Rabu, 12 Oktober 2011

SIARAN PERS

Catatan Tentang Regulasi Waralaba

Catatan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah dan instansi terkait.

Persoalan yang cenderung menghambat regulasi waralaba berjalan dengan baik, lebih disebabkan oleh:

Ø  Masih kurangnya sosialisasi aturan yang terkait langsung dengan waralaba, yaitu PP No. 42 tahun 2007 tentang: “WARALABA”; Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang: “PENYELENGGARAAN WARALABA”; dan “PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PERMENDAG”  yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI.

Ø  Selain regulasi di atas, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) juga mengeluarkan Keputusan No: 57/KPPU/Kep/III/2009 tentang: “PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 Huruf b UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG: “LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT” TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN WARALABA, 

Ø  Sangat kurangnya sosialisasi regulasi seperti disebut di atas, diukur dari banyaknya pelaku usaha waralaba, kurang/belum/tidak memahaminya dengan baik.

Ø  Sesuai dengan pasal 11 (2) PP No. 42 tahun 2007, perjanjian waralaba wajib di daftarkan. Kami menyakini bahwa isi perjanjian waralaba yang didaftarkan tersebut, belum/tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Surat Keputusan KPPU di atas.  Di samping itu, sesuai dengan ketentuan Permendag No. 31/2008, jangka waktu Perjanjian Waralaba adalah 10 (sepuluh) tahun.  Namun demikian, kami masih melihat banyak perjanjian waralaba yang tidak berjangka waktu 10 tahun, mendapat STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) – hal ini jelas melanggar ketentuan yang ada.

Ø  Hal di atas terjadi karena pemahaman aparat Pemerintah di daerah yang diberikan wewenang untuk menjalankankan (dan mengawasi) regulasi waralaba (khususnya lokal), masih sangat kurang. Di samping itu, sering terjadinya mutasi pegawai Pemda yang ditunjuk untuk menjalankan regulasi waralaba di daerah, menjadi salah satu penghambat.

Ø  Di tingkat global, ketika KADIN INDONESIA dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi) menyelenggarakan program “ekspor waralaba Indonesia” secara swadaya. diperoleh kesan bahwa kebanyakan Atase Perdagangan/ITPC (Indonesia Trade Promotion Center)  tidak mengetahui/memahami isi regulasi waralaba, seperti dimaksud oleh PP No. 42 tahun 2007, Permendag No. 31/2008 dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Permendag (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri). 

Ø  Berkembangnya pola waralaba dimana pihak pewaralaba (franchisor) yang menjalankan sehari-hari usaha milik terwaralaba (franchisee), selain bertentangan dengan PP No. 42 tahun 2007 (antara lain, pasal 8), juga mengingkari hakekat waralaba dalam rangka menumbuhkan wirausaha. Contoh praktek di atas, antara lain,  seperti yang selama ini dijalan oleh bisnis ritel (mini-market).

Ø  Sementara itu, masuknya waralaba asing ke pasar Indonesia, yang kebanyakan menggandeng pengusaha besar nasional, dalam prakteknya di lapangan tidak sejalan dengan ketentuan PP, karena lebih banyak membangun company owned stores. Hal ini berseberangan dengan pasal 9 (2) PP. No. 42 tahun 2007.

Ø  Perlu dipikirkan untuk membentuk suatu Badan yang profesional dan independen yang tugas utamanya merekomendasikan pemberian STPW kepada instansi Pemerintah yang berwenang (Daerah dan Pusat). Badan ini bertugas pula untuk memonitor/membantu mengawasi kegiatan waralaba (lokal/asing) dan secara rutin melaporkan kepada Pemerintah Daerah dan Pusat.  Diusulkan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) – yang adalah organisasi perusahaan & pengusaha waralaba   ditunjuk sebagai Badan dimaksud di atas.

