Selasa, 13 Desember 2011

SAMBUTAN DALAM RANGKA MENERIMA 14 WARALABA DARI AS DI KANTOR KADIN INDONESIA


KOMITE TETAP WARALABA DAN LISENSI KADIN INDONESIA
Menara KADIN INDONESIA 29th Floor, Jalan Rasuna Said X-5 Kav. 2-3
Jakarta 12950 - Indonesia



Ladies and Gentlemen,

On behalf of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN INDONESIA), I would like to welcome the US Franchise trade mission in Jakarta, Indonesia. I would also like to express my gratitude to the US Commercial Attaché who has arranged today’s meeting – as well as to the participants and guest that have met our invitation. Especially to the Board of the Indonesian Franchising and Licensing Society or WALI as well as Ibu Efin Suhada smd ibu Jaskiran Dillon, Vice Chairman of the Franchising and Licensing Committee of KADIN, I would like to convey my appreciation for your presence in this franchise business gathering.

As we know, the purpose of this meeting is looking for soul mates in franchise   business, between US Franchises and Indonesian businessmen.

Therefore, allow me to give a brief overview on the latest franchise development in Indonesia marketplace.

At present, it is estimated – I say estimated because Indonesia does not have an official data based on a comprehensive survey on franchise businesses. There are about 1100 franchisors and licensors  operating in Indonesia, consisting of 30% foreign franchisors/licensors and 70% local ones or the homegrown franchisors/licensors.   Approximately, the total turnover is about US $ 11,6 billion.         60% of the turnover mentioned above, is contributed by the foreign franchises/licenses and only 40% by the local ones. Although the number of foreign franchises is lower than the local, however in term of sales the foreign franchises are higher than the local ones.  According to the studies conducted by IFBM, the franchise/license industries in Indonesia contribute about 5% to the Indonesia gross domestic product.

The data mentioned above clearly shows positive prospects regarding the foreign franchise investment and development in Indonesia.

However, as the Chairman of KADIN’s Franchising and Licensing National  Committee, I would like to appeal to foreign franchises to run a real franchise system by developing more franchised units rather than company owned outlets. I would suggest recruiting more entrepreneurs as your franchisees or licensees at the districs and municipals level in all over Indonesia.     Franchise business has to trickle down and be beneficial to small and medium businesses at the areas  mentioned above.

Based on the government rule on franchise (PP no. 42/2007), each franchise agreement is under the Indonesia laws. Therefore, Indonesia language is required to use in the franchise contract or agreement. Franchise offering has to be transparent. Each foreign franchisor must have disclosure documents which has been legalizef by a public notary and  get a letter of reference from the Indonesian trade attaché. The document should be registered and give  to franchisees 2 weeks before signing the contract/agreement.

The franchise regulation mentioned that foreign franchise must use raw materials and products  made locally, as far as the quality requirements is met.  The franchise agreement’s length of time is at least for 10 years and any agreement uniterally terminated must be based on “clean break” principle.

Indonesian Commission for the Supervision of Business Competition (KPPU), has issued the regulation that “post expiry non-competition clause” should not be in the franchise contract/agreement anymore.

“Post expiry non-competition” is a clause  which requires that franchisee is prohibited to conduct/run the same or similar business for 1 year after commencing from the date of the contract/agreement ends/terminated.  

For Indonesian businessmen wishing to invest in the franchise industry, they should remember and carry on the International Franchise Association motto, namely: “Investigate before Investing”.     I really hope that “McDonald’s law case” in Indonesia is the first and will be the last.  Therefore, I would like to emphasize, besides studying carefully about the market and financial matters, you should be smart and accurate regarding the legal aspects, particularly matters related to the franchise contract/agreement.

I do hope that today’s meeting will be productive and provides benefits to all parties involved.
Thank you.

November 13, 2011



AMIR KARAMOY
ChaIrman, The National Committee on Franchising
and Licensing of KADIN INDONESIA and Chairman of the Board of
Directors Indonesian Franchising and Licensing Society (WALI)











































Senin, 05 Desember 2011

YAYASAN PEDULI GINJAL INDONESIA (YADUGI) MEMBUTUHKAN PERAWAT

Yayasan Peduli Ginjal Indonesia (YADUGI) membutuhkan perawat yang telah memiliki serifikat HD (hemodialisis). Namun demikian bagi yang belum memiliki serifikat HD akan disekolahkan (mengikuti training) untuk mendapat sertifikat tersebut, dengan biaya dari YADUGI.dan akan ditempatkan di rumah sakit - rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya.

Bagi mereka yang berminat (baik yang telah bersertifkat HD maupun yang belum) dapat segera mengirimkan CV ke alamat email blog ini.


Jakarta, 5 Desember 2011

Selasa, 29 November 2011

DAPATKAN SEGERA BUKU BARU: "WARALABA: JALUR BEBAS HAMBATAN MENJADI PENGUSAHA SUKSES". OLEH AMIR KARAMOY (BUKU INI DAPAT DIPEROLEH DI TOKO BUKU GRAMEDIA)



KATA PENGANTAR

Motif menulis buku ini adalah untuk menyediakan semacam buku teks atau buku pengantar (ilmu) pengetahuan tentang waralaba (franchise).  yang ditulis secara populer. Tujuannya, adalah untuk membekali pengetahuan dasar tentang waralaba.  Siapapun yang ingin mempelajari waralaba, khususnya yang terjadi di Indonesia, sebaiknya membaca buku ini, terutama para (calon) wirausaha/pengusaha, dosen, mahasiswa dan masyarakat umumnya.

Dengan mulai bermunculannya universitas dan pendidikan tinggi membuka program studi tentang waralaba, diharapkan buku ini dapat mengisi kekosongan bahan bacaan tentang waralaba sebagai (ilmu) pengetahuan terapan. Oleh sebab itu, sistematika buku ini, secara garis besar dibagi dalam 2 (dua) bagian.  Yaitu, bagian I, adalah pembahasan tentang telaah konsep dan teori waralaba. Bagian II, disajikan dalam bentuk tanya-jawab dengan maksud agar materi yang dibahas lebih praktis dan, dengan demikian, pengertiannya lebih aplikatif.

