Kamis, 05 April 2012

SIARAN PERS KADIN - WALI



Isyu utama dalam draft Permendag yang baru (pengganti Permendag no. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang ”Penyelenggaraan Waralaba”, antara lain,  adalah hal-hal sebagai berikut:

  1. Mengefisienkan penerbitan surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) dengan cara ”on-line”.
  2. Pembatasan pembangunan company owned outlet (COO) dan mendorong pertumbuhan franchise outlet (FO),  dalam rangka menciptakan praktek usaha sehat yang transparan dan menghidari ”dominasi pasar” oleh individu/kelompok perusahaan/pengusaha tertentu.
  3. Mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara perusahaan/pengusaha besar dengan menengah atau menengah dengan kecil dan mikro atau antara pengusaha di tingkat nasional dengan di daerah-daerah.
  4. Mendorong penggunaan produk dalam negeri yang berkualitas
  5. Laporan Keuangan dalam Prospektus Penawaran Waralaba, wajib diaudit oleh akuntan publik.
  6. Memastikan pengembangan waralaba asing untuk sebesar-besarnya bermanfaat bagi ekonomi nasional.

Pada pihak lain, KADIN (&  Perhimpunan WALI – Waralaba dan Lisensi Indonesia), berpendapat bahwa, praktek waralaba harus dijalankan berdasarkan (I) UU no. 20 tahun 2008 tentang ”Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah”; (II) PP no. 42 tahun 2007 tentang ”Waralaba”.  Artinya,  berdasarkan kedua perundangan/peraturan di atas, memang tidak dikenal yang disebut COO, yang dikenal hanya FO. Oleh karena itu,  praktek waralaba sebaiknya dikembalikan pada pengertian/hukum yang seharusnya/sebenarnya.  Yaitu, fungsi dan manfaat waralaba adalah dalam rangka (1) Menciptakan pengusaha/entreprenuer, (2) Menciptakan lapangan kerja.  (3) Pemerataan kesempatan berusaha dan bekerja.

KADIN (& WALI) menyarankan,  dalam draf materi regulasi waralaba yang baru tersebut,  sebaiknya mencantumkan kewajiban Pemerintah  (Pusat dan Daerah) untuk mendorong dan mengembangkan usaha waralaba nasional/lokal melalui  pemberian fasilitas permodalan/perkreditan, pemasaran/ promosi, kemudahan prosedural,  pelatihan berjenjang dan bekelanjutan, serta R & D, secara terprogram dan kongkrit.  Di samping, menunjuk KADIN (& WALI) sebagai ”intermediate body” yang memberikan rekomendasi atas penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) – untuk memastikan aspek hukum khususnya dalam perjanjian waralaba, dipenuhi.  Serta memonitor penyelenggaraan waralaba dipraktekan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.  

Bagi perusahaan/pengusaha yang tidak nyaman dengan aturan waralaba termasuk pembatasan pembangunan COO, sebaiknya tidak menyatakan dirinya sebagai waralaba.

Kepada Pemerintah, diingatkan gagasan untuk membagi waralaba dalam kategori-kategori kuliner, ritel, jasa dan lain-lain, sama sekali tidak berdasar dan menyesatkan. Waralaba  adalah ”penggunaan/pemanfaatan HKI (merek) sekaligus sistem bisnis yang telah teruji” dari satu pihak ke pihak lain. Jadi, bukan merupakan kategori atau bidang usaha ataupun jenis produk tertentu.

KADIN (& WALI) menyarankan pula agar PP no. 42 tahun 2007 segera direvisi. Dengan  menjadikan waralaba sebagai suatu skim investasi di sektor riel,    melalui cara ”franchisor operating franchise”  dan memberikan payung hukum untuk mendorong ekspor waralaba lokal ke pasar internasional.  Di samping itu, Pemerintah segara menerbitkan PP  tentang Lisensi, sekaligus membuat PP tentang  Kemitraan/Peluang Bisnis (Business Opportunity), berdasarkan UU no. 20 tahun 2008. Kesemua perangkat hukum di atas, untuk memberikan kepastian hukum terhadap praktek waralaba (sebagai suatu skim investasi di sektor riel), lisensi dan kemitraan.


Jakarta,  April 2012




AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap
Waralaba dan Lisensi