Jumat, 12 November 2010

GOOD ORGANIZATIONAL PRACTICES AND GOVERNANCE

SAMBUTAN

KETUA KOMITE TETAP WARALABA DAN LISENSI

KADIN INDONESIA 2009 - 2014

DAN

KETUA DEWAN PENGARAH  W A L I

 

PADA PEMBUKAAN "FRANCHISE AND LICENSE INDONESIA EXPO 2010"

 

Tanggal 12 November 2010 di  JCC - Jakarta

 

Hadirin sekalian yang terhormat,

 

Penyelenggaraan "Franchise and License Indonesia Expo 2010" yang ke delapan, kali ini memiliki makna tersendiri. Yaitu, ikut dipamerkannya 14 perusahaan waralaba dan lisensi Indonesia yang telah lolos seleksi untuk didorong melakukan ekspor dalam rangka program "EKSPOR WARALABA DAN LISENSI INDONESIA 2010".  Proses seleksi telah dilakukan melalui beberapa tahap, sekitar 2 bulan, oleh suatu team dari Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN-INDONESIA dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia).

Awalnya, program  ini  akan dibantu pendanaanya oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), suatu Badan pembiayaan ekspor di bawah Kementerian Keuangan RI.   Namun, sangat disayangkan, bantuan tersebut tidak terwujud, karena ternyata LPEI hanya bermaksud menyalurkan kredit ekspornya saja atau "hanya mau terima beres", tanpa ingin ikut berlelah-lelah dalam proses seleksi yang justru merupakan tahap paling krusial dan penting.  Karena pada proses seleksi dibutuhkan keahlian khusus (misalnya audit sistem dan program waralaba/lisensi, audit hukum dan perjanjian waralaba/lisensi terkait dengan hak kekayaan intelektual serta audit manajemen dan keuangan), dan memerlukan waktu, tentu saja biaya yang tidak sedikit.  Yang saya sangat sesalkan  seharusnya LPEI yang merupakan Badan  Pemerintah yang paling berkepentingan dengan ekspor, bila memang tidak memiliki dana,  paling tidak memperbantukan  pegawai/karyawannya yang kompeten dalam proses seleksi. Bukan dengan cara membiarkan seluruh proses seleksi  kepada KADIN/WALI (termasuk pendanaanya), kemudian "terima beres".

Walaupun demikian, berdasarkan kenyakinan bahwa program "EKSPOR WARALABA DAN LISENSI 2010" sangat strategis bagi pengembangan industri waralaba Indonesia dan ekspor kekayaan intelektual bangsa khususnya, serta pembangunan ekonomi nasional umumnya, saya berserta teman-teman dari Komtap Waralaba dan Lisensi bersama WALI, terus menjalankan program ini secara swadaya. Kemudian dalam perjalanannya, pihak Panorama Convex – penyelenggara "Franchise and License Indonesia Expo 2010" dan Kementerian Perdagangan RI, khususnya Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dan Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional – menawarkan bantuan dan memberikan fasilitas (berupa subsidi) agar program Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia tetap dapat berlangsung.  Untuk itu, atas nama KADIN dan WALI saya mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Panorama Convex dan Kementerian Perdagangan RI.

Untuk memperkokoh landasan program ekspor waralaba dan lisensi Indonesia saya sengaja mengundang Saudara Benny Soestrisno, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) yang juga adalah Staf Khusus Menteri Perindustrian RI, hadir dalam acara pembukaan pameran ini. Saya sangat berharap GPEI dapat ikut membimbing perusahaan-perusahaan waralaba dan lisensi skala UKM memasuki pasar internasional.

Seperti telah disinggung di atas, program "Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia 2010" bertujuan untuk memperkenalkan Kekayaan Intelektual milik anak bangsa (berupa merek),  sekaligus memasarkan produk-produk kreatif buatan  Indonesia ke pasar internasional. Kegiatan ini digagas dan merupakan program Komite Tetap Waralaba dan Lisensi Indonesia yang telah pula menjadi bagian dari "Road Map Pembangunan Ekonomi 2009 – 2014 KADIN INDONESIA".

