Senin, 18 Februari 2013

PERMENDAG NO. 07/2013 TENTANG WARALABA JASA MAKANAN DAN MINUMAN RENTAN DIUJI MATERI DI MAHKAMAH AGUNG


Sejak tahun 1995, saya sudah menggagas perlunya pembatasan gerai waralaba milik sendiri (company owned stores). Hal ini ditulis dalam buku saya yang berjudul “Sukses Usaha Lewat Waralaba” pada halaman 153 (diterbitkan oleh PT. Jurnalindo Aksara Grafika – Bisnis Indonesia).  Dasar pemikirannya, adalah: (1)  Membangun gerai milik sendiri menyalahi konsep waralaba; (2) Berpotensi terjadinya “penguasaan pasar” oleh satu atau lebih individu atau perusahaan, dalam kedudukannya sebagai franchisor (pemberi waralaba) atau master-franchise (pemberi waralaba atau penerima waralaba), baik asing maupun lokal.

Kemudian baru saya ketahui bahwa Asosiasi Waralaba Amerika (American Franchise Association), pernah pula mewacanakan pembatasan jumlah gerai milik sendiri. AFA menyebutkan jumlahnya dibatasi 20 gerai saja.

Gagasan pembatasan ini,  pernah saya usulkan ketika merumuskan PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba, tetapi tidak ditanggapi oleh sang pembuat regulasi.   Kalau tidak salah, hanya KPPU yang  mendukung usulan tersebut.

Pada awal 2012 pada suatu rapat di Kementerian Perdagangan, ketika membahas revisi permendag no. 31 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, seorang pejabat Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, mengatakan kepada saya, bahwa Pemerintah akan mengeluarkan regulasi untuk membatasi gerai waralaba milik sendiri. Dikatakannya pula, pembuatan regulasi ini terinspirasi oleh gagasan saya.  Ujarnya, yang akan dibatasi adalah sektor ritel dan rumah makan/minum. Alasannya, karena kedua sektor ini yang paling berkembang pesat.

Ketika itu saya mengatakan, tidak ada aturan waralaba di dunia yang khusus mengatur sektor per sektor.  Karena, waralaba bukan produk tetapi sistem bisnis.  Oleh karenanya dapat dipraktekan di hampir semua sektor perdagangan.  Saya juga menyarankan, sebaiknya revisi pemendag no. 31 tahun 2008 (yang kemudian diganti dengan permendag no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba), mencantumkan aturan pembatasan gerai waralaba milik sendiri yang berlaku untuk semua sektor perdagangan, jadi tidak terbatas pada ritel dan rumah makan/minum saja. Sayangnya, saran itu hanya menjadi angin lalu. Untuk diketahui, permendag no. 53 tahun 2012 diterbitkan pada bulan Agustus 2012.

Pada akhir tahun 2012, Kementerian Perdagangan menerbitkan  Permendag no.  68 tahun 2012 tentang Waralaba Untuk Jenis Usaha Toko Modern, yang membatasi jumlah gerai yang dimiliki pemberi waralaba dan penerima waralaba, paling banyak 150.  Sayang, tidak ada “reasoning” mengapa 150?   Sebagai catatan saja, saya tidak diikut sertakan dalam pembuatan permendag ini (juga permendag no. 07 tahun 2013).

Pada awal tahun 2013, Pemerintah menerbitkan lagi Pemendag no. 07 tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan Dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman, yang membatasi jumlah gerai restoran/rumah minum/bar/kafe waralaba milik sendiri, paling banyak 250 gerai. Sayang, sekali lagi, tidak ada alasan ilmiah maupun hukum mengapa dibatasi 250?

Seperti disampaikan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, tujuan dari pembatasan ini untuk lebih mendorong dan memfasilitasi UKM dan pengusaha di daerah terlibat dan ikut mencicipi buah manis pertumbuhan waralaba yang pesat di tanah air. Di samping, menghidari monopoli yang dilakukan oleh perusahaan waralaba besar,  baik asing maupun lokal.

Namun, dalam kajian saya, khusus tentang Permendag no. 07/2013 yang mengatur kerjasama dengan pola  penyertaan modal (pasal 5 huruf 1), sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pembatasan itu sendiri  –  justru  berpotensi mendorong perusahaan waralaba restoran dan rumah minum (khususnya asing dan lokal yang besar), berlomba-lomba membangun gerai yang dimiliki dan dikuasai (control) oleh kelompoknya.  Para UKM dan publik yang ikut menyertakan modal  (30% - 40%), hampir dipastikan, hanya akan menjadi mitra pasif atau “penonton”.

Sungguhpun, dalam permendag tersebut disebutkan bahwa penyertaan modal paling sedikit 30% - 40%, berarti dapat melebihi jumlah tersebut, namun berdasarkan logika bisnis, pihak pemberi waralaba dan penerima waralaba besar (asing dan lokal), pasti akan lebih menyukai penyertaan modal UKM dan publik, tetap “minoritas” atau kurang dari 50%. Mengapa? Karena dengan menguasai 60% (mayoritas), perusahaan waralaba rumah makan/minum besar (asing dan lokal) tadi, akan sepenuhnya  mengontrol dan tetap “memiliki” gerai waralabanya. 

