan ampuh untuk mempengaruhi pemilih secara langsung. Atau dengan kata lain, organisasi yang solid dan kuat akan menyediakan energi bekerjanya mesin  parpol secara efektif. Tanpa adanya organisasi yang kuat, jelas sulit untuk berhasil dalam pemilu.

Salah satu ukuran kuatnya organisasi parpol, adalah mampu menyediakan saksi minimal 80% dari jumlah TPS. Bila jumlah TPS 500 ribu, maka paling tidak parpol harus mampu menyediakan saksi sebanyak 400 ribu kader yang tersebar di seantero pelosok Indonesia.

Apa kekuatan PD sehingga melejit dalam pemilu 2004, walaupun basis primordial massa pemilihmya tidak terlalu jelas? Kekuatan utamanya adalah terletak pada figur. Siapapun menyadari bahwa SBY adalah ibarat magnet yang mampu menarik massa berbondong-bondong  menyoblos PD.

Berpijak dari pengalaman pemilu 2004, pada pemilu 2009 kekuatan dan soliditas organisasi PD kemudian dibangun secara lebih seksama guna menopang  pesona SBY. Kombinasi inilah yang menjadikan PD berhasil meruntuhkan kemapanan parpol lama (GOLKAR dan PDIP).  

Pada pilpres 2009 yang memenangkan pasangan SBY-Boediono hanya dalam satu putaran, para analis berpendapat dikarenakan faktor figur dan kekuatan (gabungan) organisasi parpol yang mendukungnya, termasuk PKS, juga efektifnya kelompok-kelompok tim pemenangan SBY-Boediono, mulai dari penggalangan pemuda/mahasiswa, kelompok profesional, kaum perempuan, kelompok pengajian, keluarga birokrat/TNI-Polri, sampai dengan peranan intelejen (The Global Source for Summaries & Reviews, 2010).

Bagaimana dengan partai Gerindra? Selain efektifitas rekrutmen, partai Gerindra  dibangun berdasarkan suatu sistem (komando) yang jelas. Kedudukan dan peranan tokoh sentral, Prabowo Subianto, sebagai  mantan perwira tinggi TNI/Danjen Kopassus – dibantu oleh adiknya Hashim Djoyohadikusumo, seorang pengusaha sukses, secara langsung maupun tidak langsung, ikut memberikan warna terhadap corak kepemimpinan partai Gerindra. Yang kemudian membawa partai ini menang secara mengejutkan pada pemilu 2009, seperti ditulis dalam press release LP3ES, 9 April 2009.

Bila PKS langsung diperhitungkan karena meraih suara yang signifikan pada pemilu era reformasi, karena kekuatan organisasi dan militansi pengikutnyanya, PD sangat ditunjang oleh figur SBY, maka Gerindra  terutama ditopang oleh keberhasilan dalam strategi political marketing. Berdasarkan berita KOMPAS.COM, tanggal 7 Maret 2009, secara offisial dana kampanye Gerindra adalah yang paling besar dibandingkan dengan parpol peserta pemilu 2009 lainnya.  Keberhasilan dalam strategi political marketing diperkirakan akan menjadi modal yang signifikan untuk menjadikan Gerindra sebagai parpol papan atas pada pemilu 2014 mendatang.

* * *

Apa yang dapat dipetik dari analisis di atas? Untuk berhasil dalam pemilu idealnya parpol baru harus memiliki 3 unsur utama, yaitu: (1) Organisasi yang tertata baik sampai ke pelosok-pelosok – yang  mampu menyediakan  saksi minimal di 80%  TPS; (2) Figur yang dapat menjadi magnet pemilih; (3) Strategi political marketing yang tepat. Namun, bila parpol baru hanya memiliki  2  dari 3 unsur utama di atas, walaupun tidak ideal, tetapi sudah cukup, sebagai modal mendudukan kadernya di DPR sesuai dengan persyaratan ambang batas parlemen.