Dalam kesempatan ini ijinkanlah saya menyarankan,  walaupun telah terjadi perggantian Ketua Umum dan Kepengurusan KADIN INDONESIA,  diharapkan "Road Map" tadi tidak  kemudian hanya menjadi hiasan  rak buku atau menjadi dokumen barang cetakan di perpustakaan.  Tetapi Ketua Umum yang baru  dan kepengurusan KADIN INDONESIA hasil Musyawarah Nasional tanggal 24 – 25 September 2010 yang lalu, tetap menjalankan "Road Map Pembangunan Ekonomi 2009 – 2014 KADIN INDONESIA"  sebagaimana mestinya dan secara berkelanjutan.   Karena,  argumen  dalam "Road Map" tersebut masih relevan sampai dengan tahun 2014,  kualitas isinya dapat dipertanggung jawabkan, uraiannya cukup rinci, terarah dan implementable. 

Hadirin sekalian yang terhormat,

Saya berharap ke depan, sebaiknya kita memiliki apa yang disebut "GOOD ORGANIZATIONAL PRACTICES" dan "GOOD GOVERNANCE" khususnya bagi organisasi atau asosiasi pengusaha dan/atau perusahaan di Indonesia.  Secara pribadi saya menguatirkan bahwa organisasi atau asosiasi yang saya sebutkan tadi, secara sadar atau tidak, secara langsung atau tidak, telah terbebani  dan terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan tertentu atau kelompok perusahaan tertentu, bahkan kepentingan partai politik. Artinya organisasi atau asosiasi yang awalnya didirikan berbasiskan kepada profesionalitas, kapabilitas, integritas dan netralitas serta bersifat non-profit dan non-politik, dalam perkembangannya berbelok, dimanfaatkan untuk kepentingan/keuntungan pribadi/individu dan/atau kepentingan suatu kelompok perusahaan dan partai politik – tidak lagi murni demi kepentingan dan sebagai alat untuk memperjuangkan aspirasi anggotanya dan dalam rangka memajukan dunia usaha nasional.

Contohnya adalah suatu organisasi waralaba yang Ketuanya tidak pernah tergantikan sejak didirikan 20 tahun yang lalu. Organisasi yang saya maksudkan ini menarik uang pangkal dan iuran dari anggotanya – terus terang saya tidak tau apakah penggunaan uang pangkal dan iuran tersebut dikelola secara transparan  serta dipertanggung jawabakan dalam Rapat Umum Anggota atau hanya digunakan untuk kepentingan individu-individu tertentu.  Di pihak lain, saya juga tidak pernah mendengar aktifitas anggota pengurus lainnya. Yang selalu terdengar hanya aktifitas si Ketua bukan kepengurusan sebagai suatu lembaga. Hal-hal tersebut di atas,  jelas telah melanggar norma praktek dan tata kelola organisasi yang baik.

Oleh karenanya,  saya mengharapkan di masa yang tidak terlalu lama, setiap organisasi maupun asosiasi pengusaha dan/atau perusahaan sebaiknya menerapkan asas-asas GOOD ORGANIZATIONAL PRACTICES dan GOOD GOVERNANCE serta menghindar dari cengkraman ambisi atau kepentingan/kuntungan pribadi maupun kelompok perusahaan, termasuk intervensi/pengaruh partai politik.  Setiap organisasi atau asosiasi pengusaha dan/atau perusahaan harus "back to basic", yaitu kembali menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalitas, kapabilitas, itegritas, transparan dan akuntabel serta non-politik.