* * *

Investigate before investing, adalah motto yang dianjurkan oleh International Franchise Association (IFA).  Maksudnya, apakah anda pewaralaba (franchisor) atau terwaralaba (franchisee), sebaiknya telitilah sebelum memutuskan untuk menjalankan waralaba. Teliti dalam arti menilai apakah waralaba memang sesuai dengan kepribadian, minat dan kualitas kemampuan diri. Waralaba jelas berbeda dengan bisnis independen. Apa perbedaannya? Buku ini akan menjelaskan lebih rinci dan mendalam.

Dari sudud pewaralaba, motto di atas dimaksudkan agar dalam merekrut terwaralaba sebagai mitra, sebaiknya teliti terlebih dahulu dengan mempelajari pengalaman (khususnya bisnis) dan kemampuan finansial dan sebagainya dari (calon) terwaralaba. Sebaliknya, bila ingin membeli waralaba (sebagai terwaralaba), pelajari dan teliti pula rekam jejak  (track record) pewaralaba anda itu.

Dari pengalaman penulis, keberhasilan dalam kerjasama waralaba, banyak ditentukan oleh ketelitian dan kehati-hatian pihak-pihak dalam memilih (menyeleksi) calon mitranya itu.  Bagaimana caranya? Buku ini akan membahasnya, sekaligus memberikan bimbingan.

* * *

Banyak pihak beranggapatan bahwa waralaba  identik  dengan sektor modern dan – sebaliknya – usaha skala mikro dan kecil, adalah sektor tradisional. Keduanya tidak dapat dipertemukan, karena secara hakiki berlawanan satu sama lain. Anggapan ini salah! Waralaba tidak identik dengan sektor modern, apalagi ukuran berdasarkan skala usaha mikro, kecil, menengah dan besar – tetapi adalah suatu perangkat lunak (soft ware) mengenai suatu sistem bisnis atau konsep usaha. Semua skala usaha, termasuk yang dikategorikan non-tradisional dan tradisional dapat menggunakan atau memanfaatkan sistem waralaba. 

Bahkan secara hukum, waralaba diatur oleh Undang-Undang no. 20 tahun 2008 tentang “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah” (sebelumnya UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha Kecil”). Artinya – berdasarkan judul UU tersebut – waralaba – pada hakekatnya merupakan bagian dari pengembangan usaha skala besar ke bawah.  Dengan demikian, adalah salah kaprah bila ada orang medikotomikan antara waralaba dengan  usaha mikro, kecil dan menengah termasuk sektor modern dengan sektor tradisional.

* * *

Tantangan Indonesia saat ini dan mendatang, adalah bagaimana mengembangkan usaha kecil menengah,  menjalankan waralaba dalam kedudukannya sebagai  pewaralaba. Memang tidak mudah, oleh sebab itu perlu bantuan dari semua pihak, khususnya Pemerintah, KADIN dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia), agar usaha-usaha skala kecil menengah yang telah memiliki sistem manajemen yang baik dan telah terbukti menguntungkan, dikembangkan menjadi pewaralaba Indonesia – seperti dimaksud oleh penjelasan PP no. 42 tahun 2007.

Pemikiran mengembangkan usaha kecil menengah sebagai pewaralaba di Indonesia, terinspirasi pula oleh perkembangan waralaba di Amerika Serikat pada tahun 1930an yang awalnya dipelopori oleh usaha-usaha kecil menengah.  Penulis berpendapat, mengembangkan pengusaha/perusahaan kecil menengah sebagai pewaralaba, akan lebih mendorong peningkatan dan ekskalasi dari skala kecil menengah ke besar.

Namun, patut dicatat, tidak berarti upaya mendorong perusahaan besar menjadi pewaralaba nasional tidak perlu, tetap diperlukan, termasuk BUMN. Selain guna memberikan contoh bagaimana menjalankan perusahaan waralaba yang baik, bonafid dan profesional – juga sebagai pilot project untuk menjadikan waralaba sebagai skim investasi di sektor riel. Setelah terbukti bahwa waralaba laik dijadikan portofolio investasi, maka perlu dibuat aturan dan regulasi yang mendukungnya, seperti,  laporan keuangan pewaralaba  wajib diaudit oleh akuntan publik dan hadirnya lembaga regulator, semacam BAPPEMLK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan).

Upaya mendorong perusahaan besar juga dalam rangka menciptakan kesempatan berusaha, pemerataan berusaha dan lapangan kerja serta  memperkenalkan merek Indonesia di pasar luar negeri (global market). Untuk mengembangkan merek Indonesia di pasar internasional melalui waralaba, kiranya perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan perbankan.  Pengalaman penulis dalam menjalankan “ekspor waralaba Indonesia” yang merupakan program Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN INDONESIA, bekerjasama WALI pada tahun 2010, belum secara antusias didukung oleh pemerintah dan perbankan.

* * *

Banyak pihak yang belum memahami kaitan antara waralaba dengan produk kreatif. Padahal kaitan antara keduanya dapat saling mendukung khususnya dalam rangka pemasaran dan penjualan.

Produk kreatif terkait erat dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), demikian pula waralaba (khususnya Merek). Perbedaanya adalah produk kreatif adalah wujud produknya (hard ware), sedangkan waralaba adalah metode pemasarannya (soft ware). Produk kreatif hanya akan bermakna ekonomi bila dapat dipasarkan atau dijual serta dibeli konsumen. Bagaimana cara memasarkannya dengan cepat dan tepat? Melalui waralaba.  Mengapa dengan cara waralaba? Karena melalui waralaba bukan hanya produk yang dijual, tetapi juga merek. Apalagi bila merek tersebut cukup dikenal atau menjadi terkenal, maka akan lebih  mendorong penjualan secara massal dan sangat mungkin akan mampu melewati batas-batas negara.

