Senin, 23 Juni 2014

ASEAN FRANCHISE COMMUNITY FORMATION

Ladies and Gentlemen,

On behalf of KADIN (Indonesian Chamber of Commerce and Industry) and WALI (Indonesian Franchising and Licensing Association), I would like to welcome all of you.

On this special occasion, allow me to explain the rationale behind the establishment of the ASEAN FRANCHISE COMMUNITY, abbreviated as AFC.

I have frankly been inspired by the wise views of a a very distinguished statesman, Dr. Datuk Mahathir, the former Malaysian Prime Minister. He had advised me, in a discussion in KL recently, that equality and fair treatment should be the basis of expanding the franchise market in ASEAN as an integrated regional economy.  Without equality and fair treatment, he said, the development of the franchise business within ASEAN could potentially face resistance.

As we approach the ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) in 2015 an era of franchise business without national borders – franchise investment and market expansion as well as franchise network development within all ASEAN countries should be balanced and proportional.

The franchise communities in ASEAN is highly recommended to have their own regional forum for coordinating, communicating and consultations in order to formulate regional policies and programs that are acceptable and applicable in all member countries. Also, to find win-win solutions in facing possible resistance in franchise investment and market expansion to and within each country’s marketplace. We should have a permanent forum that aims to achieve mutual trade benefits and win-win trade relationships in this region as well as in the global market.  This forum is called the AFC (ASEAN FRANCHISE COMMUNITY). Basically, AFC intends to develop equality in franchise market expansion regionally, as well as to establish a better business environment across national borders.

The AFC will be the official partner of the respective government of all ASEAN member countries as well as relevant Sectors  Council within the AEC Council for the purpose of franchise development within ASEAN. The AFC will be aligned with one of the master projects of ASEAN Connectivity, strengthening people-to-people connectivity by building a closer community within ASEAN countries, in addition to organizing dialogues between franchise entrepreneurs and political leaderships in all ASEAN member countries.

Specifically, AFC will be a professional partner in AFTA Council, Coordinating Committee or Working Groups of AEC institution.

Before concluding my speech, I would like to invite all franchise  business councils, associations or chambers of commerce of respective ASEAN member countries to jointly form the AFC for our mutual benefit.

Last but not least, the political commitments and support of each government in ASEAN is obviously needed. With regards to this matter, I would like to thank the Ministry of Trade, Republic of Indonesia and The State Ministry of Cooperative and Small Medium Enterprises, Republic of Indonesia for theirs encouragement and support.

Thank you very much and enjoy your dinner.


AMIR KARAMOY
Chairman, National Commission on Franchising and Licensing
Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN INDONESIA)

Selasa, 18 Maret 2014

WARALABA DALAM UU PERDAGANGAN

Berikut ini adakah hal-hal yang terkait langsung dan tidak langsung  dengan waralaba dalam UU Perdagangan: 

Ø  Pengaturan tentang Waralaba dalam UU Perdagangan tidak diatur secara spesifik, berbeda ketika dalam bentuk Rancangan (dalam Rancangan, Waralaba disebut/diartikan seperti dimaksud oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba). Dalam UU Perdagangan, Waralaba disebut sebagai  sistem rantai distribusi yang bersifat umum.

Ø  Kami berpendapat, Waralaba adalah bentuk jaringan distribusi / pemasaran / penjualan produk/jasa berbasis HKI (Merek) –  jadi bukan yang bersifat umum. Ini menunjukan bahwa pihak yang membentuk UU Perdagangan ini mengartikan waralaba  secara sempit, tidak lengkap, bersifat sektoral dan untuk kepentingan sektor tertentu.

Ø  Dalam kaitan itu, diusulkan agar PP no. 42 tahun 2007 segera direvisi, khususnya tentang pengertian waralaba. Kami berpendapat  bahwa, Waralaba adalah Kemitraan Usaha yang bercirikan: (1) Penggunaan/pemanfaatan HKI, khususnya Merek; (2) Penggunaan/pemanfaatan Sistem Pemasaran/Penjualan; (3) Fee yang dibayar oleh salah satu pihak; (4) Perjanjian (waralaba/lisensi).

Ø  Diharapkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum & HAM, Kementerian Negara Koperasi dan UKM serta KADIN/WALI segera duduk bersama guna merevisi/membuat PP waralaba yang baru (mengganti PP no. 42 tahun 2007).

