Senin, 27 April 2009

LEGITIMASI DAN HATE SYMBOLS

Secara sosiologis-politis kokohnya legitimasi seseorang atau pemerintah diukur dari sejauhmana rakyat menerima kewenangan dan mentaati keputusan atau kebijakan yang diambil seorang pemimpin (atau pemerintah). Dalam pengertian yang sederhana,  legitimasi adalah pengakuan dan dukungan terhadap kewenangan, keputusan atau kebijakan seorang pemimpin (atau pemerintah). Berkurangnya atau bahkan hilangnya legitimasi (delegitimasi) dapat membuat seorang pemimpin (pemerintah) jatuh. Proses delegitimasi yang menjatuhkan seseorang atau pemerintah, menurut saya, tidak sedehana. Ada suatu proses sosial-politik yang berlangsung relatif panjang – tidak tiba-tiba.   Efektifitas hate symbols tergantung dari dua hal, yaitu konsulidasi dan sosialisasi. Konsulidasi artinya mereka yang memunculkan hate symbols berupaya secara terus menerus membina dan mengembangkan diri dengan mengajak pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik yang sama guna memperkokoh "organisasi" perlawanan, untuk melakukan proses delegitimasi.  Sosialisasi adalah upaya untuk menyebarkan hate symbols ke masayarakat luas agar menjadi simbol pembakangan atau perlawanan.  Kekuatan hate symbols tidak diukur dari berapa banyak pihak yang sejalan atau mendukung simbol tersebut, tetapi lebih kepada aspek kualitas simbol  yang dipersepsikan oleh publik.

Misalnya, proses yang medelegitimasi Bung Karno – walaupun Bung Karno dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup –  saya kira didorong oleh dua isyu utama yang kemudian menjelma menjadi hate symbols yang terkonsulidasi dan tersosialisasi, yaitu: (1) Sistem pemerintahan yang otoriter (2) Keadaan ekonomi yang sangat buruk.   Apa permasamaan dan perbedaan hate symbols yang mendelegitimasi Bung Karno dan Pak Harto? Persamaanya adalah (1) Sistem pemerintahan yang otoriter, sedangkan perbedaanya, bukan soal ekonomi tetapi (2) merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Seperti ditulis di atas, "kualitas" hate symbols jauh lebih efektif  daripada kuantitas pihak yang mendukung. Misalnya, sebagai contohnya saja, bila dihitung secara kuantitatif sama sekali tidak masuk akal Presiden Soekarno dan Presiden Suharto bisa terpental dari kekuasaanya pada tahun 1966 dan 1998. Karena, pihak yang menentang Bung Karno, ketika itu,  hanya sebagian kecil mahasiswa/pelajar (KAMI & KAPPI/KAPI) yang didukung RPKAD (sekarang KOPASUS) dan pasukan Kujang dari batalyon Siliwangi.  Sebagian terbesar mahasiswa di kampus masih didominasi oleh GMNI (dari kelompok "ASU") dan elemen-elemen lainnya yang mendukung Bung Karno. Angkatan Darat secara formal masih menyatakan dukungannya kepada Bung Karno, demikian pula Angkatan Laut, Udara dan Kepolisian.  Walaupun secara kuantitas pihak yang ingin mempertahankan Bung Karno jauh lebih besar daripada yang menghendaki "turun", namun kualitas hate symbols faktanya berhasil menjatuhkannya. 

Demikian pula Pak Harto. Walaupun secara kuantitatif pihak yang mendukungnya masih jauh lebih banyak daripada yang menghendakinya lengser, akan tetapi berkat kualitas hate symbols yang mendorong gerakan mahasiswa, dikawal oleh liputan media massa (terutama media internasional), kharisma Pak Harto memudar yang berakhir dengan kejatuhannya.  Padahal  kita mengetahui bahwa, ABRI masih memberikan dukungan kepada Pak Harto ketika itu.  Hanya marinir yang tampaknya cenderung bersimpati kepada gerakan mahasiswa.

Apakah kekisruhan daftar pemilih tetap (DPT) pasca pemilu legislatif dan buruknya kinerja KPU dapat menjadi hate symbols yang memicu  delegitimasi kepemimpinan SBY dan kemenangan partai Demokrat?  Uraian berikut ini, secara spekulatif, mencoba membahasnya.

Seperti ditulis dimuka, proses delegitimasi lebih ditentukan oleh kualitas hate symbols bukan kuantitas pengakuan.  Artinya, bila kekisruhan DPT akibat kinerja KPU yang sangat buruk dibiarkan terus berkembang, walaupun SBY dan partai demokrat memenangkan pemilu (kuantitas dukungan jauh lebih besar), maka secara teoritis empiris dalam jangka waktu tertentu akan mendorong percepatan proses delegitimasi.  Fakta "kecurangan" yang terus dihembuskan, tanpa penyelesian hukum tentang kecurangan dalam pemilu yang dikatakan telah mengorbankan demokrasi dan mengebiri hak konstitusi rakyat dapat menjelma menjadi hate symbols.  Bila hal ini dibiarkan, maka dapat menjadi bola salju yang potensial medelegitimasi SBY dan partai demokrat.  Oleh sebab itu, kekisruhan DPT dan buruknya kinerja KPU tidak boleh anggap sebagai suatu hal yang "wajar" dalam penyelenggaraan pemilu nomor 3 terbesar di dunia –  tetapi harus diselesaikan secara hukum dan sesegera mungkin sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Pemerintah (SBY) harus pro aktif dan mengawal penyelesaian hukum secara tuntas dan tanpa pandang bulu dan menunjukan kepada rakyat bahwa pemerintah tidak berpihak.  