Patut dicatat pula, bahwa pemasaran produk kreatif melalui waralaba, dapat pula diartikan sebagai pemasaran  produk buatan Indonesia, baik untuk pasar di dalam maupun di luar negeri

* * *

Tampaknya pengulangan atas pembahasan suatu hal atau masalah dalam buku ini tidak dapat dihindari.  Pengulangan terjadi selain untuk mengingatkan kembali pentingnya  hal atau masalah tersebut,  acapkali juga konteksnya berbeda. Dengan penjelasan ini diharapkan pembaca menjadi maklum adanya.

Untuk penyempurnaan isi buku ini penulis mengharapkan saran dan kritik sebagai input  bagi penerbitan mendatang. Saran dan kritik tersebut dapat disampaikan melalui email: amirkaramoy@gmail.com

Sebelum mengakhiri Kata Pengantar ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Gramedia Publisher yang bersedia menerbitkan buku pengantar (ilmu) pengetahuan waralaba yang masih sangat langka.  Ucapan terima kasih dan cium sayang penulis disampaikan pula kepada Muly, Pronky, Linda, Vincent, Fifi dan Adia, Legolas, Shafiya, Gahan atas dukungan dalam penyelesaian buku ini.

Semoga apa yang diinginkan oleh buku ini – sebagai pengantar pengetahuan (ilmu) waralaba di Indonesia – tercapai.

Penulis,


AMIR KARAMOY

Rabu, 12 Oktober 2011

SIARAN PERS

Catatan Tentang Regulasi Waralaba

Catatan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah dan instansi terkait.

Persoalan yang cenderung menghambat regulasi waralaba berjalan dengan baik, lebih disebabkan oleh:

Ø  Masih kurangnya sosialisasi aturan yang terkait langsung dengan waralaba, yaitu PP No. 42 tahun 2007 tentang: “WARALABA”; Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang: “PENYELENGGARAAN WARALABA”; dan “PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PERMENDAG”  yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI.

Ø  Selain regulasi di atas, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) juga mengeluarkan Keputusan No: 57/KPPU/Kep/III/2009 tentang: “PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 Huruf b UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG: “LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT” TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN WARALABA, 

Ø  Sangat kurangnya sosialisasi regulasi seperti disebut di atas, diukur dari banyaknya pelaku usaha waralaba, kurang/belum/tidak memahaminya dengan baik.

Ø  Sesuai dengan pasal 11 (2) PP No. 42 tahun 2007, perjanjian waralaba wajib di daftarkan. Kami menyakini bahwa isi perjanjian waralaba yang didaftarkan tersebut, belum/tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Surat Keputusan KPPU di atas.  Di samping itu, sesuai dengan ketentuan Permendag No. 31/2008, jangka waktu Perjanjian Waralaba adalah 10 (sepuluh) tahun.  Namun demikian, kami masih melihat banyak perjanjian waralaba yang tidak berjangka waktu 10 tahun, mendapat STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) – hal ini jelas melanggar ketentuan yang ada.

Ø  Hal di atas terjadi karena pemahaman aparat Pemerintah di daerah yang diberikan wewenang untuk menjalankankan (dan mengawasi) regulasi waralaba (khususnya lokal), masih sangat kurang. Di samping itu, sering terjadinya mutasi pegawai Pemda yang ditunjuk untuk menjalankan regulasi waralaba di daerah, menjadi salah satu penghambat.

Ø  Di tingkat global, ketika KADIN INDONESIA dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi) menyelenggarakan program “ekspor waralaba Indonesia” secara swadaya. diperoleh kesan bahwa kebanyakan Atase Perdagangan/ITPC (Indonesia Trade Promotion Center)  tidak mengetahui/memahami isi regulasi waralaba, seperti dimaksud oleh PP No. 42 tahun 2007, Permendag No. 31/2008 dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Permendag (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri). 

Ø  Berkembangnya pola waralaba dimana pihak pewaralaba (franchisor) yang menjalankan sehari-hari usaha milik terwaralaba (franchisee), selain bertentangan dengan PP No. 42 tahun 2007 (antara lain, pasal 8), juga mengingkari hakekat waralaba dalam rangka menumbuhkan wirausaha. Contoh praktek di atas, antara lain,  seperti yang selama ini dijalan oleh bisnis ritel (mini-market).

Ø  Sementara itu, masuknya waralaba asing ke pasar Indonesia, yang kebanyakan menggandeng pengusaha besar nasional, dalam prakteknya di lapangan tidak sejalan dengan ketentuan PP, karena lebih banyak membangun company owned stores. Hal ini berseberangan dengan pasal 9 (2) PP. No. 42 tahun 2007.

Ø  Perlu dipikirkan untuk membentuk suatu Badan yang profesional dan independen yang tugas utamanya merekomendasikan pemberian STPW kepada instansi Pemerintah yang berwenang (Daerah dan Pusat). Badan ini bertugas pula untuk memonitor/membantu mengawasi kegiatan waralaba (lokal/asing) dan secara rutin melaporkan kepada Pemerintah Daerah dan Pusat.  Diusulkan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) – yang adalah organisasi perusahaan & pengusaha waralaba   ditunjuk sebagai Badan dimaksud di atas.

Ø  KADIN INDONESIA kembali menyarankan, agar ketentuan waralaba dalam Draft RUU Perdagangan (pasal 5) yang menyebutkan “waralaba adalah sistem peredaran barang dan/atau jasa yang pemasarannya secara langsung atau tidak langsung dari produsen atau importir sampai konsumen” – diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan hakekat pengertian waralaba yang benar, yaitu terkait dengan HKI dan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business).  Di samping itu, pencantuman kata “importir” pada pasal 5 tersebut, perlu dipertimbangkan untuk dihapus. Pencantuman kata “importir” dikuatirkan bertentangan dengan semangat pengembangan waralaba, seperti dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2008 dan PP No. 42 Tahun 2007, untuk mendorong pengembangan produksi dalam negeri dan perusahaan/pengusaha kecil menengah.

Ø  Disarankan agar PP No. 44 Tahun 1997 tentang “Kemitraan”, diganti dan disempurnakan dengan PP yang baru yang berlandaskan UU No. 20 Tahun 2008. Dalam PP yang baru tersebut perlu diatur tentang prinsip fair business practices dalam kemitraan dan perjanjian kemitraan yang melindungi hak dan kewajiban para pihak secara fair, termasuk kewajiban melakukan disclose.  Demikian pula aturan (PP) tentang (Perjanjian) Lisensi Merek, untuk lebih memberikan kepastian terhadap usaha-usaha yang dijalankan dengan pola lisensi (khususnya merek) yang saat ini berkembang pesat di Indonesia.


