Minggu, 23 Desember 2012

ALI SADIKIN DAN JOKOWI


Gagasan dan rencana Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) untuk menata kembali perkampungan (kumuh), bukanlah suatu hal yang baru.  Pada tahun 1930, pemerintah kolonial Belanda telah menjalankan program semacam ini bernama  “Kampong Verbetring” (Perbaikan Kampung).

Pada jaman Gubernur Ali Sadikin, program ini dihidupkan kembali dengan nama “Proyek Moh. Husni Thamrin” yang memperoleh penghargaan dunia, antara lain mendapatkan  Agha Khan Award dan bantuan finansial dan teknis  dari Bank Dunia.  Program ini menarik perhatian dunia, karena  mempraktekan prinsip “membangun tanpa menggusur” di wilayah kumuh perkotaan besar.

Pada awal tahun 70an, ketika saya aktif sebagai mahasiswa yang tergabung dalam IMADA (Ikatan Mahasiswa Djakarta), atas inisiatif teman dekat saya, Chaidir Makarim dan persetujuan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ketika itu – kami menyelenggarakan evaluasi program Moh. Husni Thamrin.

Kemudian atas permintaan Ali Sadikin pula, IMADA diminta untuk mengisi kegiatan HUT Kota Jakarta. Salah satu usulan IMADA yang disambut antusias oleh  Ali Sadikin adalah menyelenggarakan “malam muda-mudi” dan karnaval di jalan Thamrin yang pada malam hari ditutup untuk semua kendaraan bermotor. Istilahnya sekarang, seperti yang dikatakan Gubernur Jokowi “car free nite”. 

Di sepanjang jalan Thamrin didirikan panggung-panggung pertunjukan musik (band), pertunjukan kebudayaan Nusantara dan sebagainya. Kegiatan utama pada malam itu adalah  “dancing in the street”. Dimana anak-anak muda (dan orang dewasa) bergembira, bernyanyi dan menari di sepanjang jalan.

* * *

Kembali tentang program perbaikan kampung, pada awal tahun 80an Bank Dunia mengucurkan dana dalam rangka monitoring dan evaluasi KIP (Kampung Improvement Program) di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang (Makasar) dan beberapa kota lainnya untuk selama 4 tahun. Kebetulan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Sosial dan Ekonomi) ditunjuk sebagai penyelenggaranya, dimana saya menjadi  Project Manager.

Hasil monitoring dan evaluasi KIP ini mengungkapkan  bahwa:

SATU
Dampak ekonomi dalam arti meningkatnya kesejahteraan masyarakat setempat akibat   perbaikan kampung, tidak signifikan. Artinya, tidak ada korelasi positif antara perbaikan kampung dengan turun atau meningkatnya ekonomi masyarakat setempat

      DUA
      Dampak sosial yang cukup signifikan adalah tertatanya lingkungan hidup (kondisi    
      pisik perkampungan) yang lebih baik

     TIGA 
   Timbul niat  dari sebagian masyarakat untuk menjual tanah dan bangunan/rumah yang         harganya meningkat, akibat perbaikan lingkungan pisik kampung
   
     EMPAT 
  Perlu dibangun tanggung jawab kolektif masyarakat  terkait  dengan pemeliharaan       pembangunan fisik dan lingkungan hidup (khususnya menggalakkan program penghijauan)

      LIMA   
   Perlu dibentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, agar masyarakat dapat mengatur dan mengorganisasi dirinya sendiri, tanpa terlalu tergantung kepada pihak lain (termasuk pemerintah kota).

Apa yang dikerjakan gubernur Jokowi patut didukung.  ”Let’s learn from the past for the brighter future..…”



Jakarta, 23 Desember 2012





Sabtu, 01 Desember 2012

THE NEW FRANCHISE REGULATION (2)

The second franchise regulation has just been published on October 29, 2012 is about “Franchise for Modern Shop” (Permendag no. 68/2012). This regulation specifies on the retail modern shop which may only have 150 companies owned and operated by the franchisor or master franchise.  The rest should be franchised and owned (and operated) by another party or public.  

For example, when the franchisor of the modern retail shop, before the regulation is published have already 500 companies owned stores, then the rest (350 stores) should be converted to franchise stores in the next 5 years.

According to the International Franchise Association (IFA), a regulation limiting number of company owned units is the first to be practiced in Indonesia.  In my book titled “Successful Business through Franchising” (Sukses Usaha Lewat Waralaba) which was published in 1996 (page 153), I had written about the need of limiting the growth of company owned units in franchising. To avoid a dominant position by one or two companies that could potentially dictate the market as well as inclining anti-competition. Therefore, violating the law on prohibiting unfair competition.

The issuance of this limitation, bring to the local franchise retails the most disadvantage, such as Alfa Mart and Indo Mart. As regard to my professional advice, the regulation should not be applied retroactively. But unfortunately was rejected by the Ministry of Trade for unclear reason.  However, the foreign franchises, e.g. 7 Eleven, Circle K, Lotte, Giant, Carrefour and others will not come to any harmed.

The next regulation which will be issued soon by the government is about the “Restaurant and Café/Tavern Franchise”. In this upcoming regulation the restriction on the number of company owned will also be applied.

Most likely the number of restaurant and café/tavern owned companies will be limited to 150 or 200.

When the restriction is applied, then that foreign franchise restaurants and café/tavern such as McDonalds, KFC, Starbucks and others will be most affected.

I wonder if the foreign franchise will bring this matter to the Supreme Court for judicial review.


Jakarta, 1st December 2012