Namun demikian, suatu hal yang selalu harus disadari, walaupun telah diselesaikan secara hukum seperti disarankan di atas, tidak berarti suara-suara ketidak puasan terhadap pemilu legislatif berakhir. Tuduhan kecurangan dan pemerintah SBY (& JK) harus bertanggung jawab atas tudahan tersebut menjelang pilpres akan terus dipakai sebagai alat untuk memperkuat kualitas hate symbols.  Setiap kubu capres/cawapres yang berkompetisi akan terus mencari kelemahan lawannya masing-masing.  Suatu hal yang wajar dalam setiap pemilu dimana saja.  Namun, bila SBY dan partai demokrat bersama dengan partai-partai yang berkoalisi dengannya dapat menekan kualitas hate symbols atau bahkan menghilangkannya sama sekali maka akan memberikan akses lebih besar untuk merebut kembali kursi sebagai orang nomor 1  negara ini.

Bila kompetitor partai demokrat dan koaliasinya yang tidak mengusung SBY sebagai capres memanfaatkan hate symbols dan berhasil melakukan sosislisasi secara intens, bukan tidak mungkin  dapat memenangkan pilpres.  Karena isyu yang tampaknya akan digunakan, adalah memberikan kesan kepada rakyat, bahwa kekalahan parpol-parpol dalam pemilihan umum legislatif adalah akibat "kecurangan" SBY. Dengan kata lain, parpol-parpol yang tidak mencalonkan SBY sebagai capres kemungkinan besar akan memanfaatkan  strategi "teraniaya".

Saya menduga, pada pilpres Juli mendatang akan terjadi persaingan ketat dalam strategi periklanan dan promosi yang dilakukan oleh parpol-parpol yang mendukung capresnya.  SBY telah memiliki modal kuat, yaitu popularitasnya. Sedangkan kompetitornya akan berupaya  agar popularitas SBY menurun drastis. Siapa yang berhasil? Kita tunggu saja.

Jakarta, 28 April 2009

 

Amir Karamoy, Ketua TELITI (Telaah legislatif Indonesia)

 

 

 

 

 

Minggu, 22 Maret 2009

WARALABA PENGHADANG PHK

Oleh Amir Karamoy

Ketua KomiteTetap Waralaba dan Lisensi - KADIN

 

Waralaba (franchise), seperti dimaksud oleh PP no.  42 tahun 2007 adalah, "hak khusus yang dimiliki orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba".

Berdasarkan pengertian di atas, maka waralaba adalah (1) Sistem bisnis (dalam rangka pemasaran) yang telah terbukti berhasil. (2) Dapat dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Artinya,  waralaba pada dasarnya adalah penggunaan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil oleh pihak lain. Pemilik sistem bisnis (yang telah terbukti berhasil) disebut pewaralaba (franchisor), sedang pihak lain yang menggunakan sistem bisnis tersebut disebut terwaralaba (franchisee).

 

Sebagian terbesar  terwaralaba adalah pengusaha kecil (lokal/nasional) dan pewaralaba adalah perusahaan menengah besar.  Waralaba, seperti dua sisi koin.  Satu sisi menciptakan kesempatan berusaha, sisi lainnya, menciptakan kesempatan kerja. Berdasarkan data tahun 2008 (Sumber: IFBM), ada 518 perusahan pewaralaba (berperan menciptakan kesempatan berusaha) yang sepanjang tahun 2008 membentuk sebanyak 41.381 gerai terwaralaba (yang berperan menciptakan kesempatan kerja) dengan mempekerjakan 890.128 tenaga kerja. Perputaran penjualan waralaba, pada tahun 2008 mencapai Rp. 4,4 trilyun per bulan.

 

Waralaba asing  lebih tertarik membangun gerai usaha sendiri (company owned outlets) daripada membangun gerai waralaba (franchised outlets).  Apa perbedaan membangun gerai usaha sendiri dengan waralaba? Gerai usaha sendiri adalah cabang perusahaan yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola perusahaan induk, sedangkan gerai waralaba dimiliki pihak lain. Untuk mengontraskan perbedaan tadi dapat dikatakan, bahwa  gerai usaha sendiri dimiliki oleh hanya satu perusahaan, gerai waralaba dimiliki oleh publik (banyak orang).