Kepada kementerian terkait dan KADIN saya mengharapkan agar jangan bersikap tidak peduli. Kementerian dan KADIN perlu berpihak kepada organisasi pengusaha dan/atau perusahaan yang menjalankan tata kelola berorganisasi yang baik (good governance practices). Dan menjadikanya sebagai mitra setara dalam membangun kesejahteraan ekonomi rakyat. Dengan catatan, KADIN sendiri harus menjadi contoh dan panutan dalam menjalankan prinsip-prinsip GOOD ORGANIZATIONAL PRACTICES dan GOOD GOVERNANCE.

Demikian sambutan dari saya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati usaha kita ini.

 

 

AMIR KARAMOY

 


 

Senin, 18 Oktober 2010

KLINIK CUCI DARAH DI KAWASAN CIBUBUR

PT. Mitra Medika Extra bekerjasama dengan rumahsakit MEILIA, beralamat di Jalan Alternatif Cibubur-Cileungsi Km 1, Harjamukti-Cimanggis, Depok -  membangun klinik cuci darah (hemodialisis) dengan pelaksana Yayasan Peduli Ginjal (YADUGI).  Kepada para pasien cuci darah yang bertempat tinggal di sekitar Cibubur, Cimanggis, Cikeas, Cileungsi dan lain-lain, dalam wilayah Depok, dapat memanfaatkan fasilitas klinik tersebut dengan harga terjangkau. 
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi telepon no: 021-8444444 pesawat 2059 atau Ibu Itje no: 0818-231-142.

Rabu, 22 September 2010

Kutiban dari THE JAKARTA POST

Want a profitable business? Try a franchise!


The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 09/08/2010 9:55 AM | Business
For those who want to have a new business but afraid of starting it from zero, to be franchisees is among the best and safest alternatives they may consider.

Chairman of Kadin's national committee on franchise and license Amir Karamoy said Tuesday that many people were interested to be franchisees because it was safer than starting new businesses from zero.

He said that if a person started a new business from zero, it took between one to three years to build a good management system and promote the new brand and there was an ample chance of failing during that period.

"But, if you become a franchisee, the franchise company has already had a good management system and popular brand image," he told The Jakarta Post.

Government decree No. 42/2007 also obliges franchisers to give assistances in terms of management training, marketing, and research and development to franchisees.

"The risk of success if a person buys the license of a franchise company is more than 90 percent, while if the person starts it from zero, the success opportunity is only about 60 percent," Amir said firmly.

The franchise business has currently emerged as one of the most promising businesses in the country. The Indonesian Chamber of Commerce and Industry (Kadin) has estimated that the business grows consistently between 10 percent and 12 percent a year.

In 2009, as many as 1,010 franchise companies comprising 260 foreign brands and 750 local brands
operated in the country. According to franchise consultancy company Francorp Indonesia, currently, 42,900 outlets of franchise companies operate and absorb 819,200 workers nationwide.

Amir said that franchise business was currently more attractive because it was no longer dominated by food and beverage companies. Nowadays, many franchise companies operated in other fields like helmet wash, car and motorcycle wash, laundry and even painting gallery.

"Potential franchisees now have many options because innovation to expand the field of franchise business is still very aggressive," he added. The expansion in the franchise business is relatively fast. Francorp Indonesia notes that the earning of the franchise business has climbed convincingly in the past several years. In 2008, the earning of the business grew by 15 percent to Rp 93 trillion (US$72.7 billion) from Rp 81 trillion in the previous year. In 2009, the earning increased by 5 percent to 95 trillion.

The company estimates that in 2010, the business' earning will go up by 20 percent to Rp 114,64 trillion. However, Amir said that the expansion of the franchise
business was still facing several constraints particularly in regional level. "Many regional governments intentionally block permits for franchise companies," he said. He added that those governments did not understand their legal obligation to support the development of franchise business.

Law No. 20/2008 on micro-, small- and medium-scale industry (MSMEs) obliges the governments, both central and regional governments, to simplify the procedure of making business permit for MSMEs and make it free of charge.

The 2007 government decree also obliges regional governments to empower the franchise business, such as by holding franchise trainings, recommending businessmen to use available marketing facilities and providing business consultancy.