Ø  KADIN INDONESIA kembali menyarankan, agar ketentuan waralaba dalam Draft RUU Perdagangan (pasal 5) yang menyebutkan “waralaba adalah sistem peredaran barang dan/atau jasa yang pemasarannya secara langsung atau tidak langsung dari produsen atau importir sampai konsumen” – diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan hakekat pengertian waralaba yang benar, yaitu terkait dengan HKI dan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business).  Di samping itu, pencantuman kata “importir” pada pasal 5 tersebut, perlu dipertimbangkan untuk dihapus. Pencantuman kata “importir” dikuatirkan bertentangan dengan semangat pengembangan waralaba, seperti dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2008 dan PP No. 42 Tahun 2007, untuk mendorong pengembangan produksi dalam negeri dan perusahaan/pengusaha kecil menengah.

Ø  Disarankan agar PP No. 44 Tahun 1997 tentang “Kemitraan”, diganti dan disempurnakan dengan PP yang baru yang berlandaskan UU No. 20 Tahun 2008. Dalam PP yang baru tersebut perlu diatur tentang prinsip fair business practices dalam kemitraan dan perjanjian kemitraan yang melindungi hak dan kewajiban para pihak secara fair, termasuk kewajiban melakukan disclose.  Demikian pula aturan (PP) tentang (Perjanjian) Lisensi Merek, untuk lebih memberikan kepastian terhadap usaha-usaha yang dijalankan dengan pola lisensi (khususnya merek) yang saat ini berkembang pesat di Indonesia.


Jakarta, 14 Oktober 2011





AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba
dan Lisensi KADIN INDONESIA





Selasa, 09 Agustus 2011

ADAKAH PELUANG PARPOL BARU?


Oleh Amir Karamoy



Tidak ada hal baru dalam tulisan berikut ini. Karena memang hanya bermaksud untuk mengingatkan kembali hal-hal yang perlu dipersiapkan, sehubungan dengan pembentukan parpol baru untuk bersaing dan meraih suara sebanyak mungkin dalam pemilu.

Untuk parpol baru yang akan bertarung dalam pemilu 2014, tidak ada salahnya mempelajari keberhasilan 3 parpol ketika pada awal keikut sertaanya dalam pemilu,  langsung  meraih suara cukup signifikan, yaitu Partai Keadilan (PK) yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD)  dan terakhir, Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA).

Pada awal kiprahnya pada pemilu legislatif 1999, PK mendapatkan 7 kursi  di DPR.  Karena tidak tidak mencapai electoral threshold (ambang batas parlemen), maka pada pemilu 2004 PK yang berubah menjadi PKS melesat memperolehi  45 kursi di DPR.

Sedangkan pada pemilu 2004 partai baru yang bernama Partai Demokrat langsung meroket mendapatkan 57 kursi di DPR. Kemudian pada pemilu 2009,  secara menyakinkan PD menunjukan “gigi”-nya, menjadi parpol terbesar di Indonesia, mengalahkan dominasi partai-partai lama, yaitu Golkar dan PDIP.  PD memperoleh 150 kursi di DPR. Meningkat hampir 3 kali dibanding pemilu 2004.

Kemudian, pada pemilu 2009 pendatang baru Partai Gerindra  langsung mendapatkan sebanyak 26 kursi di DPR. Adalah tidak berlebihan bila ada yang berpendapat pada pemilu 2014, kursi partai Gerindra juga akan melesat. Kebijakan partai seperti ditunjukan oleh fraksinya di DPR, terkait dengan tidak ikut serta dalam kegiatan studi banding, karena dianggap hanya menghambur-hamburkan anggaran negara dan menolak rencana pembangunan gedung DPR yang baru, karena tidak sesuai dengan aspirasi rakyat banyak, menunjukan komitmen Gerindra yang potensial dapat menjadi aset meraih lebih banyak lagi pemilih pada pemilu  2014 mendatang. 

* * *

Apa modal keberhasilan PKS? Dari hasil studi literature,  kekuatan PKS adalah adanya basis massa yang loyal (CSIS, 2008). Yaitu, kaum muda terdidik yang berbasis islam, remaja mesjid, islam modernis, dan lain-lain (Dr. Fahmi Ambar, Isnet 2010). Dengan mengusung nilai-nilai dan ajaran islam PKS membentuk citranya sebagai partai yang bersih dan peduli.