 

Dalam konteks mendirikan gerai waralaba, cara ini acapkali pula dikategorikan sebagai suatu skim alternatif investasi aktif.  Mengaapa aktif?,  Karena pihak investor (terwaralaba) berupaya (dengan supervisi dan bimbingan pewaralaba) menjalankan usahanya agar investasinya itu cepat kembali dan berkembang  secara menguntungkan. Berbeda bila berinvestasi di pasar modal misalnya. Kebanyakan investor pasif dan menyerahkan kepada fund-manager atau pialang.  Secara empiris, dari beberapa simulasi keuangan yang pernah dibuat, return waralaba rata-rata lebih stabil dan oleh karena itu bila dihitung dalam jangka menengah dan panjang, lebih tinggi dari pada bermain di pasar modal.  Investasi waralaba sama sekali tidak terpangaruh oleh isyu-isyu ekonomi atau politik dan relatif stabil menghadapi turun naiknya nilai tukar uang. Di samping, tidak terpengaruh oleh turun-naiknya nilai saham di pasar regional.

 

Dari beberapa studi yang pernah dibuat di AS pula , terungkap bahwa tingkat keberhasilan usaha waralaba rata-rata mencapai 92%, sedang usaha non-waralaba hanya 38%.  Bagaimana di Indonesia? Tingkat keberhasilannya tidak setinggi di AS, diperkirakan hanya mencapai 55%. Mengapa ini terjadi? Tulisan berikut ini akan membahasnya, dikaitkan dengan upaya menghadang gelombang PHK pada tahun 2009, sebagai dampak dari krisis keuangan dunia.

 

* * *

 

Sejumlah sumber menyebutkan telah mulai terjadi gelombang PHK pada awal tahun 2009 ini di Indonesia. JAMSOSTEK misalnya, memperkirakan sekitar 500.000 pekerja di PHK akibat dampak resesi ekonomi dunia pada tahun 2009 ini.. Pihak lainnya, memperkirakan PHK akan menyebabkan 1 sampai dengan 1,5 juta pekerja menganggur. Penurunan pertumbuhan ekonomi nasional sebanyak 1% akan menghasilkan pengangguran sebanyak 250 sampai dengan 300 ribu pekerja.

 

Antispasi terjadinya gelombang PHK akibat dampak krisis finansial dunia,  maka perlu didorong sektor-sektor usaha yang lebih berorientasi kepada penggunaan produksi dalam negeri, padat karya sekaligus masih mampu bertumbuh dalam situasi resesi ekonomi. Waralaba, karena terkait dengan kebutuhan primer manusia, seperti ritel, makanan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya, diyakini tidak akan terlalu berpengaruh walaupun pertumbuhan ekonomi melambat.  Sektor ritel misalnya, yang porsinya terbanyak dalam waralaba, adalah sektor nomor dua terbesar setelah pertanian yang menampung tenaga kerja di Indonesia. Di samping itu, waralaba adalah sektor usaha yang mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri, berdasarkan perintah PP no. 42 tahun 2007 dan Permedag no. 31 tahun 2008.

 

Berdasarkan uraian di atas,  tidak pelak lagi pemerintah perlu lebih lagi mendorong waralaba sebagai salah satu sektor usaha yang diharapkan dapat mengurangi pengangguran akibat PHK. Karena, seperti telah disinggung tadi, waralaba pada hakekatnya memiliki dua sisi koin. Menciptakan dan mendorong kesempatan berusaha, dalam rangka menumbuhkan kewirausahaan di kalangan masyarakat, sekaligus juga menciptakan lapangan kerja.  Cara-cara yang pernah dilakukan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), PT. PPA (Perusahaan Pengelola Aset) dan Merpati Nusantara Airlines, ketika akan membubarkan diri atau melangsingkan perusahaanya, memberikan alternatif  kepada para pekerjanya agar memanfaatkan uang PHK (uang pesangon) ditanamkan pada usaha waralaba. Beberapa karyawan yang terkena PKH atau memilih pensiun dini,  kemudian bergabung berinvestasi dalam usaha waralaba dan sukses.

 

Supaya investasinya tidak sia-sia, sebagai kebijakan dalam rangka lebih melindungi investor atau (calon) terwaralaba, disarankan agar aturan tentang waralaba lebih diperketat. Khususnya aturan profesionalitas  pewaralaba dan transparansi penawaran waralaba (franchise offering), lewat dikeluarkannya aturan baru atau revisi permendag no. 31/2008. Misalnya, setiap pewaralaba, ketika menawarkan waralabanya, diwajibkan untuk membuka (disclose) laporan keuangan yang telah diaudit (Permendag no. 31/2008 tidak mewajibkan audit). Atau, setiap pengeluaran  surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) oleh Departemen Perdagangan (atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah), harus berdasarkan rekomendasi badan independen, dimana badan ini bertugas melakukan penilaian tingkat kesehatan usaha pewaralaba. Mengapa ini diperlukan? Karena, hanya dengan cara ini dapat ditumbuhkan  pewaralaba yang profesional dan bonafid. Melalui cara ini pula diharapkan tingkat keberhasilan usaha terwaralaba akan semakin tinggi, tidak hanya 55% seperti disebut di atas, tetapi dapat mencapai 90%,  karena di supervisi dan dibimbing oleh perwaralaba yang telah menguntungkan (profitable), teruji (proven) dan mantab (established).  Bisakah ini terjadi? Sangat mungkin, karena dalam seluruh perjalanan bisnis terwaralaba akan selalu didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba.  Walaupun, dalam operasionalisasi usaha sehari-hari, terwaralaba bebas menjalankannya. Artinya, kunci keberhasilan waralaba terletak pada profesionalitas dan bonafiditas pewaralaba. Oleh sebab itu, strategi yang harus dipilih terlebih dahulu adalah memilih perusahaan pewaralaba yang sehat dan mantap (established), terlepas  skalanya menengah atau besar. Di samping itu secara hukum, hal ini  sesuai dengan ketentuan UU no. 20 tahun 2008 tentang "Usaha Mikro, Kecil dan Menengah".  Yang menyebutkan bahwa waralaba adalah suatu kemitraan usaha yang dilaksanakan atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan.