Jakarta, 14 Oktober 2011





AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba
dan Lisensi KADIN INDONESIA





Selasa, 09 Agustus 2011

ADAKAH PELUANG PARPOL BARU?


Oleh Amir Karamoy



Tidak ada hal baru dalam tulisan berikut ini. Karena memang hanya bermaksud untuk mengingatkan kembali hal-hal yang perlu dipersiapkan, sehubungan dengan pembentukan parpol baru untuk bersaing dan meraih suara sebanyak mungkin dalam pemilu.

Untuk parpol baru yang akan bertarung dalam pemilu 2014, tidak ada salahnya mempelajari keberhasilan 3 parpol ketika pada awal keikut sertaanya dalam pemilu,  langsung  meraih suara cukup signifikan, yaitu Partai Keadilan (PK) yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD)  dan terakhir, Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA).

Pada awal kiprahnya pada pemilu legislatif 1999, PK mendapatkan 7 kursi  di DPR.  Karena tidak tidak mencapai electoral threshold (ambang batas parlemen), maka pada pemilu 2004 PK yang berubah menjadi PKS melesat memperolehi  45 kursi di DPR.

Sedangkan pada pemilu 2004 partai baru yang bernama Partai Demokrat langsung meroket mendapatkan 57 kursi di DPR. Kemudian pada pemilu 2009,  secara menyakinkan PD menunjukan “gigi”-nya, menjadi parpol terbesar di Indonesia, mengalahkan dominasi partai-partai lama, yaitu Golkar dan PDIP.  PD memperoleh 150 kursi di DPR. Meningkat hampir 3 kali dibanding pemilu 2004.

Kemudian, pada pemilu 2009 pendatang baru Partai Gerindra  langsung mendapatkan sebanyak 26 kursi di DPR. Adalah tidak berlebihan bila ada yang berpendapat pada pemilu 2014, kursi partai Gerindra juga akan melesat. Kebijakan partai seperti ditunjukan oleh fraksinya di DPR, terkait dengan tidak ikut serta dalam kegiatan studi banding, karena dianggap hanya menghambur-hamburkan anggaran negara dan menolak rencana pembangunan gedung DPR yang baru, karena tidak sesuai dengan aspirasi rakyat banyak, menunjukan komitmen Gerindra yang potensial dapat menjadi aset meraih lebih banyak lagi pemilih pada pemilu  2014 mendatang. 

* * *

Apa modal keberhasilan PKS? Dari hasil studi literature,  kekuatan PKS adalah adanya basis massa yang loyal (CSIS, 2008). Yaitu, kaum muda terdidik yang berbasis islam, remaja mesjid, islam modernis, dan lain-lain (Dr. Fahmi Ambar, Isnet 2010). Dengan mengusung nilai-nilai dan ajaran islam PKS membentuk citranya sebagai partai yang bersih dan peduli.

Selain dukungan basis massa yang jelas, organisasi PKS dibangun secara profesional dan moderen. Kekuatan PKS, adalah pada soliditas yang kuat dan kohesi organisasi yang mengakar sampai ke daerah-daerah.   Kekuatan organisasi inilah yang menjadikan PKS, sebagai parpol baru, berhasil dalam pemilu 2004 dan melejit pada pemilu  2009. Karena, dalam politik, organisasi adalah alat atau organ yang strategis dan ampuh untuk mempengaruhi pemilih secara langsung. Atau dengan kata lain, organisasi yang solid dan kuat akan menyediakan energi bekerjanya mesin  parpol secara efektif. Tanpa adanya organisasi yang kuat, jelas sulit untuk berhasil dalam pemilu.

Salah satu ukuran kuatnya organisasi parpol, adalah mampu menyediakan saksi minimal 80% dari jumlah TPS. Bila jumlah TPS 500 ribu, maka paling tidak parpol harus mampu menyediakan saksi sebanyak 400 ribu kader yang tersebar di seantero pelosok Indonesia.

Apa kekuatan PD sehingga melejit dalam pemilu 2004, walaupun basis primordial massa pemilihmya tidak terlalu jelas? Kekuatan utamanya adalah terletak pada figur. Siapapun menyadari bahwa SBY adalah ibarat magnet yang mampu menarik massa berbondong-bondong  menyoblos PD.

Berpijak dari pengalaman pemilu 2004, pada pemilu 2009 kekuatan dan soliditas organisasi PD kemudian dibangun secara lebih seksama guna menopang  pesona SBY. Kombinasi inilah yang menjadikan PD berhasil meruntuhkan kemapanan parpol lama (GOLKAR dan PDIP).  

Pada pilpres 2009 yang memenangkan pasangan SBY-Boediono hanya dalam satu putaran, para analis berpendapat dikarenakan faktor figur dan kekuatan (gabungan) organisasi parpol yang mendukungnya, termasuk PKS, juga efektifnya kelompok-kelompok tim pemenangan SBY-Boediono, mulai dari penggalangan pemuda/mahasiswa, kelompok profesional, kaum perempuan, kelompok pengajian, keluarga birokrat/TNI-Polri, sampai dengan peranan intelejen (The Global Source for Summaries & Reviews, 2010).

Bagaimana dengan partai Gerindra? Selain efektifitas rekrutmen, partai Gerindra  dibangun berdasarkan suatu sistem (komando) yang jelas. Kedudukan dan peranan tokoh sentral, Prabowo Subianto, sebagai  mantan perwira tinggi TNI/Danjen Kopassus – dibantu oleh adiknya Hashim Djoyohadikusumo, seorang pengusaha sukses, secara langsung maupun tidak langsung, ikut memberikan warna terhadap corak kepemimpinan partai Gerindra. Yang kemudian membawa partai ini menang secara mengejutkan pada pemilu 2009, seperti ditulis dalam press release LP3ES, 9 April 2009.