Selain dukungan basis massa yang jelas, organisasi PKS dibangun secara profesional dan moderen. Kekuatan PKS, adalah pada soliditas yang kuat dan kohesi organisasi yang mengakar sampai ke daerah-daerah.   Kekuatan organisasi inilah yang menjadikan PKS, sebagai parpol baru, berhasil dalam pemilu 2004 dan melejit pada pemilu  2009. Karena, dalam politik, organisasi adalah alat atau organ yang strategis dan ampuh untuk mempengaruhi pemilih secara langsung. Atau dengan kata lain, organisasi yang solid dan kuat akan menyediakan energi bekerjanya mesin  parpol secara efektif. Tanpa adanya organisasi yang kuat, jelas sulit untuk berhasil dalam pemilu.

Salah satu ukuran kuatnya organisasi parpol, adalah mampu menyediakan saksi minimal 80% dari jumlah TPS. Bila jumlah TPS 500 ribu, maka paling tidak parpol harus mampu menyediakan saksi sebanyak 400 ribu kader yang tersebar di seantero pelosok Indonesia.

Apa kekuatan PD sehingga melejit dalam pemilu 2004, walaupun basis primordial massa pemilihmya tidak terlalu jelas? Kekuatan utamanya adalah terletak pada figur. Siapapun menyadari bahwa SBY adalah ibarat magnet yang mampu menarik massa berbondong-bondong  menyoblos PD.

Berpijak dari pengalaman pemilu 2004, pada pemilu 2009 kekuatan dan soliditas organisasi PD kemudian dibangun secara lebih seksama guna menopang  pesona SBY. Kombinasi inilah yang menjadikan PD berhasil meruntuhkan kemapanan parpol lama (GOLKAR dan PDIP).  

Pada pilpres 2009 yang memenangkan pasangan SBY-Boediono hanya dalam satu putaran, para analis berpendapat dikarenakan faktor figur dan kekuatan (gabungan) organisasi parpol yang mendukungnya, termasuk PKS, juga efektifnya kelompok-kelompok tim pemenangan SBY-Boediono, mulai dari penggalangan pemuda/mahasiswa, kelompok profesional, kaum perempuan, kelompok pengajian, keluarga birokrat/TNI-Polri, sampai dengan peranan intelejen (The Global Source for Summaries & Reviews, 2010).

Bagaimana dengan partai Gerindra? Selain efektifitas rekrutmen, partai Gerindra  dibangun berdasarkan suatu sistem (komando) yang jelas. Kedudukan dan peranan tokoh sentral, Prabowo Subianto, sebagai  mantan perwira tinggi TNI/Danjen Kopassus – dibantu oleh adiknya Hashim Djoyohadikusumo, seorang pengusaha sukses, secara langsung maupun tidak langsung, ikut memberikan warna terhadap corak kepemimpinan partai Gerindra. Yang kemudian membawa partai ini menang secara mengejutkan pada pemilu 2009, seperti ditulis dalam press release LP3ES, 9 April 2009.

Bila PKS langsung diperhitungkan karena meraih suara yang signifikan pada pemilu era reformasi, karena kekuatan organisasi dan militansi pengikutnyanya, PD sangat ditunjang oleh figur SBY, maka Gerindra  terutama ditopang oleh keberhasilan dalam strategi political marketing. Berdasarkan berita KOMPAS.COM, tanggal 7 Maret 2009, secara offisial dana kampanye Gerindra adalah yang paling besar dibandingkan dengan parpol peserta pemilu 2009 lainnya.  Keberhasilan dalam strategi political marketing diperkirakan akan menjadi modal yang signifikan untuk menjadikan Gerindra sebagai parpol papan atas pada pemilu 2014 mendatang.

* * *

Apa yang dapat dipetik dari analisis di atas? Untuk berhasil dalam pemilu idealnya parpol baru harus memiliki 3 unsur utama, yaitu: (1) Organisasi yang tertata baik sampai ke pelosok-pelosok – yang  mampu menyediakan  saksi minimal di 80%  TPS; (2) Figur yang dapat menjadi magnet pemilih; (3) Strategi political marketing yang tepat. Namun, bila parpol baru hanya memiliki  2  dari 3 unsur utama di atas, walaupun tidak ideal, tetapi sudah cukup, sebagai modal mendudukan kadernya di DPR sesuai dengan persyaratan ambang batas parlemen.