 

Selain itu, otoritas perbankan perlu segera mengusahakan kredit bersubsidi bagi usaha kecil, khususnya untuk terwaralaba.  Belajar dari AS misalnya, Presiden Obama telah mengeluarkan suatu kebijakan khusus  untuk mendorong berkembangnya waralaba sebagai bagian dari recovery package di AS. Badan yang membiayai usaha kecil menengah (termasuk waralaba), Small Business Administratiom (SBA) diperintahkan untuk meningkatkan jaminan kredit SBA dan memperkcil fees (increasing the SBA loan guarantees, lowering fees). Lebih didorongnya waralaba adalah untuk lebih banyak menyediakan lapangan kerja, akibat gelombang PHK yang terjadi di AS, sekaligus menumbuhkan entrepreneur di kalangan usaha kecil. 

 

Pengucuran kredit bersubsidi untuk terwaralaba, resikonya jauh lebih rendah dibandingkan dengan usaha independen.  Terlebih apabila adanya ketentuan yang mewajibkan pewaralaba dalam mendapatkan STPW harus memiliki rekomendasi terlebih dahulu dari badan independen seperti diusulkan di atas.  Dengan demikian, pihak bank tidak perlu ragu untuk mengucurkan kreditnya, karena terwaralaba, walaupun masuk dalam kategori "usaha kecil"  operasionalisasi bisnisnya menggunakan manajemen  "usaha menengah besar".  Perjalanan bisnis terwaralaba yang terus didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba memberikan  nilai tambah lebih yang berujung kepada tingkat resiko kredit relatif lebih rendah daripada usaha non-waralaba.

 

Seperti kata pepatah "banyak jalan menuju Roma" – "banyak cara menanggulangi pengangguran akibat PHK".  Keputusan untuk memilih jalan terdekat ke Roma atau cara tersingkat untuk mengatasi pengangguran, harus segera dibuat.

 

Jakarta, 23 Maret 2009


Minggu, 15 Februari 2009

MASALAH PEMBERANTASAN KORUPSI oleh Amir Karamoy

Terjadinya tindak korupsi, selain perilaku – akibat sudah lama tertaman, bahwa seolah-olah balas jasa berupa pemberian hadiah, pemberian ucapan terima kasih dalam bentuk material (uang & benda berharga), simbol bentuk/tanda kesetiaan pada pejabat atau atasan, upeti dan sebagainya    sebagai suatu yang wajib dan wajar.  Hal lainnya, seperti acapkali dikatakan banyak pihak, adalah adanya niat dan tersedianya kesempatan. 

 

Namun demikian, bila kita perhatikan kasus-kasus korupsi belakangan ini – menurut saya – cenderung karena "keserakahan untuk memperkaya diri dan/atau kelompok dengan memanfaatkan kekuasaan/wewenang (power/authority) yang dimilikinya". Kategori korupsi semacam ini terjadi bukan karena adanya niat semata, tetapi atas niat tersebut  diciptakan peluang untuk melakukan korupsi melalui rekayasa kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya. 

 

Dalam bentuk formula korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut:


(K)orupsi  = (S)erakah + (K)ekuasan

atau

K = S + K


Pendapat yang mengatakan power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely" benar!  Karena keserakahan individual maupun kelompok cenderung timbul akibat adanya power (terlebih yang absolute).   Oleh sebab itu power harus dikontrol baik oleh sistem hukum (sanksi/ancaman hukuman badan), politik (check and balances), sosial/budaya (social control dalam bentuk social participation & social punishment).   Jadi, kata kuncinya disini adalah adanya sanksi dan control.

 

Berangkat dari premises di atas, maka paradigma pemberantasan korupsi, harus didekati (approached) melalui strategi menumbuhkan keadaan dan kondisi dimana orang yang memiliki kekuasaan tidak menjadi serakah (greedy). Karena kekuasaan dan harta (uang) seperti candu, yang dapat membuat adict.  Seseorang yang berkuasa dan sudah kaya cenderung akan menambah kekayaannya, demikian seterusnya.  Oleh sebab itu, saya menolak pendapat yang mengatakan bahwa penghasilan yang tinggi/besar sebagai jalan keluar meniadakan korupsi.   Saya berpendapat, hal yang lebih strategis dalam pencegahan korupsi, adalah tidak memberikan peluang tumbuhnya keserakahan (greediness), melalui pembentukan system control yang built-in dalam aplikasi kekuasaan/kewenangan, dengan membuat pedoman operasional dan  standar-standar baku, serta sanksi (dan reward) – sejalan dengan memenuhi kebutuhan setiap keluarga secara moderat dan sesuai dengan jenjang pangkatnya (pegawai negeri, militer/polisi) terhadap pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan.