Bila PKS langsung diperhitungkan karena meraih suara yang signifikan pada pemilu era reformasi, karena kekuatan organisasi dan militansi pengikutnyanya, PD sangat ditunjang oleh figur SBY, maka Gerindra  terutama ditopang oleh keberhasilan dalam strategi political marketing. Berdasarkan berita KOMPAS.COM, tanggal 7 Maret 2009, secara offisial dana kampanye Gerindra adalah yang paling besar dibandingkan dengan parpol peserta pemilu 2009 lainnya.  Keberhasilan dalam strategi political marketing diperkirakan akan menjadi modal yang signifikan untuk menjadikan Gerindra sebagai parpol papan atas pada pemilu 2014 mendatang.

* * *

Apa yang dapat dipetik dari analisis di atas? Untuk berhasil dalam pemilu idealnya parpol baru harus memiliki 3 unsur utama, yaitu: (1) Organisasi yang tertata baik sampai ke pelosok-pelosok – yang  mampu menyediakan  saksi minimal di 80%  TPS; (2) Figur yang dapat menjadi magnet pemilih; (3) Strategi political marketing yang tepat. Namun, bila parpol baru hanya memiliki  2  dari 3 unsur utama di atas, walaupun tidak ideal, tetapi sudah cukup, sebagai modal mendudukan kadernya di DPR sesuai dengan persyaratan ambang batas parlemen.

Apakah rekam jejak sesorang yang dipersepsikan negatif akan berpengaruh terhadap electability-nya? Rasanya tidak terlalu signifikan. Kesadaran atas rekam jejak seseorang tampaknya hanya sekedar konsumsi politik sejumlah elit.   Contohnya, ketika Ginanjar Kartasasmita yang pada pemilu 2004 dipersepsikan sebagai “politisi busuk”, justru dipilih dengan suara terbanyak dalam pemilihan DPD di Jawa Barat.  Prabowo Subianto dan Wiranto,  yang dipersepsikan bermasalah terkait dengan “penculikan aktivis” dan “pelanggaran ham”, partai yang masih baru yang dipimpimnya justru berhasil dalam pemilu legislatif 2004.

Oleh sebab itu, variabel rekam jejak seseorang dalam pemilu, tampaknya tidak akan terlalu besar pengaruhnya bagi pemilih.

* * *

Apa yang paling diperlukan agar parpol baru dapat memenuhi 2 dari 3 unsur utama seperti disebut di atas. Jawabannya adalah dana (uang). Sayangnya, tidak ada ukuran baku (secara realistis) jumlah dana yang diperlukan untuk membangun jaringan organisasi parpol baru dari Sabang hingga ke Merauke. Namun, berdasarkan rekaan (alm) Dr. Sjahrir – seorang ekonom handal dan Ketua Umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPBI) – paling sedikit Rp. 200 milyar (nilai rupiah pada tahun 2003). Sementara itu, AGB Nielsen Media Research misalnya melaporkan, dana untuk iklan politik saja yang dibelanjakan di media pada kuartal pertama 2009 (Januari – Maret) sudah mencapai Rp. 1,06 trilyun, naik 3 kali lipat dibanding dengan pemilu 2004. Berdasarkan laporan tersebut,  secara kasar dapat dikatakan bahwa hanya untuk iklan politik (di media TV/elektronik/cyber, cetak dan lain-lain) rata-rata dana yang dibelanjakan oleh parpol (besar) sekitar Rp. 150 milyar.

Selain masalah pendanaan, tantangan parpol baru lainnya adalah bila  usulan ambang batas parlemen pada pemilu legislatif 2014 disepakati naik menjadi 4% atau 5%, maka pasti akan menjadi beban yang berat.

Mengingat tantangan yang begitu besar, apakah parpol baru masih memiliki peluang untuk menang? Tentu saja masih. Karena menurut laporan LSI (2011) massa mengambang diperkirakan berjumlah 30,1%.  Bila jumlah penduduk yang memiliki hak pilih 170 juta, maka ada 51 juta pemilih yang potensial diperebutkan parpol baru. 

Mempertimbangkan tantangan yang dihadapi parpol baru yaitu, pendanaan dan persyaratan ambang batas parlemen, mungkin perlu dipertimbangkan untuk melakukan koalisi politik, dalam rangka membangun sinergi,  sejak awal (setelah lolos verifikasi dan sebelum pemilu).  Parpol baru yang berkoalisi tersebut, masing-masing harus memiliki “kelebihan” dalam arti basis sosial/pemilih,  figur yang “dijual” dan sumber daya melakukan political marketing. Penggabungan “kelebihan” itu kemudian harus diikuti dengan memperkokoh fondasi kerjasama kelembagaan dan sistem kerja mesin politik.  Antara lain, misalnya, mempersiapkan saksi-saksi yang terlatih untuk setiap TPS dan capres/cawapres pada pemilu mendatang.

Koalisi antara parpol yang memiliki “ideologi” dan platform  yang sama, kiranya perlu ditimbang-timbang. Misalnya antara Partai Nasdem (Nasional Demokrat) dengan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) dan Partai SRI (Serikat Rakyat Indonesia).

Ketiga parpol baru di atas, tampaknya (walaupun masih perlu dibuktikan), masing-masing memiliki “kekuatan” yang bila bersinergi akan lebih banyak memberikan manfaat – bukan hanya untuk parpol itu sendiri, tetapi rakyat pendukungnya secara keseluruhan.


*) Ketua Telaah Legislatif Indonesia (TELITI)

Rabu, 18 Mei 2011

PENGERTIAN WARALABA TIDAK PAS DALAM RUU PERDAGANGAN

                                                               
Rancangan Undang-Undang Perdagangan yang saat ini finalisasinya tengah digodok Pemerintah, pada pasal 5 disebutkan bahwa WARALABA adalah sistem perdedaran barang dan/atau jasa yang pemasarannya secara langsung atau tidak langsung dari produsen atau importir sampai konsume. Mendudukan WARALABA  dalam pengertian seperti dimaksud pada pasal 5 di atas, tidak terlalu tepat. WARALABA, berdasarkan UU no. 20 tahun 2008 tentang ”Usaha Mikro, Kecil dan Menengah” ditetapkan sebagai Pola Kemitraan (pasal 26 c dan pasal 29). Kemitraan antara  perusahaan besar dengan mikro, kecil dan menengah yang memiliki kemampuan. 

