USULAN UNTUK
FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (FPKS) DPR-RI
DISAMPAIKAN DALAM DISKUSI PUBLIK MEMBAHAS
RUU PERDAGANGAN
UU yang pertama kali memuat kata Waralaba adalah UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha Kecil”. UU ini telah dicabut dan digantikan oleh UU no. 20 tahun 2008 tentang “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”.
Kemudian UU no. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” menyebut secara khusus “Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba”. Perlu dicatat bahwa kedua UU di atas, tidak merumuskan/memuat batasan pengertian/definisi tentang Waralaba. Baru pada PP no. 16 tahun 1997 tentang “Waralaba”, pengertian/definisi Waralaba dirumuskan, sbb: “Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa”.
Sebagai peraturan pelaksana/ atas PP no. 16/1997 diterbitkan SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba”. Kemudian sebagai konsekwensi diberlakukannya UU no. 10 tahun 2004, SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 di atas dicabut dan diganti oleh Permendag no. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba”. Patut dicatat bahwa dalam Permendag no. 12/2006, pengertian/definisi Waralaba berubah, sbb: “Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba di mana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba”.
PP no. 16/1997 kemudian dibatalkan dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang “Waralaba”. Patut dicatat, pengertian/definisi Waralaba pada PP no. 16/1997 dan pada Permedag no. 12/2006 berubah lagi dengan diterbitkannya PP no. 42/2007, yaitu sbb: “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”
Kesimpulan & Saran
Pada hakekatnya, Indonesia belum memiliki pengertian/definsi Waralaba yang tepat dan baku. Pengertian/definisi tentang Waralaba dicantumkan/disebut dalam PP dan Permendag, menurut kami masih mengandung kerancaun dalam pengertiannya. Oleh sebab itu, disarankan dirumuskan/dibuat pengertian / definisi tentang Waralaba yang baku pada tingkat UU (Perdagangan). Kami berpendapat Waralaba bukan sekedar distribusi barang dan/atau jasa yang perdagangannya secara langsung atau tidak langsung (lihat Pasal 5 RUU Perdagangan), tetapi juga menyangkut penggunaan/pemanfaatan Hak kekayaan Intelektual (HKI), khususnya Merek. Pengertian/definisi pada (PP no. 42 tahun 2007) yang dicantumkah dalam Penjelasan RUU pasal 5b. Menurut kami tidak tepat, karena tidak mencantumkan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), khususnya MEREK, tetapi HAK KHUSUS. Apa yang dimaksud dengan HAK KHUSUS tidak jelas dan yang pasti tidak berdasarkan acuan UU. Berbeda dengan MEREK/HKI yang dilindungi dan diatur dalam UU Merek no. 15 tahun 2001 khususnya, UU tentang HKI umumnya. Dengan demikian, perlu menempatkan Waralaba pada pasal tersendiri dengan suatu pengertian/definisi yang lebih lengkap, integratif, menyeluruh dan baku dalam UU Perdagangan ini. Waralaba juga harus dilihat sebagai suatu skim peluang bisnis (business opportunity), misalnya lisensi.
Kami menyarankan pengertian/definisi Waralaba yang baku yang dicantumkan dalam RUU Perdagangan (atau pada Penjelasan Pasal 5 b), paling sedikit mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
(1). Hak Kekayaan Intelektual (HKI). (2) Sistem Usaha yang telah terbukti sukses (3) Perjanjian waralaba
Dengan adanya unsur Perjanjian waralaba dalam definisi waralaba, maka dipastikan ada 2 (dua) pihak (atau pelaku usaha) yang terlibat, yaitu Pemberi Waralaba (franchisor) dan Penerima Waralaba (franchisee). Pengertian ini menjelaskan bahwa sebetulnya tidak ada "company owned unit" dalam skim waralaba yang benar.
Jakarta, 20 Juni 2012