 

*  *  *

 

Sesuai premises di atas, penyebab atau potensi terjadinya korupsi seberapapun besar atau kecil nilainya,   adalah: (1) Tidak ditaatinya sistem  dan prosedur administrasi/keuangan yang telah dibakukan. (2) Lemahnya fondasi sistem dan  prosedur tersebut (tidak appropriate  dan applicable), karena dalam pembuatannya tidak dilakukan secara konsepsional, terencana dan berdasarkan data yang akurat dan relevan.  (3) Control yang kurang atas ketaatan dari setiap actor yang menjalankan prosedur. (4)  Sanksi hukum yang diberlakukan cenderung kearah physical punishment bukan upaya mencegah (preventive) dan mendidik dalam rangka merubah prilaku (behavior) dan tatanan berfikir (mindset).

 

Sebagai Konsultan Waralaba (franchise) yang telah ikut membantu dan mengembangkan banyak perusahaan besar, menengah dan kecil dalam membuat Pedoman/Manual Operasional berupa SOP (Standard Operating Procedure), Sistem Pelatihan dan Sistem Audit (pelayanan, managemen dan keuangan) yang appropriate dan applicable, sebagai persyaratan dasar dan utama suatu perusahaan menjalankan waralaba yang baik dan profesional, menunjukan indikasi kuat, bahwa suatu sistem atau prosedur ditaati dan dijalanlan dengan benar, karena dilakukannya secara berkesinambungan sistem pelatihan (dalam rangka transfer of knowledge and skill serta yang tidak kurang penting transfer of values/norms)  dan audit (management and financial control dan monitoring) secara berkala maupun "sidak" sebagai upaya terus menerus untuk menumbuhkan sense of ownership dan membagun common goals, dari setiap orang  yang bekerja di korporat tersebut. Pelaksanaan pelatihan itu, tidak terbatas untuk "bawahan" saja, tetapi semua eselon/level manajeman, tanpa pandang bulu yang dilakukan secara berjenjang dan berkala.

 

Khusus tentang sanksi,  perlu dijelaskan bahwa dari pengalaman kami, bentuk sanksi yang dipraktekan sebaiknya lebih mengarah kepada upaya "mengoreksi dalam rangka mendidik" – berdasarkan anggapan bahwa "manusia pada dasarnya baik".  Namun,  apabila setelah melalui beberapa tahap,  sanksi-sanksi yang bersifat "megoreksi dan mendidik" itu tetap tidak ditaati, baru diberikan sanksi yang keras.. Hal-hal di atas bila dikerjakan secara konsepsional, terencana serta melalui suatu prosedur yang baku dan berkesinambungan, akan mampu mencegah  tindak korupsi dan penyalah gunaan kewenangan hingga pada titik terendah.

 

Di samping aspek-aspek di atas, ingin saya tekankan pula disini, bahwa faktor kepemimpinan (leadership) memegang peranan sentral. Komitmen untuk menjalankan sistem dan prosedur yang baik dan benar, harus ditaati dan dilakukan semua pihak – tanpa kecuali.

 

*  *  *

 

Pendekatan di atas berangkat dari suatu teori "hubungan timbal balik antara sistem (& struktur/prosedur) dengan pelaku (actor)".  Ada pihak yang mengatakan karena pelaku membuat sistem, maka ia potensial pula melanggar sistem yang dibuatnya itu.  Ada juga yang mengatakan sistem (yang solid) dapat membentuk (merubah) prilaku actor.  Saya lebih mempercayai pendapat kedua, bahwa sistem dapat mengatur prilaku (dalam jangka menengah/panjang). Artinya, perilaku yang baik akan terbentuk karena hadirnya suatu sistem atau prosedur yang baik dan telah mapan (established). Syaratnya, sistem tersebut harus dilembagakan (institutionalized) –  sehingga menjadi suatu nilai/norma yang terwujud sebagai bagian budaya (sub-culture) setiap actors.

 

Dari uraian di atas maka, upaya pemberantasan tindak korupsi dapat diliat pada formula berikut ini:


UPK = S/P + P  +  A + K  


 

- UPK (Upaya pemberantas Korupsi)

- S/P (Sistem/Struktur//Prosedur) yang baik dan sesuai

- P (Pelatihan yang berjenjang dan bekersinambungan)

- A (Audit Berkala/mendadak

- K (Komitmen) dari pimpinan

 

 

Apabila sistem dan prosedur yang dipraktekan di korporat, dipraktekan di jajaran aparat / birokrasi Pemerintahan, maka saya percaya, dapat mencegah terjadinya tindak korupsi., sejauh memenuhi formula UPK = S/P + P + A + K dan dijalankan secara benar dan konsekwen.

