Sabtu, 18 Agustus 2012

WARALABA DALAM KAITAN DENGAN RUU PERDAGANGAN

USULAN UNTUK FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (FPKS) DPR-RI DISAMPAIKAN DALAM DISKUSI PUBLIK MEMBAHAS RUU PERDAGANGAN 

Kronologi

UU yang pertama kali memuat kata Waralaba adalah UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha Kecil”. UU ini telah dicabut dan digantikan oleh UU no. 20 tahun 2008 tentang “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”.
Kemudian UU no. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” menyebut secara khusus “Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba”.  Perlu dicatat bahwa kedua UU di atas, tidak merumuskan/memuat batasan pengertian/definisi tentang Waralaba.    Baru pada PP no. 16 tahun 1997 tentang “Waralaba”, pengertian/definisi Waralaba dirumuskan, sbb: “Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa”.

Sebagai peraturan pelaksana/ atas PP no. 16/1997 diterbitkan SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba”. Kemudian sebagai konsekwensi diberlakukannya UU no. 10 tahun 2004, SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 di atas dicabut dan diganti oleh Permendag no. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba”. Patut dicatat bahwa dalam Permendag no. 12/2006, pengertian/definisi Waralaba berubah, sbb: “Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba di mana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba”.

PP no. 16/1997 kemudian dibatalkan dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang “Waralaba”. Patut dicatat, pengertian/definisi Waralaba pada PP no. 16/1997 dan pada Permedag no. 12/2006 berubah lagi dengan diterbitkannya PP no. 42/2007, yaitu sbb: “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”

Kesimpulan & Saran

Pada hakekatnya, Indonesia belum memiliki pengertian/definsi Waralaba yang tepat dan baku.   Pengertian/definisi tentang Waralaba dicantumkan/disebut dalam PP dan Permendag, menurut kami masih mengandung kerancaun dalam pengertiannya. Oleh sebab itu, disarankan dirumuskan/dibuat pengertian / definisi tentang Waralaba yang baku pada tingkat UU (Perdagangan). Kami berpendapat Waralaba bukan sekedar distribusi barang dan/atau jasa yang perdagangannya secara langsung atau tidak langsung (lihat Pasal 5 RUU Perdagangan), tetapi juga menyangkut penggunaan/pemanfaatan Hak kekayaan Intelektual (HKI), khususnya Merek. Pengertian/definisi pada (PP no. 42 tahun 2007) yang dicantumkah dalam Penjelasan RUU pasal 5b. Menurut kami tidak tepat, karena tidak mencantumkan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), khususnya MEREK, tetapi HAK KHUSUS. Apa yang dimaksud dengan HAK KHUSUS tidak jelas dan yang pasti tidak berdasarkan acuan UU. Berbeda dengan MEREK/HKI yang dilindungi dan diatur dalam UU Merek no. 15 tahun 2001 khususnya, UU tentang HKI umumnya. Dengan demikian, perlu menempatkan Waralaba pada pasal tersendiri dengan suatu pengertian/definisi yang lebih lengkap, integratif, menyeluruh dan baku dalam UU Perdagangan ini. Waralaba juga harus dilihat sebagai suatu skim peluang bisnis (business opportunity), misalnya lisensi.

Kami menyarankan pengertian/definisi Waralaba yang baku yang dicantumkan dalam RUU Perdagangan (atau pada Penjelasan Pasal 5 b), paling sedikit mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

(1). Hak Kekayaan Intelektual (HKI).  (2) Sistem Usaha yang telah terbukti sukses (3)  Perjanjian waralaba

Dengan adanya unsur Perjanjian waralaba dalam definisi waralaba, maka dipastikan ada 2 (dua) pihak (atau pelaku usaha) yang terlibat, yaitu Pemberi Waralaba (franchisor) dan Penerima Waralaba (franchisee). Pengertian ini menjelaskan bahwa sebetulnya tidak ada "company owned unit" dalam skim waralaba yang benar.      


Jakarta, 20 Juni 2012


POKOK-POKOK PIKIRAN DALAM RANGKA REVISI PERMENDAG TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA



POKOK-POKOK PIKIRAN DALAM RANGKA REVISI PERMENDAG NO. 31/2008 DAN DRAF PERMENDAG TENTANG WARALABA TOKO MODERN, RUMAH MAKAN DAN RUMAH MINUM 


 Oleh AMIR KARAMOY 
 Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN-INDONESIA

Berikut ini adalah saran/masukan terkait dengan butir-butir revisi permendag no. 31/M-DAG/PER/8/2008 dan draf Permendag tentang Penyelenggaraan Waralaba Toko Modern, Rumah Makan dan Rumah Minum, yang kami terima melalui email, pada tanggal 5 Juli 2012. 1.