Apakah rekam jejak sesorang yang dipersepsikan negatif akan berpengaruh terhadap electability-nya? Rasanya tidak terlalu signifikan. Kesadaran atas rekam jejak seseorang tampaknya hanya sekedar konsumsi politik sejumlah elit.   Contohnya, ketika Ginanjar Kartasasmita yang pada pemilu 2004 dipersepsikan sebagai “politisi busuk”, justru dipilih dengan suara terbanyak dalam pemilihan DPD di Jawa Barat.  Prabowo Subianto dan Wiranto,  yang dipersepsikan bermasalah terkait dengan “penculikan aktivis” dan “pelanggaran ham”, partai yang masih baru yang dipimpimnya justru berhasil dalam pemilu legislatif 2004.

Oleh sebab itu, variabel rekam jejak seseorang dalam pemilu, tampaknya tidak akan terlalu besar pengaruhnya bagi pemilih.

* * *

Apa yang paling diperlukan agar parpol baru dapat memenuhi 2 dari 3 unsur utama seperti disebut di atas. Jawabannya adalah dana (uang). Sayangnya, tidak ada ukuran baku (secara realistis) jumlah dana yang diperlukan untuk membangun jaringan organisasi parpol baru dari Sabang hingga ke Merauke. Namun, berdasarkan rekaan (alm) Dr. Sjahrir – seorang ekonom handal dan Ketua Umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPBI) – paling sedikit Rp. 200 milyar (nilai rupiah pada tahun 2003). Sementara itu, AGB Nielsen Media Research misalnya melaporkan, dana untuk iklan politik saja yang dibelanjakan di media pada kuartal pertama 2009 (Januari – Maret) sudah mencapai Rp. 1,06 trilyun, naik 3 kali lipat dibanding dengan pemilu 2004. Berdasarkan laporan tersebut,  secara kasar dapat dikatakan bahwa hanya untuk iklan politik (di media TV/elektronik/cyber, cetak dan lain-lain) rata-rata dana yang dibelanjakan oleh parpol (besar) sekitar Rp. 150 milyar.

Selain masalah pendanaan, tantangan parpol baru lainnya adalah bila  usulan ambang batas parlemen pada pemilu legislatif 2014 disepakati naik menjadi 4% atau 5%, maka pasti akan menjadi beban yang berat.

Mengingat tantangan yang begitu besar, apakah parpol baru masih memiliki peluang untuk menang? Tentu saja masih. Karena menurut laporan LSI (2011) massa mengambang diperkirakan berjumlah 30,1%.  Bila jumlah penduduk yang memiliki hak pilih 170 juta, maka ada 51 juta pemilih yang potensial diperebutkan parpol baru. 

Mempertimbangkan tantangan yang dihadapi parpol baru yaitu, pendanaan dan persyaratan ambang batas parlemen, mungkin perlu dipertimbangkan untuk melakukan koalisi politik, dalam rangka membangun sinergi,  sejak awal (setelah lolos verifikasi dan sebelum pemilu).  Parpol baru yang berkoalisi tersebut, masing-masing harus memiliki “kelebihan” dalam arti basis sosial/pemilih,  figur yang “dijual” dan sumber daya melakukan political marketing. Penggabungan “kelebihan” itu kemudian harus diikuti dengan memperkokoh fondasi kerjasama kelembagaan dan sistem kerja mesin politik.  Antara lain, misalnya, mempersiapkan saksi-saksi yang terlatih untuk setiap TPS dan capres/cawapres pada pemilu mendatang.

Koalisi antara parpol yang memiliki “ideologi” dan platform  yang sama, kiranya perlu ditimbang-timbang. Misalnya antara Partai Nasdem (Nasional Demokrat) dengan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) dan Partai SRI (Serikat Rakyat Indonesia).

Ketiga parpol baru di atas, tampaknya (walaupun masih perlu dibuktikan), masing-masing memiliki “kekuatan” yang bila bersinergi akan lebih banyak memberikan manfaat – bukan hanya untuk parpol itu sendiri, tetapi rakyat pendukungnya secara keseluruhan.