Kemitraan disini dimaksudkan, pemberi waralaba (perusahaan besar) memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba (perusahaan mikro, kecil dan menengah) secara berkesinambungan.  

Sedangkan PP no. 42 tahun 2007 tentang ”WARALABA” menyebutkan waralaba adalah hak khusus terhadap suatu sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan produk dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil. Intinya, PP no. 42 tahun 2007 mengartikan  waralaba sebagai Hak Khusus yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual sepeti dimaksud dalam kriteria waralaba (pasal 3 f).  

PP di atas pada dasarnya memperlakukan WARALABA sebagai suatu skim investasi (di sektor riil). Mirip dengan perusahaan yang menawarkan saham di bursa.  Namun, dalam waralaba, yang ditawarkan adalah portofolio waralaba ke publik, yaitu HKI (merek) dan Sistem Bisnis yang telah terbukti menguntungkan.  

Di samping itu, dicantumkannya kata ”importir” dalam pasal 5 RUU Perdagangan,  potensial membuka pasar domestiknya selebar-lebarnya  bagi waralaba asing (internasional).  

WALI tidak menolak masuknya waralaba asing ke pasar nasional, tetapi Pemerintah wajib secara sungguh-sungguh memfasilitasi waralaba Indonesia masuk pula ke pasar dunia.  Misalnya pada tingkat swasta, sejak tahun 2010, Perhimpunan WALI dan KADIN INDONESIA tengah berupaya mendorong waralaba Indonesia masuk ke pasar dunia dalam program ”Ekspor Waralaba Indonesia”.  

Berdasarkan uraian di atas, WALI menyarankan apabila masih memungkinkan pengertian waralaba yang terbatas sebagai penjualan langsung atau tidak langsung, dikoreksi. Termasuk penghapusan kata ”importir”.   


Jakarta, 15 Mei 2011

Senin, 25 April 2011

Amirkaramoy sent you a video: "ESQ 165 - Damai Bersama Mu"

YouTube help center | e-mail options | report spam
Amirkaramoy has shared a video with you on YouTube:
....Stop kekerasan apapun bentuknya. Ciptakan dialog untuk musyawarah. Lama memang, lelah memang. Tapi itulah pilihan terbaik. Pilihan budaya manusia beradab yang berahlak.....
Chrisye, Moga kini bahagia bersama - Nya , Amien
© 2011 YouTube, LLC
901 Cherry Ave, San Bruno, CA 94066

Selasa, 19 April 2011

KERJASAMA PENYELENGGARAAN ASURANSI ATAU JAMINAN PEMBIAYAAN CUCI DARAH (HEMODIALISIS)


Bersama ini disampaikan, bahwa YADUGI tengah menyelenggarkan program Jaminan Pembiayaan Cuci Darah  (JPCD). Tujuan utama program ini adalah untuk pencegahan (preventif) agar perserta JPCD tidak sampai terkena Gagal Ginjal Kronik tahap akhir yang harus melakukan cuci darah (hemodialisis).  Namun, apabila akhirnya harus melakukan cuci darah, maka biaya cuci darahnya akan ditanggung YADUGI, selama masa kepesertaan berlaku (iuran/premi hanya Rp. 600.000,- untuk selama 3 tahun).
Sehubungan dengan hal tersebut, YADUGI mengundang Bapak/Ibu/Saudara untuk memasukan/menyertakan program JPCD bagi peserta JPKM atau peserta PERUSAHAAN ASURANSI, baik asing maupun nasional.
Informasi lebih lanjut tentang JPCD dapat menghubungi email blog ini

Senin, 28 Maret 2011

CATATAN TENTANG KEPEMIPINAN ASOSIASI FRANCHISE INDONESIA (AFI)

Untuk diketahui, saya adalah salah satu Pendiri AFI yang ikut menanda tangani IKRAR KESEPAKATAN PEMBENTUKAN ASOSIASI FRANCHISE INDONESIA pada 23 Oktober 1991.  Melalui ikrar ini dibentuk Panitia Persiapan yang akan mengatur  persiapan pembentukan asosiasi dan kepengurusan asosiasi. 

Berdasarkan MUNAS Pertama tanggal 21 - 22 November 1991 (pada dokumen tertulis hasil MUSYAWARAH NASIONAL PERTAMA) yang diselenggarakan di Hotel Sahid Jaya - Jakarta, disahkan AD/ART AFI yang kemudian dilegalisasi oleh Notaris Lieke L. Tukgali, SH (perubahan pertama di sahkan dalam rapat khusus tanggal 21 November 1991, perubahan kedua disahkan melalui referendum anggota, tanggal 22 November 1991).   Hasil MUNAS juga menetapkan kepengurusan AFI tahun 1991 sampai dengan  1994 (masabakti kepengurusan AFI, sesuai dengan ART, adalah 3 tahun).

Pada pasal 12 ayat 4 ART AFI tertulis, bahwa: "Ketua dapat dipilih kembali, tetapi tidak boleh lebih dari 3 kali masa jabatan berturut-turut".  Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka jabatan Ketua AFI bila telah dijabat 3 kali berturut-turut, paling lama 9 tahun. Dengan demikian bila seseorang berturut-turut menjadi Ketua sejak tahun 1991, maka pada tahun 2000 harus mengundurkan diri dan tidak boleh dipilih kembali. Apabila tidak mengudurkan diri, maka orang tersebut jelas telah melakukan pelanggaran  ART. Bila "memalsukan" AD/ART, demi untuk kepentingan pribadi dalam rangka melanggengkan kedudukan sebagai Ketua, maka dapat dituntut secara hukum atas dugaan pemalsuan (KUHP pasal 263) dan perbuatan curang (KUHP pasal 378).