Berbeda dengan apabila UKM (atau publik) menguasai seratus persen kepemilikan gerai, maka  sepenuhnya control berada dalam kendali UKM dan publik. Dimana, perusahaan besar, lebih berfungsi sebagai pendamping sekaligus konsultan yang  memberikan bimbingan untuk keberhasilan  gerai waralaba – yang sepenuhnya dimiliki UKM atau publik.

Jadi, saya berpendapat, akibat ketentuan opsi pernyertaan modal, masalahnya berpindah dari kepemilikan  gerai tunggal yang berpotensi melakukan terjadinya persaingan tidak sehat, menjadi kepada kepemilikan bersama, namun tetap dikuasai oleh pemberi waralaba (asing dan lokal yang besar).  Sedangkan, UKM atau publik yang ikut menyertakan modal 40% (minoritas), cenderung hanya akan menjadi penonton. Mengapa? Karena, seperti ditulis di atas, dengan penguasaan 60% (mayoritas), hampir pasti akan mengontrol operasional gerai dan arus kas perusahaan/gerai.  Hal ini, jelas keluar dari salah satu prinsip waralaba, yaitu dalam rangka mendorong tumbuhnya wirausaha yang mandiri.

Bila saya berandai menjadi pemberi waralaba asing atapun waralaba lokal yang besar maka akan berlomba-lomba memilih opsi kemitraan dengan penyertaan modal, daripada diwaralabakan. Karena, bila saya membangun gerai milik sendiri harus mengeluarkan modal 100%, dengan opsi pernyertaan modal hanya 60% (lebih murah). Tidak hanya murah,  tetapi saya masih “memiliki” gerai tersebut dan sepenuhnya mengontrol.

Apa makna dibalik argumen di atas, adalah, bahwa UKM dan publik adalah pihak yang memberikan “subsidi”  bagi berkembangnya gerai-gerai milik sendiri (company owned outlet) jenis usaha jasa makanan dan minuman (perusahaan asing dan lokal yang besar) di Indonesia. Tragis bukan?

Oleh sebab itu, saya harus mengatakan, bahwa kehendak baik Menteri Perdagangan untuk mendorong dan melibatkan UKM dan publik dalam waralaba, justru tidak tercapai. Yang berpotensi terjadi – sekali lagi – perusahaan waralaba asing (dan lokal yang besar), akan lebih banyak lagi membangum gerai-gerai waralaba yang pada dasarnya adalah “miliknya”.

Apabila saja Permendag ini menetapkan keturut sertaan UKM dan publik paling sedikit 51%, maka ceritanya akan lain. Karena kedudukan UKM dan publik akan jauh lebih kuat.

Mengapa opsi pola penyertaan modal ditawarkan dalam permendag no. 07 tahun 2013, bukan diwaralabakan saja, titik? Karena ada asumsi yang meragukan bahwa  UKM tidak memiliki cukup dana untuk menguasai 100%  atau bahkan 51%.  Saya berpendapat, asumsi tersebut sama sekali tidak berdasar, karena   menyimak pasal 6 UU no. 20 tahun 2008, disebutkan bahwa kekayaan bersih usaha kecil antara Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta. Dan usaha menengah berkisar antara Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 10 milyar (di luar tanah dan bangunan).  Dengan demikian bila nilai investasi gerai Rp. 10 milyar, maka  untuk usaha menengah, berdasarkan kriteria pasal 6 di atas, tidak ada masalah.  Sedangkan untuk usaha kecil, dapat sesamanya bergabung untuk mengumpulkan modal  atau mendapatkan kredit dari bank. Dari pengalaman, bank akan dengan senang hati menyalurkan kredit untuk usaha waralaba, terlebih waralaba yang menyandang merek terkenal. Mengapa? Karena merek terkenal menjamin tersedianya pasar, artinya dari aspek arus kas perusahaan/gerai relatif tidak ada masalah.

Maka bila ada anggapan bahwa UKM dananya  sangat terbatas, oleh sebab itu, jalan keluarnya dibuat opsi penyertaan modal, adalah tidak tepat dan tidak benar.

Dari sisi hukum, secara hirarki peraturan perundangan-undangan, permendag tidak boleh bertentangan dengan UU di atasnya, yaitu UU no. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.  Dari kajian saya, permendag ini jelas bertentangan dengan UU yang berada di atasnya, termasuk dengan induknya, yaitu Pemendang no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Contohnya, dalam pasal 35 UU no. 20 tahun 2008, disebut bahwa, Usaha besar dilarang memiliki dan/atau menguasai usaha mikro, kecil dan menengah sebagai mitra usahanya.  Opsi penyertaan modal dalam permendag no. 07 tahun 2013, jelas bertentangan ketentuan UU tersebut.  Di samping itu, pada pasal 7 permendag no 53 tahun 2012 ditulis, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk pemberi waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba, baik langsung  maupun tidak langsung. Opsi penyertaan modal dipastikan akan mempraktekan hubungan pengendalian secara langsung ataupun tidak langsung antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. Jadi, kesimpulannya, sesama permendag yang mengatur waralaba, bertentangan.

Dari uraian singkat ini, saya menyarankan sebaiknya Menteri Perdagangan menarik permendag no. 07 tahun 2013, untuk disempurnakan lagi. Agar tidak dilakukan uji materi di Mahkamah Agung



Jakarta, 18 Februari 2013