"Most of regional governments don't understand that actually the franchise business empowers local businessmen and absorb local workforce," said Amir. (rdf)

    Sabtu, 18 September 2010

    PERKEMBANGAN WARALABA DAN LISENSI (2010)

    Berikut adalah wawancara antara Tabloid Mitra Mandiri dengan Amir Karamoy, September 2010.

     1.     Bagaimana bapak melihat perkembangan bisnis franchise belakangan ini?

     

    Baik sekali! Bisnis franchise tidak lagi dikuasai oleh usaha food and beverage tetapi sudah beraneka ragam, misalnya cuci motor (& helm), klinik spesialis, ritel produk-produk khusus (optical) dan lain-lain. Dan yang menarik kebanyakan usaha franchise (lokal) dimotori oleh UKM.  Perusahaan besar sedikit sekali yang bermain di pasar franchise. Sekitar 1000an usaha franchise dan lisensi yang beroperasi di Indonesia, sebagian terbesar (80%) adalah UKM.

    2.     Perkiraan bapak, berapa populasi franchise di tanah air?

    Seperti telah saya sebutkan di atas, diperkirakan ada sekitar 1000an lebih perusahaan franchise yang beroperasi di Indonesia dengan penjualan kotor yang telah menembus 100 trilyun rupiah. Sekali lagi ini perkiraan. Namun dari 1000an perusahaan di atas, tidak semua menjalankan franchise secara murni. Sebagian besar, saya berani mengatakan, adalah lisensi (merek) dan/atau peluang bisnis. Di samping itu, dari 1000an usaha franchise tersebut yang menyandang merek asing, mungkin sekitar 16%.

     3.    Apa sebetulnya syarat utama menjadi franchise yang sukses?

    Usaha tersebut harus sudah menguntungkan secara finansial dan memiliki minimal 2 gerai milik sendiri. Di samping itu, pemiliknya sudah menggeluti usahanya minimal 3 tahun. Lebih lama tentu saja lebih baik, artinya pengalaman dalam mengelola usahanya sudah cukup makan asam garam.

    Syarat lainnya, sebaiknya didampingi oleh konsultan franchise atau waralaba yang memiliki pengalaman praktek. Saya tekankan pengalaman praktek, karena kebanyakan konsultan franchise di Indonesia tiba-tiba mengklaim sebagai konsultan hanya dari membaca buku atau tulisan-tulisan di internet dan sebagainya. Yang benar-benar pernah berpengalaman menjalankan usaha franchise atau waralaba sedikit sekali. Mengapa konsultan franchise yang memiliki pengalaman praktek dibutuhkan? Adalah untuk mendapatkan opini kedua  (second opinion) dari pihak professional yang kaya pengalaman praktek. Karena kalau anda sendiri yang membuatnya kecenderungannya ego atau subyektifitas yang akan lebih banyak bicara. Dengan demikian kemungkinan system franchise yang dibuat tidak berdasarkan suatu realitas empiris yang obyektif. Kalau ini terjadi, kegagalan usaha franchise yang akan anda jalankan sudah dapat dipastikan telah  di depan mata. 

    4.     Menurut bapak, apakah perkembangan ini sudah sangat ideal?

    Sudah ideal? Maksudnya ideal dalam pengertian akan mencapai titik jenuh, saya kira tidak! Pertumbuhan usaha franchise akan terus berproses dan beradaptasi serta terus berinovasi.

    5.     Bagaimana melihat perhatian pemerintah terhadap industri ini?

    Perhatian Pemerintah belum optimal, karena franchise bukan prioritas, walaupun franchise/waralaba disebutkan dalam UU no. 20 tahun 2008 tentang "Usaha Mikro, Kecil dan Menengah". Bagi saya sebaiknya kita tidak perlu tergantung kepada Pemerintah. Tanpa Pemerintah bisnis franchise jalan koq. Oleh sebab itu biarlah komunitas franchise mengatur dirinya sendiri berdasarkan asas "good corporate governance".  Saya adalah penganut paham yang tidak menginginkan Pemerintah terlalu turut campur, kita sudah punya KPPU, Lembaga Sertifikasi, Lembaga Konsumen, Perbankan, saya kira sudah cukup.

