Rancangan Undang-Undang Perdagangan yang saat ini finalisasinya tengah digodok Pemerintah, pada pasal 5 disebutkan bahwa WARALABA adalah sistem perdedaran barang dan/atau jasa yang pemasarannya secara langsung atau tidak langsung dari produsen atau importir sampai konsume. Mendudukan WARALABA dalam pengertian seperti dimaksud pada pasal 5 di atas, tidak terlalu tepat. WARALABA, berdasarkan UU no. 20 tahun 2008 tentang ”Usaha Mikro, Kecil dan Menengah” ditetapkan sebagai Pola Kemitraan (pasal 26 c dan pasal 29). Kemitraan antara perusahaan besar dengan mikro, kecil dan menengah yang memiliki kemampuan.
Kemitraan disini dimaksudkan, pemberi waralaba (perusahaan besar) memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba (perusahaan mikro, kecil dan menengah) secara berkesinambungan.
Sedangkan PP no. 42 tahun 2007 tentang ”WARALABA” menyebutkan waralaba adalah hak khusus terhadap suatu sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan produk dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil. Intinya, PP no. 42 tahun 2007 mengartikan waralaba sebagai Hak Khusus yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual sepeti dimaksud dalam kriteria waralaba (pasal 3 f).
PP di atas pada dasarnya memperlakukan WARALABA sebagai suatu skim investasi (di sektor riil). Mirip dengan perusahaan yang menawarkan saham di bursa. Namun, dalam waralaba, yang ditawarkan adalah portofolio waralaba ke publik, yaitu HKI (merek) dan Sistem Bisnis yang telah terbukti menguntungkan.
Di samping itu, dicantumkannya kata ”importir” dalam pasal 5 RUU Perdagangan, potensial membuka pasar domestiknya selebar-lebarnya bagi waralaba asing (internasional).
WALI tidak menolak masuknya waralaba asing ke pasar nasional, tetapi Pemerintah wajib secara sungguh-sungguh memfasilitasi waralaba Indonesia masuk pula ke pasar dunia. Misalnya pada tingkat swasta, sejak tahun 2010, Perhimpunan WALI dan KADIN INDONESIA tengah berupaya mendorong waralaba Indonesia masuk ke pasar dunia dalam program ”Ekspor Waralaba Indonesia”.
Berdasarkan uraian di atas, WALI menyarankan apabila masih memungkinkan pengertian waralaba yang terbatas sebagai penjualan langsung atau tidak langsung, dikoreksi. Termasuk penghapusan kata ”importir”.
Jakarta, 15 Mei 2011