Isyu utama dalam draft Permendag yang baru (pengganti Permendag no.
31/M-DAG/PER/8/2008 tentang ”Penyelenggaraan Waralaba”, antara lain, adalah hal-hal sebagai berikut:
- Mengefisienkan penerbitan surat tanda
pendaftaran waralaba (STPW) dengan cara ”on-line”.
- Pembatasan pembangunan company owned outlet (COO) dan mendorong pertumbuhan franchise outlet (FO), dalam rangka menciptakan praktek usaha sehat
yang transparan dan menghidari ”dominasi pasar” oleh individu/kelompok
perusahaan/pengusaha tertentu.
- Mendorong kemitraan usaha yang saling
menguntungkan antara perusahaan/pengusaha besar dengan menengah atau
menengah dengan kecil dan mikro atau antara pengusaha di tingkat nasional
dengan di daerah-daerah.
- Mendorong penggunaan produk dalam negeri yang
berkualitas
- Laporan Keuangan dalam Prospektus Penawaran
Waralaba, wajib diaudit oleh akuntan publik.
- Memastikan pengembangan waralaba asing untuk
sebesar-besarnya bermanfaat bagi ekonomi nasional.
Pada pihak lain, KADIN (&
Perhimpunan WALI – Waralaba dan Lisensi Indonesia), berpendapat bahwa, praktek
waralaba harus dijalankan berdasarkan (I)
UU no. 20 tahun 2008 tentang ”Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah”; (II) PP no. 42 tahun 2007 tentang
”Waralaba”. Artinya, berdasarkan kedua perundangan/peraturan di
atas, memang tidak dikenal yang disebut COO, yang dikenal hanya FO. Oleh karena
itu, praktek waralaba sebaiknya dikembalikan
pada pengertian/hukum yang seharusnya/sebenarnya. Yaitu, fungsi dan manfaat waralaba adalah dalam rangka (1) Menciptakan pengusaha/entreprenuer, (2) Menciptakan lapangan kerja. (3) Pemerataan kesempatan berusaha dan bekerja.
KADIN (& WALI) menyarankan, dalam
draf materi regulasi waralaba yang baru tersebut, sebaiknya mencantumkan kewajiban
Pemerintah (Pusat dan Daerah) untuk mendorong dan
mengembangkan usaha waralaba nasional/lokal melalui pemberian fasilitas permodalan/perkreditan,
pemasaran/ promosi, kemudahan prosedural,
pelatihan berjenjang dan bekelanjutan, serta R & D, secara
terprogram dan kongkrit. Di samping,
menunjuk KADIN (& WALI) sebagai ”intermediate body” yang memberikan
rekomendasi atas penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) – untuk
memastikan aspek hukum khususnya dalam perjanjian waralaba, dipenuhi. Serta memonitor penyelenggaraan waralaba
dipraktekan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bagi perusahaan/pengusaha yang tidak nyaman dengan aturan waralaba termasuk pembatasan
pembangunan COO, sebaiknya tidak menyatakan dirinya sebagai waralaba.
Kepada Pemerintah, diingatkan gagasan untuk membagi waralaba dalam
kategori-kategori kuliner, ritel, jasa dan lain-lain, sama sekali tidak
berdasar dan menyesatkan. Waralaba adalah
”penggunaan/pemanfaatan HKI (merek) sekaligus sistem bisnis yang telah teruji”
dari satu pihak ke pihak lain. Jadi, bukan merupakan kategori atau bidang usaha
ataupun jenis produk tertentu.
KADIN (& WALI) menyarankan pula agar PP no. 42 tahun 2007 segera
direvisi. Dengan menjadikan waralaba
sebagai suatu skim investasi di sektor riel,
melalui cara ”franchisor operating
franchise” dan memberikan payung
hukum untuk mendorong ekspor waralaba lokal ke pasar internasional. Di samping itu, Pemerintah segara menerbitkan
PP tentang Lisensi, sekaligus membuat PP
tentang Kemitraan/Peluang Bisnis (Business Opportunity), berdasarkan UU
no. 20 tahun 2008. Kesemua perangkat hukum di atas, untuk memberikan kepastian
hukum terhadap praktek waralaba (sebagai suatu skim investasi di sektor riel),
lisensi dan kemitraan.
Jakarta, April 2012
AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap
Waralaba dan Lisensi