Apakah rekam jejak sesorang yang dipersepsikan negatif akan berpengaruh terhadap electability-nya? Rasanya tidak terlalu signifikan. Kesadaran atas rekam jejak seseorang tampaknya hanya sekedar konsumsi politik sejumlah elit.   Contohnya, ketika Ginanjar Kartasasmita yang pada pemilu 2004 dipersepsikan sebagai “politisi busuk”, justru dipilih dengan suara terbanyak dalam pemilihan DPD di Jawa Barat.  Prabowo Subianto dan Wiranto,  yang dipersepsikan bermasalah terkait dengan “penculikan aktivis” dan “pelanggaran ham”, partai yang masih baru yang dipimpimnya justru berhasil dalam pemilu legislatif 2004.

Oleh sebab itu, variabel rekam jejak seseorang dalam pemilu, tampaknya tidak akan terlalu besar pengaruhnya bagi pemilih.

* * *

Apa yang paling diperlukan agar parpol baru dapat memenuhi 2 dari 3 unsur utama seperti disebut di atas. Jawabannya adalah dana (uang). Sayangnya, tidak ada ukuran baku (secara realistis) jumlah dana yang diperlukan untuk membangun jaringan organisasi parpol baru dari Sabang hingga ke Merauke. Namun, berdasarkan rekaan (alm) Dr. Sjahrir – seorang ekonom handal dan Ketua Umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPBI) – paling sedikit Rp. 200 milyar (nilai rupiah pada tahun 2003). Sementara itu, AGB Nielsen Media Research misalnya melaporkan, dana untuk iklan politik saja yang dibelanjakan di media pada kuartal pertama 2009 (Januari – Maret) sudah mencapai Rp. 1,06 trilyun, naik 3 kali lipat dibanding dengan pemilu 2004. Berdasarkan laporan tersebut,  secara kasar dapat dikatakan bahwa hanya untuk iklan politik (di media TV/elektronik/cyber, cetak dan lain-lain) rata-rata dana yang dibelanjakan oleh parpol (besar) sekitar Rp. 150 milyar.

Selain masalah pendanaan, tantangan parpol baru lainnya adalah bila  usulan ambang batas parlemen pada pemilu legislatif 2014 disepakati naik menjadi 4% atau 5%, maka pasti akan menjadi beban yang berat.

Mengingat tantangan yang begitu besar, apakah parpol baru masih memiliki peluang untuk menang? Tentu saja masih. Karena menurut laporan LSI (2011) massa mengambang diperkirakan berjumlah 30,1%.  Bila jumlah penduduk yang memiliki hak pilih 170 juta, maka ada 51 juta pemilih yang potensial diperebutkan parpol baru. 

Mempertimbangkan tantangan yang dihadapi parpol baru yaitu, pendanaan dan persyaratan ambang batas parlemen, mungkin perlu dipertimbangkan untuk melakukan koalisi politik, dalam rangka membangun sinergi,  sejak awal (setelah lolos verifikasi dan sebelum pemilu).  Parpol baru yang berkoalisi tersebut, masing-masing harus memiliki “kelebihan” dalam arti basis sosial/pemilih,  figur yang “dijual” dan sumber daya melakukan political marketing. Penggabungan “kelebihan” itu kemudian harus diikuti dengan memperkokoh fondasi kerjasama kelembagaan dan sistem kerja mesin politik.  Antara lain, misalnya, mempersiapkan saksi-saksi yang terlatih untuk setiap TPS dan capres/cawapres pada pemilu mendatang.

Koalisi antara parpol yang memiliki “ideologi” dan platform  yang sama, kiranya perlu ditimbang-timbang. Misalnya antara Partai Nasdem (Nasional Demokrat) dengan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) dan Partai SRI (Serikat Rakyat Indonesia).

Ketiga parpol baru di atas, tampaknya (walaupun masih perlu dibuktikan), masing-masing memiliki “kekuatan” yang bila bersinergi akan lebih banyak memberikan manfaat – bukan hanya untuk parpol itu sendiri, tetapi rakyat pendukungnya secara keseluruhan.


*) Ketua Telaah Legislatif Indonesia (TELITI)