    6.    Bagaimana bisnis franchise sebagai sebuah peluang investasi, menarikkah?

    Sangat menarik! Dari hitung-hitungan saya "gain"-nya lebih tinggi daripada bermain di pasar modal. Sebagai skim investasi franchise tidak sensitive dengan isyu-isyu ekonomi dan politik atau pengaruh pasar regional, artinya bisnis franchise sebagai suatu skim investasi sangat stabil – berbeda dengan investasi portofolio.  Kelebihan lainnya, skim investasi franchise berada di sektor riil, jadi secara langsung menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan entrepreneur.

    Gagasan untuk menjadikan franchise/waralaba sebagai skim investasi di sektor riil telah lama saya sampaikan ke pemerintah. Tau apa jawabannya, nihil!

    7.     Kendala-kendala apa saja yang masih dihadapi di bisnis ini? Sebaliknya, peluang-peluang apa saja yang masih dimiliki bisnis ini?

    Kendala yang utama adalah banyak pihak termasuk pemerintah dan perbankan belum melihat potensi ekspor franchise dan lisensi Indonesia. Negara kita selama ini cuma menjadi pasar franchise dan lisensi asing. Franchise Indonesia yang beroperasi di luar negeri masih sangat sedikit. Oleh sebab itu saya kira kita perlu mendorong franchise dan lisensi Indonesia masuk ke pasar global. Karena potensi kita cukup besar dan franchise (& lisensi) Indonesia memang diminati di pasar ASEAN, Timur Tengah, Jepang dan lain-lain.

    Saya melihat, rencana ekspor waralaba dan lisensi Indonesia masih terbatas retorika dan wacana. Walaupun demikian, melalui KADIN dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) terus saya dorong. Mudah-mudahan dengan dipublikasikan wawancara ini, akan menggugah pihak perbankan untuk membantunya.

    Untuk tahap awal, KADIN dan WALI akan menyelenggarakan seleksi untuk mendapatkan 20an perusahaan franchise lokal yang layak dan telah memenuhi syarat untuk melakukan ekspor. Seleksi tahap awal ini akan dilakukan pada tanggal 29 September 2010 mendatang di JCC - Jakarta. Perusahaan waralaba dan Lisensi Indonesia terseleksi akan diumumkan pada tanggal 11 November 2010, bersamaan dengan penyelenggaraan pameran "Franchise and License Expo Indonesia 2010".

     

     

    ------------------

     

     

     

     

     

     


    Rabu, 23 Juni 2010

    EKSPOR WARALABA DAN LISENSI INDONESIA

    Pada tanggal 16 Juni 2010 yang lalu, telah ditanda tangani perjanjian kerjasama antara KADIN INDONESIA dengan Indonesia Exim Bank (Lembaga Penjaminan Ekspor Indonesia –  LPEI), untuk menyeleksi minimal 20 perusahaan waralaba dan lisensi (pemberi waralaba/lisensi – franchisor/licensor) Indonesia, guna dipersiapkan memasuki pasar internasional ("go global").  Program ini bernama "Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia", yang melibatkan pula  Kementerian Perdagangan RI, khususnya Direktorat Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia). Adapun usaha-usaha yang memiliki ciri: "Produk berbasis budaya Indonesia dan/atau memiliki merek/brand yang menunjukan Indonesia" akan mendapat prioritas  dan asistensi profesional serta pendampingan dari KADIN (& WALI). Sedangkan pembiayaan ekspornya akan disediakan oleh LPEI dengan tingkat bunga yang kompetitif.
     
    Pemilihan (minimal) 20 perusahaan waralaba lokal yang akan didorong dan dikembangkan agar siap melakukan ekspor akan dilakukan oleh suatu Tim Jury yang diketuai Amir Karamoy.
     

