Catatan Tentang Regulasi Waralaba
Catatan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah dan instansi terkait.
Persoalan yang cenderung menghambat regulasi waralaba berjalan dengan baik, lebih disebabkan oleh:
Ø Masih kurangnya sosialisasi aturan yang terkait langsung dengan waralaba, yaitu PP No. 42 tahun 2007 tentang: “WARALABA”; Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang: “PENYELENGGARAAN WARALABA”; dan “PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PERMENDAG” yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI.
Ø Selain regulasi di atas, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) juga mengeluarkan Keputusan No: 57/KPPU/Kep/III/2009 tentang: “PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 Huruf b UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG: “LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT” TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN WARALABA,
Ø Sangat kurangnya sosialisasi regulasi seperti disebut di atas, diukur dari banyaknya pelaku usaha waralaba, kurang/belum/tidak memahaminya dengan baik.
Ø Sesuai dengan pasal 11 (2) PP No. 42 tahun 2007, perjanjian waralaba wajib di daftarkan. Kami menyakini bahwa isi perjanjian waralaba yang didaftarkan tersebut, belum/tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Surat Keputusan KPPU di atas. Di samping itu, sesuai dengan ketentuan Permendag No. 31/2008, jangka waktu Perjanjian Waralaba adalah 10 (sepuluh) tahun. Namun demikian, kami masih melihat banyak perjanjian waralaba yang tidak berjangka waktu 10 tahun, mendapat STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) – hal ini jelas melanggar ketentuan yang ada.
Ø Hal di atas terjadi karena pemahaman aparat Pemerintah di daerah yang diberikan wewenang untuk menjalankankan (dan mengawasi) regulasi waralaba (khususnya lokal), masih sangat kurang. Di samping itu, sering terjadinya mutasi pegawai Pemda yang ditunjuk untuk menjalankan regulasi waralaba di daerah, menjadi salah satu penghambat.
Ø Di tingkat global, ketika KADIN INDONESIA dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi) menyelenggarakan program “ekspor waralaba Indonesia” secara swadaya. diperoleh kesan bahwa kebanyakan Atase Perdagangan/ITPC (Indonesia Trade Promotion Center) tidak mengetahui/memahami isi regulasi waralaba, seperti dimaksud oleh PP No. 42 tahun 2007, Permendag No. 31/2008 dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Permendag (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri).
Ø Berkembangnya pola waralaba dimana pihak pewaralaba (franchisor) yang menjalankan sehari-hari usaha milik terwaralaba (franchisee), selain bertentangan dengan PP No. 42 tahun 2007 (antara lain, pasal 8), juga mengingkari hakekat waralaba dalam rangka menumbuhkan wirausaha. Contoh praktek di atas, antara lain, seperti yang selama ini dijalan oleh bisnis ritel (mini-market).
Ø Sementara itu, masuknya waralaba asing ke pasar Indonesia, yang kebanyakan menggandeng pengusaha besar nasional, dalam prakteknya di lapangan tidak sejalan dengan ketentuan PP, karena lebih banyak membangun company owned stores. Hal ini berseberangan dengan pasal 9 (2) PP. No. 42 tahun 2007.
Ø Perlu dipikirkan untuk membentuk suatu Badan yang profesional dan independen yang tugas utamanya merekomendasikan pemberian STPW kepada instansi Pemerintah yang berwenang (Daerah dan Pusat). Badan ini bertugas pula untuk memonitor/membantu mengawasi kegiatan waralaba (lokal/asing) dan secara rutin melaporkan kepada Pemerintah Daerah dan Pusat. Diusulkan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) – yang adalah organisasi perusahaan & pengusaha waralaba – ditunjuk sebagai Badan dimaksud di atas.
Ø KADIN INDONESIA kembali menyarankan, agar ketentuan waralaba dalam Draft RUU Perdagangan (pasal 5) yang menyebutkan “waralaba adalah sistem peredaran barang dan/atau jasa yang pemasarannya secara langsung atau tidak langsung dari produsen atau importir sampai konsumen” – diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan hakekat pengertian waralaba yang benar, yaitu terkait dengan HKI dan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business). Di samping itu, pencantuman kata “importir” pada pasal 5 tersebut, perlu dipertimbangkan untuk dihapus. Pencantuman kata “importir” dikuatirkan bertentangan dengan semangat pengembangan waralaba, seperti dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2008 dan PP No. 42 Tahun 2007, untuk mendorong pengembangan produksi dalam negeri dan perusahaan/pengusaha kecil menengah.
Ø Disarankan agar PP No. 44 Tahun 1997 tentang “Kemitraan”, diganti dan disempurnakan dengan PP yang baru yang berlandaskan UU No. 20 Tahun 2008. Dalam PP yang baru tersebut perlu diatur tentang prinsip fair business practices dalam kemitraan dan perjanjian kemitraan yang melindungi hak dan kewajiban para pihak secara fair, termasuk kewajiban melakukan disclose. Demikian pula aturan (PP) tentang (Perjanjian) Lisensi Merek, untuk lebih memberikan kepastian terhadap usaha-usaha yang dijalankan dengan pola lisensi (khususnya merek) yang saat ini berkembang pesat di Indonesia.
Jakarta, 14 Oktober 2011
AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba
dan Lisensi KADIN INDONESIA