Ø  Setiap barang yang diperdagangkan harus berlabel Bahasa Indonesia dan memenuhi Standar Nasional Indonesia – SNI (termasuk jasa) hal ini berlaku pula untuk waralaba.

Ø  Kewajiban menggunaan produksi domestik/lokal dan pengaturan zonanisasi (ketentuan ini lebih ditujukan ke sektor ritel waralaba).

Ø  Pemerintah memberikan insentif khusus bagi ekspor, termasuk “ekspor waralaba Indonesia” (sebagai bagian dari pengembangan produk kreatif Indonesia). Untuk itu, KADIN dan WALI akan kembali menyelenggarakan program “Ekspor Waralaba Indonesia”.

Ø  Pemerintah wajib  menyelenggarakan promosi (khususnya produk dalam negeri) dalam bentuk pameran di dalam negeri maupun di luar negeri - termasuk pameran waralaba & lisensi - dan untuk itu akan dibentuk bentuk Badan Promosi Dagang di luar negeri.

Ø  Pameran/promosi dagang barang-barang dari LN atau dengan mengundang peserta dari luar negeri (termasuk pameran waralaba & lisensi), tanpa ijin Pemerintah dapat dipidana 3 thn atau denda sebesar Rp. 5 milyar.

Ø  Tidak memiliki ijin dagang  dapat dipidana 4 tahun atau denda sebesar Rp. 10 milyar. Tidak memenuhi SNI dapat pidana selama 5 thn atau denda sebesar Rp. 5 milyar.


Jakarta, 18 Maret 2014


Amir Karamoy
Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi & Kemitraan
KADIN INDONESIA dan Ketua Dewan Pengarah WALI







Rabu, 12 Februari 2014

LOGO WARALABA MENGABAIKAN KECERDASAN INVESTOR/MITRA DAN KONSUMEN

Kewajiban memajang Logo Waralaba pada gerai-gerai yang diwaralabakan  (berdasarkan Permendag no. 53/M-DAG/PER/8/2012)  tidak akan efektif mendongkrak penjualan dan keuntungan usaha.

Maksud pemajangan logo waralaba adalah untuk membedakan antara gerai waralaba dengan non-waralaba,  yang lebih merupakan kepentingan regulator dalam rangka mempermudah pengawasan. Pengawasan yang terkait aspek administratif  perijinan, bukan kepada  hal-hal yang berhubungan  dengan kesetaraan dan kelanggengan kerjasama/kemitraan bisnis, berdasarkan prinsip saling membutuhan, saling mendukung dan saling menguntungkan.

Mengapa di negara-negara maju, waralaba berkembang pesat atas dorongan Pemerintahnya dan sangat diminati investor/mitra serta konsumen? Bukan karena kehadiran logo waralaba! Tetapi adanya sistem pengawasan internal yang terus menerus dari pemberi waralaba/pewaralaba (franchisor) kepada penerima waralaba/terwaralaba (franchisee). Pengawasan yang terkait dengan  terselenggaranya SOP yang baik dan benar, jaminan tingkat kualitas produk yang sesuai,  pelayanan yang mengutamakan kepuasan pelanggan, ketersedian dan harga produk yang terjangkau oleh segmen pasarnya dan lain-lain. Jadi bukan oleh pengawasan oleh pihak luar atau eksternal (Pemerintah/Daerah), dengan mewajibkan pemajangan logo waralaba.

Konsumen tidak akan peduli  apakah suatu gerai waralaba memajang logo atau tidak, yang lebih diminati adalah bagaimana kualitas produk dan tingkat harga yang ditawarkan, keramahan pelayanan  (termasuk kenyamanan dalam berbelanja) dan sebagainya. Oleh sebab itu, jangan ada anggapan bahwa seolah-olah pemajangan logo di gerai waralaba akan lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan non-waralaba, bila persyaratan-persyaratan pengawasan internal tidak diterapkan (yang dilakukan oleh dan antara pelaku usaha waralaba - pewaralaba dan terwaralaba).

Di samping itu, persoalan  dalam waralaba, bukan kepada adanya logo atau tidak, tetapi  pemahaman yang baik dan benar tentang konsistensi antara filsafat, teori dan praktek waralaba itu sendiri. Bila (R)UU Perdagangan masih mencantumkan pengertian (definisi) waralaba sesuai dengan yang diusulkan Pemerintah, maka disitulah akar masalahnya.