    Sebelum memasuki pasar global, para peserta terpilih akan mendapatkan pelatihan khusus ekspor yang difasilitasi Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI), kemudian mengikuti pameran waralaba di luar negeri yang difasilitasi pula oleh BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional). Dalam proses negosiasi dengan pihak "buyer" (Penerima Waralaba/Lisensi atau Franchisee/Licensee) di luar negeri, peserta akan didampingi oleh Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN INDONESIA dengan menyediakan bantuan jasa konsultan hukum.

    Indonesia Trade and Promotion Center (ITPC) yang beroperasi di beberapa Negara di luar negeri  akan pula memfasilitasi program "Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia" ini. 

    Program "Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia" ini akan berlangsung selama 5 tahun. Anda berminat? Silahkan hubungani kami atau klik www.ekspor-waralaba.com

     

     Jakarta, 16 Juni 2010

     


    Minggu, 06 Juni 2010

    SUATU PEMIKIRAN TENTANG "IDEOLOGI INDEPENDEN" SEKRETARIAT BERSAMA ORGANISASI MAHASISWA LOKAL - SOMAL

    ( PMB - IMADA - CSB - IMABA - GMS - MMB - IMAYO - IMAPON )

    "Ideologi Independen" adalah prinsip kebebasan berfikir (independence of thought), guna mendorong tumbuh berkembangnya insan Indonesia yang kreatif/inovatif, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia dan kualitas kehidupan rakyat seluruhnya serta kualitas bumi tempat hidup manusia. Prinsip kebebasan berfikir ini bebas dari premisis-premisis premordialisme.

    "Ideologi Independen" dalam konteks ekonomi dan teknologi berarti kemandirian secara ekonomi dan teknologi yang dicapai melalui pembaruan paradigma, sistem dan methodologi secara terus menerus. Menciptakan insan Indonesia yang berwawasan global namun berpijak kepada tradisi yang merupakan kebijaksanaan lokal (local wisdom).

    "Ideologi Independen" secara sosial dan budaya, adalah pengakuan dan penghargaan kepada hak-hak, tradisi dan budaya masyarakat lokal yang bernaung dalam kedaulatan negara Indonesia.

    "Ideologi Independen" meletakkan otonomi individu seluas-luasnya, sekaligus kewajiban membina dan mengembangkan hubungan persaudaraan sejati antar manusia secara sederajat, saling menghargai, saling peduli, simpati dan empati, toleran yang menembus batas-batas negara/bangsa, budaya, agama/kepercayaan, gender, warna kulit serta tingkat ekonomi dan sosial.

    "Ideologi Independen" adalah secara kelembagaan SOMAL, bebas (not controlled) dari/oleh partai politik, kelompok kepentingan (kelompok agama, kelompok kesukuan /etnik/ras dan gender) dan kekuatan luar (outside forces), termasuk dari/oleh negara/bangsa lain.

    Singkat, "ideologi Independen" adalah:

    1) Kebebasan berfikir yang mengabaikan premisis-premisis premordialisme dimaksudkan untuk mendorong kreatifitas dan inovasi yang merupakan hal hakiki guna memajukan kualitas kehidupan manusia, khususnya kualitas manusia dan rakyat Indonesia seluruhnya dan kualitas lingkungan (bumi)

    2) Kemandirian ekonomi dan teknologi yang sepenuhnya ditopang oleh sumber-sumber daya lokal/nasional dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia seluas-luasnya dan seadil-adilnya.

    3) Mengakui dan menghargai hak-hak sosial dan budaya masyarakat lokal dalam untaian pulau-pulau dan lautan Nusantara.

    4) Humanisme adalah memahami hakekat manusia dalam hubungan dengan Tuhan serta hubungan dan interaksi antar manusia yang sederajat, dalam rangka membentuk kualitas manusia seutuhnya.