Pada pasal 12 ayat 6 ART tertulis: "Apabila masa jabatan Pengurus berakhir dan belum berhasil disusun  Pengurus yang baru, maka sejak tanggal berakhirnya masa jabatan tersebut Pengurus menjadi demisioner". Kemudian pada Pasal 12 ayat 7 C ART: "Pengurus yang demisioner tidak dapat mewakili AFI untuk bertindak keluar termasuk mewakili jabatan-jabatan baru organisasi-organisasi nasional/internasional". Berdasarkan ketentuan di atas, maka sejak tahun 2000, siapapun yang menjabat Ketua AFI untuk 3 kali masabakti berturut-turut,  secaca hukum telah dinyatakan demisioner dan tidak dapat lagi mewakili atau mengatas namakan AFI keluar.

Sebagai catatan akhir, setiap perubahan AD/ART harus dilakukan berdasarkan ketentuan pasal 18 ART, yaitu oleh Rapat Anggota Khusus yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga anggota dan seterusnya.   Perubahan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 18 ART, tidak sah dan batal demi hukum.

Dari uraian di atas, siapapun yang memimpin AFI bila tidak berdasarkan AD/ART AFI atau dengan sengaja merekayasa perubahan AD/ART yang tidak sesuai dengan ketentuan AD/ART itu sendiri, jelas telah melakukan perbuatan tercela dan, sekali lagi, dapat dituntut secara hukum.


Jakarta, Maret 2011



Minggu, 13 Maret 2011

Selasa, 15 Februari 2011

TIPS MENJADI PERUSAHAAN WARALABA (PEWARALABA) YANG PROFESIONAL DAN MENGUNTUNGKAN


 

1)    Komitmen dari pemilik/menajemen perusahaan untuk membagi keuntungan dengan pihak lain secara proporsional dan fair.

 

2)    Menciptakan/membentuk budaya perusahaan, berdasarkan prinsip-pinsip "good corporate governance" dan "fair business practices"

 

3)    Komitmen untuk selalu  mendorong keberhasilan usaha mitranya (franchisee/terwaralaba)

 

4)    Komitmen untuk melakukan inovasi  produk/pelayanan dan sebagainya, sesuai dengan perkembangan (selera) pasar

 

5)    Komitmen untuk melakukan komunikasi yang baik dengan mitra dan selalu berupaya mencari solusi

 

6)    Membuat persyaratan calon mitra, yang berdasarkan kesamaan Visi dan Misi (Budaya Perusahaan) 

 

7)    Menyeleksi calon mitra dan tidak menjadikan uang/modal (kesanggupan membayar fee)  sebagai satu-satunya kriteria

 

8)    Mempersiapkan organisasi/manajemen  dan sistem kerja perusahaan sesuai dengan pola operasional waralaba

 

9)    Membuat perikatan hukum dengan Pemasok agar kelangsungan/kesinambungan suplai terjamin, sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang ditetapkan

 


DAN SETERUSNYA

 


HAL DI ATAS HANYA SEBAGIAN DARI PERSYARATAN BAKU.

KESEMUA PERSYARATAN DAPAT DIUKUR DAN 

MASING-MASING MEMILIKI MEKANISME/PROSEDUR TERSENDIRI.

 

 

BILA INGIN MENGETAHUI PERSYARATAN LAINNYA DAN CARA MENGUKURNYA SERTA PROSEDURNYA, HANYA KONSULTAN YANG BERPENGALAMAN PRAKTEK ATAU PERNAH MENJALANKAN USAHA SEBAGAI  FRANCHISOR/FRANCHISEE  YANG DAPAT MELAKUKANNYA  SECARA BAIK DAN BENAR.

 

BUKAN 


MEREKA YANG MENJADI KONSULTAN WARALABA HANYA DENGAN CARA MEMBACA BUKU-BUKU  ATAU BAHAN-BAHAN DARI INTERNET DAN SEBAGAINYA.

 


 

 

 

 

 

 

 

 



Looking for earth-friendly autos?
Browse Top Cars by "Green Rating" at Yahoo! Autos' Green Center.

Rabu, 02 Februari 2011

SAMBUTAN PEMBUKAAN PAMERAN WARALABA DI SOLO

Assalamualaikum wr wb.

dan Salam kasih

 

Hadirin sekalian yang terhormat,

 

Penyelenggaraan "CENTRAL JAWA WARALABA FAIR 2011" yang diselenggarakan KADIN JAWA TENGAH, harus disambut dengan rasa optimisme yang besar, bahwa di masa depan waralaba daerah/lokal (khususnya dari Jawa Tengah, kota Solo khususnya) akan berperan besar dalam membangun ekonomi daerah dan nasional. Bahkan kita semua berharap, dalam waktu dekat ini, waralaba daerah mampu masuk ke pasar global. 

 

Waralaba pada hakekatnya seperti dua sisi koin. Sisi yang satu, mendorong wirausaha tumbuh-berkembang dan sisi lainnya, menciptakan lapangan kerja. 

 

Dari kumpulan data terkait dengan usaha waralaba di Indonesia, pada tahun 2010 lebih kurang 31.877 wirausaha telah dibangun dan menyerap sekitar 523.162 tenaga kerja. Sedangkan total penjualan usaha waralaba diperkirakan telah menembus Rp. 100 triyun.  Suatu studi yang dibuat IFBM (International Franchise Business Management – tahun 2010), menyebutkan sektor waralaba (dan lisensi/business opportunity) menyumbang 5% kepada pendapatan domestik bruto.  Suatu angka yang cukup signifikan, yang menunjukan strategisnya posisi waralaba dalam pembangunan ekonomi nasional.

 

Namun demikian, di balik keberhasilan waralaba menumbuhkan kesempatan berusaha sekaligus  membentuk wirausaha dan menyerap tenaga kerja yang cukup besar,  masih ada beberapa Pemerintah Daerah  (Pemda) yang kurang memahami konsep waralaba ini secara utuh. Di beberapa daerah waralaba dibatasi perkembanganya karena dianggap menghambat bahkan "mematikan" usaha mikro dan kecil, termasuk pasar tradisional.  Adanya kebijakan seperti ini, lebih disebabkan oleh belum lengkapnya aparat Pemda memahami konsep waralaba secara benar.