 

*  *  *

 

Saya menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang baru dalam tulisan  ini. Lembaga KPK, walaupun relatif masih muda usia, telah banyak melakukan kajian, pelatihan, seminar/workshop dan sebagainya, tentang konsep, cara-cara ataupun pencarian metode/sistem  untuk memberantas korupsi secara efisien dan efektif –  baik secara preventif maupun represif. Kita semua berharap, dalam KPK jangan tumbuh dan berkembang "rutinitas" yang mereduksi kreatifitas dan inovasi. KPK perlu terus mengkaji metode dan tindakan pemberantasan korupsi sekalipun tidak konvensional. Motto: "The power of planning and the creativity of execution" harus dikerjakan.

 

Semoga  hal-hal yang ditulis di atas,  dapat menjadi masukan.

 

 

Jakarta, 14 Februari 2009



Senin, 12 Januari 2009

DPR: MUKA BARU, USIA MUDA DAN BERPENDIDIKAN TINGGI oleh AMIR KARAMOY (Ketua TELITI - Telaah Legislatif Indonesia)


Ketika nama dan identitas anggota DPR masabakti 2004 – 2009 diumumkan, tumbuh bekembang ekspektasi yang tinggi dari publik.  Mengapa tidak? Karena sebagian besar (72.3%) anggota DPR  tersebut adalah muka baru, bukan anggota DPR dari periode sebelumnya (1999 – 2004) yang terpilih kembali.   Dengan hadirnya muka baru, publik berharap akan mengalir darah baru di DPR yang mampu membawa perubahan.  Kebiasaan yang sudah "membudaya" seperti KKN akan terkikis dan wajah baru ini tidak akan mengulangi kesalahan anggota DPR periode sebelumnya    bukankah seperti kata orang bijak "jangan seperti keledai berulang melakukan kesalahan yang sama".

 

Setengah (49%) dari anggota DPR periode sekarang ini berusia antara 25 – 49 tahun, rata-rata lebih muda usianya dibandingkan dengan DPR 1999 – 2004 (38.9%).   Lebih banyaknya mereka yang berusia muda, diharapkan akan membawa lembaga legislatif ini lebih reformis dan melakukan perubahan agar citra DPR menjadi positif serta kinerjanya meningkat dan secara sungguh-sungguh memperjuangkan amanat penderitaan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompok.

 

Dilihat dari tingkat pendidikan formal (pasca sarjana) anggota DPR 2004 – 2009,  lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu 33,6% berbanding  dengan rata-rata anggota DPR periode 1999 – 2004 yang hanya 18,6%.  Pendidikan formal yang lebih tinggi, tentu saja diharapkan akan menghasilkan produk-produk legislasi yang berkualitas dan mampu mengayomi kepentingan masyarakat Indonesia yang plural.  Pendeknya, wajah DPR 2004 – 2009 yang kebanyakan muka baru, berusia muda dan bependidikan tinggi telah menumbuh kembangkan harapan yang tinggi dari publik.  Terpenuhikah harapan publik tersebut? Mari kita telusuri.

 

Berawal dari perseteruan  antara yang menamakan "koalisi kebangsaan" versus "koalisi kerakyatan"  mulai menanam benih menurunnya citra DPR.  Karena, bagi rakyat, perseturan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat secara riil dan sama sekali tidak ada hubungan dengan amanat penderitaan rakyat.  Pertikaian ini lebih mempertontonkan "ego politik" dari kedua koalisi.  Kemudian protes keras dari fraksi PDIP yang nyaris berujung adu jotos pada sidang paripurna DPR yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR ketika membahas  kenaikan harga BBM, masih segar dalam ingatan banyak orang. Kejadiaan yang terjadi pada pertengahan Maret 2005 ini disiarkan secara luas oleh televisi,  menjadi anekdot di media massa bahwa ruangan DPR nyaris menjadi "arena tinju".

 

Ketika rapat konsultasi DPR tanggal 15 Juli 2005 menyetujui usulan BURT untuk menaikan take home pay pimpinan DPR dari Rp. 40,1 juta menjadi Rp. 82,1 juta dan anggota DPR dari Rp. 28,37 juta menjadi Rp. 51,87 juta per bulan, menuai kritik keras dari masyarakat.  Kemudian, pada awal tahun 2008, publik dikejutkan lagi dengan keputusan DPR yang memberikan  uang insentif legislasi 2007 secara rata-rata bervariasi, sekitar Rp. 39 juta per orang. Padahal sebelumnya telah mendapat Rp. 5 juta untuk setiap RUU.  Demikian pula kritik bertubi-tubi yang dilontarkan publik terkait dengan kegiatan "studi banding" ke luar negeri yang acap kali dilakukan.  Studi banding atau apapun istilah itu, dimata publik hanya  menghambur-hamburkan uang rakyat dan lebih merupakan proyek jalan-jalan anggota DPR (dan keluarganya) ke luar negeri.