    5) Paham multi-kulturalisme dan pluralisme yang memperlakukan perbedaan ideologi dan paham politik, agama/kepercayaan, suku/etnik, warna kulit, gender adalah keniscayaan dan realita kehidupan manusia – merupakan ciptaan dan anugerah Tuhan. Penyangkalan terhadap paham di atas, identik dengan pengingkaran terhadap maha keagungan Tuhan

    "Ideologi Independen" ini harus dihayati, diyakini, dilaksanakan dan dikumandangkan secara terus menerus.

    Jakarta, 12 Juni 2010

    AMIR KARAMOY

    Senin, 19 April 2010

    "MAFIA" PEMILIHAN PEJABAT PUBLIK

    Walaupun beritanya telah lama berlalu, menarik membaca "Kegagalan Rekrutmen Pejabat Publik Kita" dalam kolom FOKUS, Kompas tanggal 8 Mei 2009. Saya termasuk orang yang pernah mendorong calon yang saya anggap "sangat memenuhi syarat" atas jabatan publik yang ditawarkan.  Melalui pengalaman tersebut, walaupun saya tidak ada beban (ini sejujurnya!), saya mendapatkan hal-hal yang tampaknya memang patut dipertanyakan. Misalnya, sangat kuat dugaan bahwa pengumuman calon untuk rekrutmen pejabat publik cuma pro-forma saja. Team Seleksi (biasanya team ini berjenjang) yang ditugaskan melakukan rekrutmen, sebenarnya sudah tau atau telah memperkirakan siapa saja yang akan dipilih.  Dengan demikian,  maka dibuatlah  rekayasa agar calon yang dimaksud dapat terpilih. Siapa mereka yang biasanya terpilih? (1) Kalangan dalam suatu departemen atau mantan pejabat (tinggi); (2) Mantan anggota lembaga publik/independen yang melamar kembali, karena masa jabatan telah berakhir; (3) anggota atau mantan anggota DPR/Parpol; (4) Kalangan yang sebelumnya sudah di"approached" oleh salah satu anggota atau Tim Seleksi.

     

    Liat saja pemilihan komisioner KPPU yang terseleksi sebagian adalah orang-orang lama. Padahal, saya tau persis, banyak pelamar yang baik dan ahli tetapi dikalahkan hanya oleh seleksi administrasi.  Demikian juga dalam pemilihan anggota Dewan Energi Nasional misalnya. Saya juga tau persis, banyak pelamar yang sangat berpengalaman dalam bidang keenergiaan "dikalahkan" hanya oleh seleksi administrasi.  Lihat saja  rekrutmen Penasihat KPK, yang terpilih adalah Penasihat yang masa jabatannya sudah habis, kemudian dipilih lagi. Padahal banyak para ahli yang sudah senior, ahli (spesialis) serta berintegritas tetapi karena rekayasa team seleksi akhirnya "dikalahkan".

     

    Seleksi pejabat publik yang dilakukan selama ini – dikuasai oleh "mafia birokrat atau DPR/parpol".  Di samping "kelompok yang sudah mapan", yang memang tidak menginginkan kehadiran orang baru, karena dikuatirkan akan mengganggu "kenyamanan politik dan kenyamanan materi".

     

    Menurut saya sebaiknya seleksi pejabat publik dilakukan oleh lembaga yang independen dan ahli. Dan tidak memperlakukan seolah-olah tes psikolgi adalah segala-galanya. Liat saja anggota KPU yang sekarang, pemilihannya dilakukan melalui tes psikologi yang katanya  "indepth" tetapi tetap saja kinerja anggota KPU belum sebagaimana diharapkan. 

     

    Rekrutmen sebaiknya dilakukan melalui suatu panel yang terdiri dari para ahli (multi disiplin ilmu/keahlian) yang memiliki integritas. Saya sangat terkesan dengan rekrutmen "American Idiol". Menurut saya inilah sistem seleksi yang baik.  Walaupun menyita  waktu, dana dan tenaga, tetapi hasilnya excellent!

     

     

     ----------------