 

Waralaba sebagai pola kemitraan usaha diatur dalam UU no. 20 tahun 2008 tentang "UMKM". Kemudian secara lebih spesifik dan teknis diatur oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang "Waralaba" dan Peraturan Menteri Perdagangan no. 31 tahun 2008, terkait dengan "Penyelenggaraan Waralaba". Dalam RUU Perdagangan (kebetulan saya diminta untuk memberikan pendapat), waralaba diatur sebagai suatu bentuk perdagangan yang utama.

 

Dalam UU no. 20 tahun 2008 dan PP no. 42 tahun 2007, disebutkan bahwa "Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong berkembangnya waralaba". Dengan demikian, bila ada Pemda yang menghambat waralaba di daerahnya jelas melanggar UU dan PP dimaksud.

 

Saya berpendapat, waralaba yang dijalankan sesuai dengan aturan yang ada (yaitu UU no. 42/2008 dan PP no. 42/2007) tidak boleh dihambat.  Yang  harus dicegah bahkan dilarang adalah waralaba yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.  Misalnya, pihak pemberi waralaba (franchisor) atau pemilik merek yang hanya membangun "cabang usaha miliknya sendiri" (company owned outlet). Namun, bagi yang membangun "franchisee outlet" (gerai penerima waralaba)  tidak boleh dilarang, justru harus didorong dan difasilitasi.

 

Mengapa? Karena membangun "company owned outlets" atau "owned stores" cenderung bersifat monopolistis. Sedangkan membangun "franchisee outlets/stores" adalah identik dengan upaya pemerataan kesempatan berusaha.

 

Contohnya, pemberi waralaba dari Jakarta ketika masuk ke Solo sebaiknya didorong membangun gerai atau toko yang dimiliki pengusaha setempat dengan membentuk gerai atau toko franchisee. Dan tidak membangun gerai atau toko yang merupakan cabang usaha yang dimiliki pengusaha/perusahaan dari Jakarta.

 

Prinsip waralaba adalah "each outlets or stores owned and operated independently". Artinya setiap gerai dan toko dalam suatu jaringan (network) waralaba tidak dimiliki dan tidak dioperasikan oleh hanya satu perusahaan atau perorangan, tetapi oleh banyak perusahaan atau perorangan. Dengan kata lain "franchisee outlets" atau "franchisee stores" itu pada dasarnya dimiliki oleh publik,  tidak dikuasai oleh hanya satu perusahaan atau perorangan.

 

Spirit UU dan PP yang terkait dengan kemitraan usaha melalui waralaba, adalah membangun suatu rantai usaha atau rantai perdagangan yang dimiliki oleh masyarakat, bukan oleh satu perusahaan atau perorangan. Atau dengan kata lain, membangun jaringan usaha yang saling membutuhan, mendukung dan menguntungkan antara usaha besar dengan menegah dan kecil atau menengah dengan kecil dan mikro.

 

Hadirin Sekalian Yang Terhormat,

 

Sudah waktunya waralaba Indonesia, termasuk waralaba dari Jawa Tengah, Solo khususnya, mulai membidik pasar ekspor. Maksud saya, selain kita menjadi tuan rumah yang baik atas masuknya waralaba asing yang sangat ekspansif ke pasar Indonesia, kita juga harus mulai  masuk pasar ke luar negeri secara ekspansif pula.

 

Oleh sebab itu, sejak pertengahan tahun 2010 KADIN INDONESIA bekerjasama dengan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) melakukan seleksi perusahaan-perusahaan waralaba nasional yang layak ekspor.  Hasil seleksi akhirnya memilih 14 perusahaan waralaba nasional untuk difasilitasi guna melakukan ekspor. Program ini disebut "Ekspor Waralaba 2010" yang merupakan program unggulan KADIN INDONESIA dan WALI.  Menko Perekonomian telah pula menjadikan kegiatan ini  sebagai  salah satu  prioritas untuk dikembangkan.

 

Program "Ekspor Waralaba 2010"  bertujuan untuk mendorong  ekspor kekayaan intelektual bangsa (utamanya Merek Indonesia) dan produk-produk kreatif ciptaan dan buatan anak bangsa.

 

Dalam menjalankan program ini, KADIN INDONESIA dan WALI mendapat bantuan dari Pemerintah dan Perbankan.  Semua  peserta terseleksi yang berjumlah 14 perusahaan tersebut, telah diikut sertakan dalam pelatihan ekspor, bekerjasama dengan Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI) serta bantuan promosi dan pemasaran di luar negeri melalui Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) yang berkantor di beberapa negara. Kementerian Koperasi dan UKM ikut pula membantu membiayai peserta terseleksi untuk diikut sertaan pada pameran waralaba di luar negeri. Sedangkan pihak Perbankan telah komit untuk mengucurkan dananya, khususnya kredit ekspor.

 

Ketika melakukan negosiasi dengan mitranya di luar negeri, setiap peserta terpilih didampingi oleh para ahli hukum HKI dari WALI.   Saat ini ada 3 negara yang tengah melakukan negosiasi dengan peserta progran ekspor waralaba 2010, yaitu Malaysia, Singapore dan Brunei.

 

Sehubungan dengan itu, saya mengundang Pemerintah Daerah dan KADINDA untuk mengikut sertakan perusahaan-perusahaan waralaba di daerahnya dalam "Ekspor Waralaba 2011" yang proses seleksinya akan dimulai pada bulan Juli 2011 mendatang.

 

Saya ingin tegaskan kembali, sudah saatnya waralaba kita masuk ke pasar dunia – walaupun agak sedikit terlambat –  tetapi "better late than never" – dalam rangka memperkenalkan merek Indonesia dan produk-produk kreatif  ciptaan dan buatan anak bangsa.

 

Demikian sambutan saya. Semoga Allah SWT – Tuhan Yang Maha Esa meridhoi usaha kita ini.

 

 

Wassalamualaikum wr wb.

dan Salam kasih.

 

 

Solo, 4 Februari 2011

 

 

 

 

AMIR KARAMOY

Ketua Dewan Pengarah WALI

& Ketua Komtap Waralaba dan Lisensi

KADIN INDONESIA