 

Ketika terbukanya kasus-kasus skandal sex yang sangat memalukan (kasus YZ dan MM). yang kemudian diikuti terkuaknya kasus korupsi aliran dana BI, alih hutan dan sebagainya oleh KPK, berdampak langsung terhadap citra institusi DPR secara negatif.   Tentang kasus korupsi ini, patut dicatat, bahwa dari 8 anggota yang terlibat korupsi tujuh dari periode 2004 – 2009 dan hanya satu  anggota 1999 – 2004.  Namun, perlu ditatat pula bahwa, jumlah kasus korupsi di atas belum termasuk 52 orang yang disebut Hamka Yandhu dan mereka yang diduga terkait dengan kasus hukum Rokhmin Dahuri.

 

Ditinjau dari target penyelesaian RUU dalam program legislasi DPR 2004 – 2009 dalam 4 tahun terakhir tercatat sebagai berikut. Pada tahun 2005 dari 55 prioritas RUU hanya 14 menjadi UU (target terpenuhi sebesar 25.45%). Tahun 2006, dari 43 prioritas RUU, sebanyak 39 dapat diselesaikan (target terpenuhi sebesar 90,69%). Tahun 2007, DPR melampaui target, dari 32 RUU yang  berhasil diselesaikan 49 RUU, namun 6 diantaranya adalah tentang pemekaran wilayah.  Pada tahun 2008, DPR berhasil "mengejar ketertinggalannya" dalam program legislasi ini. Dari 31 target RUU, 64 dapat diselesaikan.  Namun demikian, keberhasilan secara kuantitatif ini, belum diikuti dengan kualitas yang baik.  Contohnya, antara lain, UU Pornografi dan UU Pilpres 2009 yang diajukan untuk uji materi hukum ke Makahmah Konstitusi (MK).  Tercatat sebanyak 154 UU yang dibuat sejak tahun 2003 telah diajukan ke MK.   Hal lainnya yang perlu dicatat, adalah kekuatiran bahwa, DPR 2004 – 2009 tidak akan mampu menyelesaikan undang-undang khusus mengenai pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR).  Padahal UU ini sangat strategis dan penting untuk pemberantasan korupsi di Indonesia .

 

Menjelang masa akhir masa bakti DPR 2004 – 2009, hal yang mendapat soroton publik adalah mengenai tingkat kehadiran. Jumlah anggota yang mangkir dari sidang dengan berbagai alasan maupun yang tidak memberikan alasan, cukup tinggi.   Contohnya, pembahasan RUU tentang Komisi Yudisial, rapatnya berkali-kali ditunda karena tidak mencapai kuorum.   Rendahnya kehadiran anggota DPR karena sibuk berkampanye menjelang pemilihan legislatif April 2009.  Terutama setelah Komisi Konstitusi memutuskan penetapan anggota DPR bukan berdasarkan nomor urut tetapi suara terbanyak.  Para anggota DPR 2004 – 2009 yang mencalonkan kembali yang menduduki nomor urut "jadi" sekarang sibuk berkampanye di daerah pemilihannya.

 

Bila menelusuri uraian di atas, maka kita pasti akan mengatakan bahwa citra DPR buruk, walapun keberhasilan secara kuantitatif mengejar penyelesaian RUU, patut dihargai.  Seberapa burukkah persepsi publik terhadap DPR 2004 – 2009 akhir-akhir ini? Bila menggunakan hasil jajak pendapat KOMPAS (5 Januari 2009) terungkap hanya sekitar 25% responden mengatakan kiprah DPR 2004 – 2009 "sudah memenuhi harapan".  Namun,  sebesar 68,6% mengatakan "jauh memenuhi harapan".   Berdasarkan data di atas, sulit dipungkiri bahwa citra DPR 2004 – 2009 di mata publik memang buruk. Akan tetapi, ini tidak berarti semua anggota DPR yang berjumlah 550 orang tersebut buruk.   Persepsi buruk ini timbul akibat "nila setitik, rusak susu sebelanga". Artinya, perbuatan perorangan ataupun sekelompok anggota DPR yang tidak terpuji berdampak langsung merusak citra institusi.

 

Apa kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas? Bahwa wajah baru, usia muda dan tingkat pendidikan yang tinggi, tidak berkorelasi dengan pembentukan citra yang positif.  Dengan kata lain,  variable wajah baru, usia muda dan pendidikan tinggi masih dipertanyakan relevansinya untuk digunakan sebagai persyaratan pencalonan seseorang dalam politik. Hal yang lebih penting sebagai persyaratan adalah kesiapan individu secara intelektual dan emosional (maupun moral), seperti kecerdasan dan keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi (dalam rangka menyerap aspirasi rakyat),  disiplin diri, rendah hati, melayani bukan minta dilayani dan tidak minta diperlakukan sebagai VVIP, jujur – guna mengemban tugas sebagai pejabat publik. Tentu saja termasuk pula kesiapan profesional institusi politik yang mengusungnya.

 

Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menjadi pelajaran bagi calon anggota DPR 2009 – 2014 dan partai politik yang mencalonkannya.  Sebagai penutup mungkin perlu kata bijak diulangi lagi disini, yaitu "jangan menjadi keledai" tapi ingat bahwa  "pengalaman adalah guru yang baik".