*) Ketua Telaah Legislatif Indonesia (TELITI)

Rabu, 18 Mei 2011

PENGERTIAN WARALABA TIDAK PAS DALAM RUU PERDAGANGAN

                                                               
Rancangan Undang-Undang Perdagangan yang saat ini finalisasinya tengah digodok Pemerintah, pada pasal 5 disebutkan bahwa WARALABA adalah sistem perdedaran barang dan/atau jasa yang pemasarannya secara langsung atau tidak langsung dari produsen atau importir sampai konsume. Mendudukan WARALABA  dalam pengertian seperti dimaksud pada pasal 5 di atas, tidak terlalu tepat. WARALABA, berdasarkan UU no. 20 tahun 2008 tentang ”Usaha Mikro, Kecil dan Menengah” ditetapkan sebagai Pola Kemitraan (pasal 26 c dan pasal 29). Kemitraan antara  perusahaan besar dengan mikro, kecil dan menengah yang memiliki kemampuan. 

Kemitraan disini dimaksudkan, pemberi waralaba (perusahaan besar) memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba (perusahaan mikro, kecil dan menengah) secara berkesinambungan.  

Sedangkan PP no. 42 tahun 2007 tentang ”WARALABA” menyebutkan waralaba adalah hak khusus terhadap suatu sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan produk dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil. Intinya, PP no. 42 tahun 2007 mengartikan  waralaba sebagai Hak Khusus yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual sepeti dimaksud dalam kriteria waralaba (pasal 3 f).  

PP di atas pada dasarnya memperlakukan WARALABA sebagai suatu skim investasi (di sektor riil). Mirip dengan perusahaan yang menawarkan saham di bursa.  Namun, dalam waralaba, yang ditawarkan adalah portofolio waralaba ke publik, yaitu HKI (merek) dan Sistem Bisnis yang telah terbukti menguntungkan.  

Di samping itu, dicantumkannya kata ”importir” dalam pasal 5 RUU Perdagangan,  potensial membuka pasar domestiknya selebar-lebarnya  bagi waralaba asing (internasional).  

WALI tidak menolak masuknya waralaba asing ke pasar nasional, tetapi Pemerintah wajib secara sungguh-sungguh memfasilitasi waralaba Indonesia masuk pula ke pasar dunia.  Misalnya pada tingkat swasta, sejak tahun 2010, Perhimpunan WALI dan KADIN INDONESIA tengah berupaya mendorong waralaba Indonesia masuk ke pasar dunia dalam program ”Ekspor Waralaba Indonesia”.  

Berdasarkan uraian di atas, WALI menyarankan apabila masih memungkinkan pengertian waralaba yang terbatas sebagai penjualan langsung atau tidak langsung, dikoreksi. Termasuk penghapusan kata ”importir”.   


Jakarta, 15 Mei 2011

Senin, 25 April 2011

Amirkaramoy sent you a video: "ESQ 165 - Damai Bersama Mu"

YouTube help center | e-mail options | report spam
Amirkaramoy has shared a video with you on YouTube:
....Stop kekerasan apapun bentuknya. Ciptakan dialog untuk musyawarah. Lama memang, lelah memang. Tapi itulah pilihan terbaik. Pilihan budaya manusia beradab yang berahlak.....
Chrisye, Moga kini bahagia bersama - Nya , Amien
© 2011 YouTube, LLC
901 Cherry Ave, San Bruno, CA 94066

Selasa, 19 April 2011

KERJASAMA PENYELENGGARAAN ASURANSI ATAU JAMINAN PEMBIAYAAN CUCI DARAH (HEMODIALISIS)


