REVIEW TAHUN 2013 &
TANTANGAN TAHUN 2014
Berdasarkan ketentuan
PP no. 42 tahun 2007 tentang “Waralaba” dan Permendag no. 53/M-DAG/PER/8/2012
tentang “Penyelenggaraan Waralaba”,
setiap perusahaan waralaba wajib memiliki STPW (Surat Tanda Pendaftaran
Waralaba). Dengan demikian, maka hanya perusahaan yang telah memiliki STPW secara hukum sah sebagai waralaba.
Dari analisis data berdasarkan
penerbitan STPW sampai dengan 13 Desember 2013 yang dihimpun dari Kementerian
Perdagangan, baru 125 perusahaan waralaba yang telah mendapatkan STPW. Patut dicatat, data ini belum termasuk STPW
yang diterbitkan Pemerintah Daerah. Namun demikian, berdasarkan data dari
Kementerian Perdagangan tersebut sudah dapat diperoleh gambaran tentang
waralaba di Indonesia, yaitu, Pemberi Waralaba Luar Negeri menguasai 60% dan
Pemberi Waralaba Dalam Negeri hanya 2,4%.
Bila dilihat dari
jenis/bidang usaha, jumlah waralaba makanan/minuman adalah yang terbesar
(49,6%). Dikuti oleh kategori ritel (24%)
dan pendidikan (20,8%). Bidang-bidang usaha tersebut, sebagian terbesar
dikuasai pula oleh yang bermerek asing.
Dari data di atas menunjukan bahwa pasar Indonesia didominasi oleh
Pemberi Waralaba asing. Mengapa hal ini
terjadi? Utamanya karena adanya ketentuan, antara lain, laporan keuangan
Pemberi Waralaba wajib diaudit Akuntan Publik dan membuka laporan keuangannya
ke publik pula (terkecuali Usaha Kecil & Mikro). Akibatnya, hanya perusahaan waralaba asing
dan menengah nasional ke atas yang “mampu” melakukannya. Sedangkan perusahaan
waralaba kategori menengah ke bawah, cenderung mengalihkan usahanya ke skema
Lisensi dan Kemitraan (Lihat buku tulisan
Amir Karamoy, “Percaturan Waralaba
Indonesia”, 2013).
Apakah hal ini
berdampak negatif terhadap perkembangan waralaba di Indonesia? Jawabannya
tidak! Karena waralaba secara kualitatif
semakin baik, walaupun secara kuantitas menurun. Dengan demikian, waralaba menjadi suatu skema
investasi di sektor riel, prospeknya semakin terbuka.
Sehubungan dengan itu,
hal yang harus menjadi perhatian pada tahun 2014, adalah bagaimana mendorong
pertumbuhan Pemberi Waralaba Dalam Negeri sebanyak-banyaknya (termasuk
UKM), melalui pembentukan Indonesian Franchise Development Center (IFDC) yang pendanaannya
diperoleh, antara lain, dari program CSR
BUMN. Selain memperkuat pasar
domestik, IFDC mendorong waralaba
Indonesia berkiprah di pasar global.
Ini adalah tantangan
ke depan agar pengusaha waralaba nasional/lokal tetap menguasai pasar domestik, sekaligus
menjadi tuan rumah yang baik memasuki tahun 2015 (era Economic ASEAN
Community).
Tidak ada salahnya
kita meniru Malaysia, dimana setiap
perusahaan nasionalnya yang beralih ke waralaba mendapatkan pendanaan dan
pelatihan yang difasilitasi Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi
& Kepenggunaan, melalui PNS (Perbadanan Nasional Berhad). Bahkan ada rencana PNS akan mengusulkan kepada
Pemerintahnya untuk membuat kebijakan yang memberikan kemudahan bagi para ahli
waralaba Indonesia (termasuk yang berpengalaman praktek) untuk bekerja di negara
jiran tersebut. Ini menunjukan komitment yang kuat dari Pemerintah Malaysia mendorong
dan mengembangkan waralabanya.
Tabel 1
Kategori
Waralaba
(n = 125)
Pemberi Waralaba
Luar Negeri
|
60,0%
|
Pemberi Waralaba
Dalam Negeri
|
2,4%
|
Penerima Waralaba
|
32,8%
|
Pemberi Waralaba
Lanjutan Luar Negeri
|
2,4%
|
Penerima Waralaba
Lanjutan
|
2,4%
|
TABEL 2
Jenis/Bidang
usaha
(n = 125)
Makanan &
Minuman
|
49,6%
|
Ritel
|
24,0%
|
Pendidikan
|
20,8%
|
Jasa perbaikan
|
6,4%
|
Hotel
|
1,6%
|
Real Estate
|
0,8%
|
Jakarta, 18 Desember 2013