Jakarta, 11 Februari 2014

Kamis, 16 Januari 2014

PASAR INDONESIA DIDOMINASI WARALABA BERMEREK ASING

REVIEW TAHUN 2013 & TANTANGAN TAHUN 2014


Berdasarkan ketentuan PP no. 42 tahun 2007 tentang “Waralaba” dan Permendag no. 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang “Penyelenggaraan Waralaba”,  setiap perusahaan waralaba wajib memiliki STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba). Dengan demikian, maka hanya perusahaan yang telah memiliki  STPW secara hukum sah sebagai waralaba.

Dari analisis data berdasarkan penerbitan STPW sampai dengan 13 Desember 2013 yang dihimpun dari Kementerian Perdagangan, baru 125 perusahaan waralaba yang telah mendapatkan STPW.  Patut dicatat, data ini belum termasuk STPW yang diterbitkan Pemerintah Daerah. Namun demikian, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan tersebut sudah dapat diperoleh gambaran tentang waralaba di Indonesia, yaitu, Pemberi Waralaba Luar Negeri menguasai 60% dan Pemberi Waralaba Dalam Negeri hanya 2,4%.

Bila dilihat dari jenis/bidang usaha, jumlah waralaba makanan/minuman adalah yang terbesar (49,6%). Dikuti oleh kategori ritel (24%)  dan pendidikan (20,8%). Bidang-bidang usaha tersebut, sebagian terbesar dikuasai pula oleh yang bermerek asing.

Dari data di atas    menunjukan bahwa pasar Indonesia didominasi oleh Pemberi Waralaba asing.  Mengapa hal ini terjadi? Utamanya karena adanya ketentuan, antara lain, laporan keuangan Pemberi Waralaba wajib diaudit Akuntan Publik dan membuka laporan keuangannya ke publik pula (terkecuali Usaha Kecil & Mikro).  Akibatnya, hanya perusahaan waralaba asing dan menengah nasional ke atas yang “mampu” melakukannya. Sedangkan perusahaan waralaba kategori menengah ke bawah, cenderung mengalihkan usahanya ke skema Lisensi dan Kemitraan (Lihat buku tulisan Amir Karamoy, “Percaturan Waralaba Indonesia”, 2013).

Apakah hal ini berdampak negatif terhadap perkembangan waralaba di Indonesia? Jawabannya tidak!  Karena waralaba secara kualitatif semakin baik, walaupun secara kuantitas menurun.  Dengan demikian, waralaba menjadi suatu skema investasi di sektor riel, prospeknya semakin terbuka. 

Sehubungan dengan itu, hal yang harus menjadi perhatian pada tahun 2014, adalah bagaimana mendorong pertumbuhan Pemberi Waralaba Dalam Negeri sebanyak-banyaknya (termasuk UKM),  melalui  pembentukan Indonesian Franchise Development Center (IFDC) yang pendanaannya diperoleh, antara lain,  dari program CSR BUMN.  Selain memperkuat pasar domestik,  IFDC mendorong waralaba Indonesia berkiprah di pasar global. 

Ini adalah tantangan ke depan agar pengusaha waralaba nasional/lokal  tetap menguasai pasar domestik, sekaligus menjadi tuan rumah yang baik memasuki tahun 2015 (era Economic ASEAN Community). 

Tidak ada salahnya kita meniru  Malaysia, dimana setiap perusahaan nasionalnya yang beralih ke waralaba mendapatkan pendanaan dan pelatihan yang difasilitasi Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi & Kepenggunaan, melalui PNS (Perbadanan Nasional Berhad).  Bahkan ada rencana PNS akan mengusulkan kepada Pemerintahnya untuk membuat kebijakan yang memberikan kemudahan bagi para ahli waralaba Indonesia (termasuk yang berpengalaman praktek) untuk bekerja di negara jiran tersebut. Ini menunjukan komitment yang kuat dari Pemerintah Malaysia mendorong dan mengembangkan waralabanya.

Tabel 1
Kategori Waralaba
(n = 125)

Pemberi Waralaba Luar Negeri          
                             60,0%
Pemberi Waralaba Dalam Negeri
                                2,4%
Penerima Waralaba
                              32,8%
Pemberi Waralaba Lanjutan Luar Negeri
                                2,4%
Penerima Waralaba Lanjutan
                                2,4%

TABEL 2
Jenis/Bidang usaha
(n = 125)

Makanan & Minuman
                             49,6%
Ritel
                             24,0%
Pendidikan
                             20,8%
Jasa perbaikan
                               6,4%
Hotel
                               1,6%
Real Estate
                               0,8%


Jakarta, 18 Desember 2013