Diinfromasikan bahwa baru-baru ini kami diundang oleh FPKS di DPR untuk memberikan masukan dalam rangka review perbaikan/penyempurnaan pengertian/definisi waralaba seperti dimaksud dalam RUU Perdagangan pasal 5 (dan penjelasannya). Kesimpulan diskusi di DPR tersebut, menyarankan pengertian/definisi waralaba seperti dimaksud dalam penjelasan pasal 5 RUU Perdagangan, perlu diperbaiki/disempurnakan. Hasil diskusi merumuskan pula bahwa, waralaba adalah HKI (utamanya merek) dan sistem bisnis/usaha/pemasaran, bukan bentuk jenis usaha atau bidang usaha tertentu, misalnya, ritel, rumah makan/minum, toko modern atau tradisional dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka, adalah tidak tepat bila dalam aturan/regulasi tentang waralaba mengatur pula secara spesifik/khusus (dan secara langsung) jenis usaha atau bidang usaha tertentu, misalnya toko modern, rumah makan/minum. Untuk diketahui, tidak ada aturan/regulasi waralaba di dunia yang mengaitkan dan/atau mengatur secara spesifik/khusus (secara langsung) suatu jenis/bidang usaha tertentu. Suatu usaha perdagangan ritel atau toko modern misalnya, bila menjalankan waralaba, maka berlaku untuknya dua aturan/regulasi, yaitu, aturan/regulasi tentang ritel/toko modern dan waralaba sekaligus. Bila hanya menjalankan perdagangan ritel/toko modern, maka tidak terkena aturan/regulasi tentang waralaba (hanya menjalankan aturan/regulasi tentang ritel/toko modern). Oleh sebab itu, draf permendag tentang “Waralaba Toko Modern, Rumah Makan dan Rumah Minum”, yang mengatur secara spesifik/khusus suatu jenis/bidang usaha tertentu, tidak lazim, tidak relevan dan tidak tepat. Dikuatirkan, bila satu saat nanti misalnya, bertumbuh pesat jasa perbengkelan otomotif atau salon mobil yang juga menyediakan pelayanan makan/minum, maka Pemerintah akan mengeluarkan lagi Permendang tentang Waralaba “Perbengkelan/Salon Mobil Modern?”.

Kami mendesak agar pembahasan draf Permendag tentang hal di atas dihentikan. Karena, dikuatirkan hanya akan menimbulkan “cemohan” yang menyatakan Kementerian Perdagangan tidak memahami konsep/pengertian dan operasional waralaba yang benar dan sesungguhnya. Di samping itu, semakin banyaknya regulasi terkait dengan waralaba, potensial dapat berdampak negatif bagi perkembangan sektor riel, waralaba khususnya, yang bertujuan membentuk wirausaha atau menciptakan kesempatan berusaha serta – sekaligus – menciptakan lapangan/kesempatan kerja akan terhambat bahkan tidak terjadi. 

Aturan/regulasi terkait dengan Toko Modern, Rumah Makan dan Rumah Minum, bila memang dianggap mendesak, sebaiknya dibuat tersendiri – tanpa menyebutkan waralaba, karena sudah diatur tersendiri. 

Seperti telah disampaikan di atas, semua jenis/bidang usaha bila mempraktekan waralaba, maka tunduk pula kepada aturan/regulasi waralaba.

Kami menyarankan agar materi revisi Permendag no. 31/2008 yang menyebutkan “kewajiban untuk menjalankan usaha sesuai dengan izin usaha yang dimilki” dipertajam dan dipertegas. Dan mencoret revisi yang menyebutkan “penyimpangan dapat dilakukan untuk barang-barang pendukung usaha paling banyak 10%”. Karena, sulit (multi interpretasi) untuk mengukur/menetapkan telah terjadi penyimpangan di atas 10%?

