Rabu, 12 Juni 2013

WARALABA DALAM RUU PERDAGANGAN

Oleh

AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi & Kemitraan
KADIN – INDONESIA dan Ketua Dewan Pengarah WALI


DPR menghendaki RUU Perdagangan menjadi payung bagi UU sektoral. Bila ada ketentuan dalam UU sektoral yang bertentangan dengan RUU Perdagangan yang telah diundangkan, maka yang akan digunakan adalah UU Perdagangan. Pendeknya, UU Perdagangan diharapkan akan menjadi referensi utama peraturan perundangan perdagangan, baik secara horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu ada itikad dan tekad yang kuat dari lembaga legislatif, RUU ini dibahas secara intensif dan ekstensif  dengan memperhatikan serta mempertimbangkan  masukan dari semua pihak.

Kehadiran UU Perdagangan memang menarik. Karena sebelumnya sudah banyak UU dan PP (Peraturan Pemerintah) yang terkait dengan perdagangan diberlakukan lebih dahulu.  Oleh karenanya, potensi terjadinya pertentangan  dengan UU dan PP yang terkait perdagangan yang sudah lebih dahulu diterbitkan,  peluangnya cukup besar.

Hal yang tampaknya krusial dari RUU Perdagangan, adalah  aspek relevansi pengertian suatu ketentuan hukum. Karena RUU ini mengutib mentah-mentah norma  dalam PP yang lebih dahulu terbit – khususnya  PP yang pembentukannya (construct) dimotori Kementerian Perdagangan.   Contohnya pengertian  waralaba pada penjelasan pasal 5 RUU dikutib mentah-mentah dari PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba.  Pengutiban boleh saja,  tetapi bila pengertian hukum yang dikutib dari PP tidak tepat dan relevansi pengertiannya salah, maka  pasti akan menanam masalah ke depan.  Mengapa? Karena, seperti disebut di atas,  UU  Perdagangan akan menjadi sumber referensi hukum yang utama. Oleh karenanya, dapat dipastikan setiap regulasi waralaba nantinya  baik dalam bentuk  PP, Perda atau Permen ke depan, pasti ngawur.  Karena norma hukum dari UU  yang menjadi sumber acuan,  seperti telah disebut di atas, dikutib mentah-mentah dari PP yang ngawur.

Oleh sebab itu saya menolak pendapat yang mengatakan bahwa materi muatan “teknis” yang masuk dalam ruang lingkup peraturan di bawah UU tidak perlu dimuat dalam RUU Perdagangan. Karena, UU hanya memuat  ketentuan pokok.  Pendapat di atas, bagi saya,  hanya menunjukan “kemalasan” dan “miskinya pengetahuan” dari yang berpendapat demikian.  Setiap RUU harus dibahas dengan  mempertimbangkan aspek relevansi dari setiap norma hukum.  Bukan dengan hanya mengambil norma yang sudah ada, tanpa melakukan kajian  apakah norma  yang dikutib tersebut sudah benar dan pengertiannya masih relevan dengan perjalanan waktu ke depan.

* * *

Seperti dicantumkan dalam RUU Perdagangan, waralaba adalah sub-bagian dari peredaran barang dan jasa. Secara teknis hal ini tidak sepenuhnya salah. Namun, patut diketahui bahwa,  core business  waralaba, khususnya tipe yang paling berkembang saat ini,  business format franchising, sebetulnya adalah penjualan portofolio waralaba, yaitu merek dan sistem bisnis yang telah teruji,  ke publik. Misalnya, bila kita berkunjung ke pameran waralaba dimanapun di dunia ini, yang dipamerkan dan ditawarkan bukan produk/jasa, tetapi merek dan peluang usaha serta prospek keuntungannya atau tingkat return-nya.

Penjelasan RUU Perdagangan tentang waralaba – seperti disebut di atas – dikutib langsung dari PP no. 42 tahun 2007 yang menyebutkan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki  oleh orang perseorangan atau badan usaha dengan ciri khas  usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa dan seterusnya. Hak khusus dalam pengertian PP di atas, adalah identik dengan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil. Saya menduga, pengertian di atas pembentukan normanya direkayasa untuk membenarkan bahwa waralaba adalah bagian dari peredaran barang/jasa  yang secara jurisdiksi berada di Kementerian Perdagangan.   

Kalau kita menoleh ke belakang memperlajari pengertian waralaba dalam  PP no. 16 tahun 1997 tentang Waralaba yang telah dicabut dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007, disebutkan: Waralaba adalah pemanfaatan/penggunaan HKI atau penemuan atau ciri khas usaha dan seterusnya.    Bila dibandingkan, antara ke dua PP di atas,  maka jelas ada pergeseran pengertian waralaba. Yaitu, pada PP no. 16 disebutkan waralaba adalah HKI dan di PP no. 42 hak khusus. Saya berpendapat, hanya hak khusus dalam pengertian waralaba tidak utuh, di samping  tidak jelas dasar hukumnya. Pengertian waralaba yang utuh dan relevan adalah mencantumkan HKI.  Karena dasar hukumnya jelas, yaitu UU terkait HKI.

Oleh sebab itu, saya menyarankan, sebaiknya pengertian waralaba dalam RUU Perdagangan mencantumkan HKI dan hak khusus (sistem bisnis) sekaligus. Waralaba itu ibarat dua sisi koin, yaitu HKI (lisensi merek) di satu sisi dan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business) pada sisi lain.

Kemudian, perlu dijelaskan pula  bahwa waralaba adalah kemitraan  antara dua pihak yang setara dan independen, yaitu antara pewaralaba (franchisor) dengan terwaralaba (franchisee), berdasarkan perjanjian waralaba.  Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini,   membangun company owned outlet/unit,  sebetulnya bukan waralaba.

Mengingat PP dan Permendag tentang Waralaba yang berlaku sekarang mengatur tentang kewajiban pewaralaba melakukan disclose dalam penawaran waralaba (franchise offering) ke publik dan laporan keuangan harus diaudit oleh akuntan publik (kecuali usaha mikro dan kecil), maka dalam RUU Perdagangan perlu pula dimasukan ketentuan tentang kewajiban memiliki prospektus  penawaran waralaba (disclosure document) untuk memperkuat landasan hukum dari PP. Dengan diwajibkannya waralaba memiliki prospektus penawaran waralaba dan audit laporan keuangan oleh akuntan publik, mengindikasikan  bahwa waralaba adalah pula suatu skim investasi –  bukan semata-mata peredaran barang dan jasa.

Kesimpulan dari tulisan ini, saya ingin mengatakan dalam pembentukan perundang-undangan jangan mengabaikan hal-hal “teknis”.  Bila mengutib PP yang sudah lama diterbitkan, cermati normanya apakah pengertiannya sudah benar dan masih relevan.

Sebelum mengakhiri tulisan singkat ini, saya ingin berpesan kepada pembentuk UU Perdagangan, jangan anggap enteng waralaba  yang pada tahun 2010 penjualannya mencapai Rp. 140 trilyun per tahun, membuka sekitar 1,5 juta lapangan kerja dan menciptakan 300 ribuan pengusaha, yang sebagian besar adalah kecil dan menengah.


Jakarta, 26 Mei 2013