Bersama ini disampaikan, bahwa YADUGI tengah menyelenggarkan program Jaminan Pembiayaan Cuci Darah  (JPCD). Tujuan utama program ini adalah untuk pencegahan (preventif) agar perserta JPCD tidak sampai terkena Gagal Ginjal Kronik tahap akhir yang harus melakukan cuci darah (hemodialisis).  Namun, apabila akhirnya harus melakukan cuci darah, maka biaya cuci darahnya akan ditanggung YADUGI, selama masa kepesertaan berlaku (iuran/premi hanya Rp. 600.000,- untuk selama 3 tahun).
Sehubungan dengan hal tersebut, YADUGI mengundang Bapak/Ibu/Saudara untuk memasukan/menyertakan program JPCD bagi peserta JPKM atau peserta PERUSAHAAN ASURANSI, baik asing maupun nasional.
Informasi lebih lanjut tentang JPCD dapat menghubungi email blog ini

Senin, 28 Maret 2011

CATATAN TENTANG KEPEMIPINAN ASOSIASI FRANCHISE INDONESIA (AFI)

Untuk diketahui, saya adalah salah satu Pendiri AFI yang ikut menanda tangani IKRAR KESEPAKATAN PEMBENTUKAN ASOSIASI FRANCHISE INDONESIA pada 23 Oktober 1991.  Melalui ikrar ini dibentuk Panitia Persiapan yang akan mengatur  persiapan pembentukan asosiasi dan kepengurusan asosiasi. 

Berdasarkan MUNAS Pertama tanggal 21 - 22 November 1991 (pada dokumen tertulis hasil MUSYAWARAH NASIONAL PERTAMA) yang diselenggarakan di Hotel Sahid Jaya - Jakarta, disahkan AD/ART AFI yang kemudian dilegalisasi oleh Notaris Lieke L. Tukgali, SH (perubahan pertama di sahkan dalam rapat khusus tanggal 21 November 1991, perubahan kedua disahkan melalui referendum anggota, tanggal 22 November 1991).   Hasil MUNAS juga menetapkan kepengurusan AFI tahun 1991 sampai dengan  1994 (masabakti kepengurusan AFI, sesuai dengan ART, adalah 3 tahun).

Pada pasal 12 ayat 4 ART AFI tertulis, bahwa: "Ketua dapat dipilih kembali, tetapi tidak boleh lebih dari 3 kali masa jabatan berturut-turut".  Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka jabatan Ketua AFI bila telah dijabat 3 kali berturut-turut, paling lama 9 tahun. Dengan demikian bila seseorang berturut-turut menjadi Ketua sejak tahun 1991, maka pada tahun 2000 harus mengundurkan diri dan tidak boleh dipilih kembali. Apabila tidak mengudurkan diri, maka orang tersebut jelas telah melakukan pelanggaran  ART. Bila "memalsukan" AD/ART, demi untuk kepentingan pribadi dalam rangka melanggengkan kedudukan sebagai Ketua, maka dapat dituntut secara hukum atas dugaan pemalsuan (KUHP pasal 263) dan perbuatan curang (KUHP pasal 378).

Pada pasal 12 ayat 6 ART tertulis: "Apabila masa jabatan Pengurus berakhir dan belum berhasil disusun  Pengurus yang baru, maka sejak tanggal berakhirnya masa jabatan tersebut Pengurus menjadi demisioner". Kemudian pada Pasal 12 ayat 7 C ART: "Pengurus yang demisioner tidak dapat mewakili AFI untuk bertindak keluar termasuk mewakili jabatan-jabatan baru organisasi-organisasi nasional/internasional". Berdasarkan ketentuan di atas, maka sejak tahun 2000, siapapun yang menjabat Ketua AFI untuk 3 kali masabakti berturut-turut,  secaca hukum telah dinyatakan demisioner dan tidak dapat lagi mewakili atau mengatas namakan AFI keluar.

Sebagai catatan akhir, setiap perubahan AD/ART harus dilakukan berdasarkan ketentuan pasal 18 ART, yaitu oleh Rapat Anggota Khusus yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga anggota dan seterusnya.   Perubahan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 18 ART, tidak sah dan batal demi hukum.

Dari uraian di atas, siapapun yang memimpin AFI bila tidak berdasarkan AD/ART AFI atau dengan sengaja merekayasa perubahan AD/ART yang tidak sesuai dengan ketentuan AD/ART itu sendiri, jelas telah melakukan perbuatan tercela dan, sekali lagi, dapat dituntut secara hukum.


Jakarta, Maret 2011



Minggu, 13 Maret 2011