Kami berterima kasih atas diterimanya usulan kami tentang tetap diberikannya wewenang kepada Dinas Kab/Kota menerbitkan STPW, sesuai dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Berdasarkan usulan kami tersebut dengan mempertimbangkan asas profesionalitas dalam penerbitan STPW, serta dalam rangka membantu Kementerian Perdagangan, maka perlu dipertimbangkan untuk pula melibatkan KADIN, sebagai pihak yang memberikan rekomendasi atas penerbitan STPW dimaksud, baik pada tingkat nasional maupun lokal (Kab/Kota). Sedangkan hak untuk menerbitkan STPW sepenuhnya pada Pemerintah (daerah). Mengingat KADIN adalah satu-satunya organisasi pengusaha/perusahaan yang berada di semua ibukota Propinsi dan Kab/Kota di Indonesia, maka penunjukan KADIN mendampingi/membantu Pemerintah (pusat dan daerah) untuk memberikan rekomendasi penerbitan STPW, sangat dimungkinkan. Selain karena KADIN memenuhi kelengkapan infra struktur organisasi seperti disebut di atas, juga adanya dasar hukum yang menunjangnya (lihat UU no. 1 tahun 1987 tentang KADIN, pasal 8 butir a dan b). 4. Revisi tentang “wajib mencantumkan komposisi penggunaan tenaga kerja dan barang/bahan baku yang diwaralabakan”, tidak jelas, khususnya “barang/bahan baku yang diwaralabakan”. Sesuatu yang diwaralabakan adalah HKI dan sistem usaha/bisnis/pemasaran. Oleh sebab itu, kami menyarankan agar pengertian dalam revisi ini diperjelas dan disesuaikan dengan kaidah pengertian waralaba yang benar.

Tentang LOGO WARALABA, kami menyarankan dibuat dahulu Kepmen-nya, agar dasar hukumnya jelas. Atau, dicarikan upaya lain, agar kewajiban mencantumkan LOGO WARALABA berdasarkan ketentuan hukum yang sah.

Ketentuan “kewajiban untuk menjalankan semua ketentuan pemerintah” (termasuk peraturan perundang-undangan) adalah berlebihan, oleh sebab itu tidak perlu dicantumkan. Karena semua warga negara, termasuk pengusaha/perusahaan, sesuai dengan asas negara hukum, harus taat dan menjalankan semua ketentuan pemerintah dan peraturan-undangan yang berlaku.

Pembatasan jumlah gerai milik sendiri adalah amanat dari pasal 11 butir g dan pasal 36 butir 2, UU no. 20 tahun 2008 (terkait pula dengan UU no. 5 tahun 1999 dan Kep KPPU no. 57/KPPU/Kep/III/2009). Oleh sebab itu, sebaiknya team pembuat revisi Permendag no. 31/2008 berkomunikasi/berkonsultasi dengan KPPU, guna menetapkan pengertian yang pas tentang dominasi pasar/posisi dominan. Misalnya, apa reasoning ekonomi dan hukum dari rasio 2 : 1 (2 gerai milik sendiri dan 1 milik penerima waralaba). Mudah-mudahan hal ini telah dikerjakan.

Dalam rangka peningkatan dan diversifikasi ekspor, kami menyarankan “ekspor waralaba Indonesia”, dimasukan dalam Permendag dalam rangka mendorong ekspor merek Indonesia dan budaya/life-style Indonesia. Dengan demikian, dalam revisi Permendag, perlu ditambahkan ketentuan, bahwa Pemerintah (daerah) wajib mendorong dan memfasilitasi dalam arti luas serta kemudahan dalam rangka ekspor waralaba (termasuk fasilitas kredit ekspor) serta mewajibkan atase perdagangan/ITPC secara aktif mempromosikan waralaba lokal/Indonesia di pasar global.

Dalam revisi Permendag, perlu secara eksplisit dinyatakan (dalam pasal tersendiri) bahwa Pemerintah akan memprioritaskan memberikan kemudahan perizinan, perkreditan, akses pasar, promosi, pelatihan/konsultasi, R & D dan sebagainya bagi pengusaha/perusahaan waralaba Indonesia. Hal ini sangat diperlukan, bila tidak dicantumkan dan dilaksanakan, maka sudah dapat dipastikan, waralaba tidak akan bertumbuh/berkembang. Pengusaha lebih tertarik menjalankan pola lainnya yang tidak/belum “diregulasi”. Misalnya lisensi, kerjasama/kemitraan usaha dan sebagainya. Oleh sebab itu, keberpihakan dan komitmen Pemerintah (daerah) untuk membangun dan mengembangkan waralaba nasional, perlu dicantumkan secara jelas, dengan mengikut sertakan KADIN dan Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia – WALI) membina dan memacu pertumbuhan/perkembangan waralaba lokal/nasional yang bonafid dan profesional. Demikian saran kami. Semoga bermanfaat dan ditanggapi dengan baik.


 Jakarta, 9 Juli 2012