Rabu, 12 Februari 2014

LOGO WARALABA MENGABAIKAN KECERDASAN INVESTOR/MITRA DAN KONSUMEN

Kewajiban memajang Logo Waralaba pada gerai-gerai yang diwaralabakan  (berdasarkan Permendag no. 53/M-DAG/PER/8/2012)  tidak akan efektif mendongkrak penjualan dan keuntungan usaha.

Maksud pemajangan logo waralaba adalah untuk membedakan antara gerai waralaba dengan non-waralaba,  yang lebih merupakan kepentingan regulator dalam rangka mempermudah pengawasan. Pengawasan yang terkait aspek administratif  perijinan, bukan kepada  hal-hal yang berhubungan  dengan kesetaraan dan kelanggengan kerjasama/kemitraan bisnis, berdasarkan prinsip saling membutuhan, saling mendukung dan saling menguntungkan.

Mengapa di negara-negara maju, waralaba berkembang pesat atas dorongan Pemerintahnya dan sangat diminati investor/mitra serta konsumen? Bukan karena kehadiran logo waralaba! Tetapi adanya sistem pengawasan internal yang terus menerus dari pemberi waralaba/pewaralaba (franchisor) kepada penerima waralaba/terwaralaba (franchisee). Pengawasan yang terkait dengan  terselenggaranya SOP yang baik dan benar, jaminan tingkat kualitas produk yang sesuai,  pelayanan yang mengutamakan kepuasan pelanggan, ketersedian dan harga produk yang terjangkau oleh segmen pasarnya dan lain-lain. Jadi bukan oleh pengawasan oleh pihak luar atau eksternal (Pemerintah/Daerah), dengan mewajibkan pemajangan logo waralaba.

Konsumen tidak akan peduli  apakah suatu gerai waralaba memajang logo atau tidak, yang lebih diminati adalah bagaimana kualitas produk dan tingkat harga yang ditawarkan, keramahan pelayanan  (termasuk kenyamanan dalam berbelanja) dan sebagainya. Oleh sebab itu, jangan ada anggapan bahwa seolah-olah pemajangan logo di gerai waralaba akan lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan non-waralaba, bila persyaratan-persyaratan pengawasan internal tidak diterapkan (yang dilakukan oleh dan antara pelaku usaha waralaba - pewaralaba dan terwaralaba).

Di samping itu, persoalan  dalam waralaba, bukan kepada adanya logo atau tidak, tetapi  pemahaman yang baik dan benar tentang konsistensi antara filsafat, teori dan praktek waralaba itu sendiri. Bila (R)UU Perdagangan masih mencantumkan pengertian (definisi) waralaba sesuai dengan yang diusulkan Pemerintah, maka disitulah akar masalahnya.




Jakarta, 11 Februari 2014