 


Jakarta ,  9 Januari 2009




 

 


Rabu, 24 Desember 2008

BISNIS FRANCHISE (WARALABA) MEMASUKI TAHUN 2009

Berikut ini adalah wawancara dengan majalah WARALABA (FRANCHISE).  Karena majalah tersebut tidak memuat semua hasil wawancara, berikut ini kami terbitkan hasil interview yang lengkap


1.     Menurut Anda, tahun 2009 masih kondusif bagi bisnis franchise? Mengapa?

 

Saya kira ada masalah bagi pertumbuhan (khususnya waralaba lokal) pada tahun 2009 mendatang. Masalah yang dihadapi, adalah karena diberlakukannya  PP no.42/2007 dan Permendang no. 31/2008. Seperti diketahui kedua regulasi tadi mengatur usaha waralaba agak lebih ketat dibandingkan dengan aturan sebelumnya. Akibatnya, akan banyak usaha waralaba mengalihkan ke sistem lisensi merek (brand licensing), khususnya dari pewaralaba kategori UKM.  Tapi ini dapat terjadi apabila Pemerintah secara konsekwen menjalankan/menerapkan (to enforce) regulasi yang baru tadi. 

 

Terus terang masih tanda tanya, apakah Pemerintah (Departemen Perdagangan dan Pemda)  cukup memiliki  sumber daya untuk meng"enforce" aturan yang baru tersebut. Pengalaman menunjukan PP no. 16/1997 kurang diterapkan secara lugas dan konsekwen  oleh pemerintah.  Akibatnya PP yang lama itu (no. 16/1977) mandul dan impoten. Padahal substansinya cukup baik, tidak kalah dengan regulasi yang baru (PP no. 42/2007).

 

Sedangkan persoalan yang dihadapi waralaba dengan merek asing, adalah dampak dari krisis keuangan global, terutama  bila nilai rupiah terdepresiasi terus menerus  atas mata uang asing (khususnya dolar AS). Apresiasi mata uang asing atas rupiah yang terus meningkat dapat menghambat usaha waralaba asing bahkan dapat membangkrutkan.

 

Kesimpulannya:  Pertumbuhan waralaba lokal dan asing pada tahun 2009 akan sedikit terhambat atas sebab yang berbeda. Bagi waralaba lokal,  hadirnya regulasi waralaba yang baru akan berdampak negative. Namun, dampak krisis finanasial global relatif  tidak menimbulkan masalah.  Sedangkan bagi waralaba dengan merek asing, regulasi waralaba yang ketat tidak akan berpengaruh. Yang akan berdampak negative adalah terjadinya krisis finansial global.

 

Saya meramalkan, pada tahun 2009, secara kualitas waralaba akan semakin baik.   Sedangkan lisensi merek, secara kuantitas akan bertumbuh secara signifikan.

 

2.     Industrinya sendiri apakah masih akan tumbuh?

 

Waralaba pasti akan tetap tumbuh, walaupun dengan tingkat yang lebih rendah di tahun 2009. Usaha-usaha yang begerak di sektor pemenuhan "human bacis needs" yang primer (seperti ritel makanan, ritel pakaian, broker perumahan/properti, usaha-usaha yang terkait dengan pendidikan/training  dan kesehatan/obat-obatan)  akan tetap diminati. Demikian pula jasa IT, telepon genggam, jasa perbaikan dan pemeliharaan kendaraan bermotor ("human basic needs" yang sekunder) saya kira akan terus bertumbuh.

 

Tampaknya masalah "harga" (pricing) juga akan ikut menentukan keberhasilan usaha waralaba. Ada kecenderungan, khususnya  dari konsumen  ekonomi menengah dan bawah, "kualitas produk/pelayanan" tidak terlalu menentukan, tetapi "tingkat harga" lebih menentukan. Hal ini  akibat terjadinya  penurunan daya beli, karena kenaikan harga BBM. Bila harga BBM diturunkan pada awal bulan Desemeber 2008  nanti, maka akan berdampak positif dan dapat meningkatkan kembali daya beli masyarakat. Sejauh penurunan harga BBM itu signifikan dalam arti berdampak kepada penurunan biaya transportasi umum/barang. Akan tetapi, karena kecenderungan usaha waralaba UKM beralih ke lisensi merek, maka yang akan lebih terdorong berkembang, adalah lisensi merek. 

 

3.     Menurut Anda point-point apa yang menyebabkan industri franchise di 2009 tetap tumbuh?

 

Lihat jawaban di atas. Usaha yang berkaitan dengan "human basic needs" baik yang primer dan sekunder tetap akan bertumbuh.

 

4.     Situasi 2009 dimana akan ada Pemilu ditambah dampak krisis finansial global, bagi pelaku bisnis franchise peluang atau tantangan?

 

Pemilu legislatif dan Pilpres tidak akan berpengaruh. Bahkan adanya Pemilu ini (legislatif, pilpres dan pilkada) justru mendorong bergulirnya sektor riel. Yang tentu saja akan berdampak sangat positif ke usaha-usaha waralaba yang bergerak di bidang percetakan, sablon, IT/Komputer, asesoris (topi, lencana, dll), jasa periklanan & PR, dsb.  Kecuali pada Pemilu nanti terjadi kerusuhan sosial, maka pasti usaha waralaba (dan usaha lainnya) akan terganggu.

 

5.     Bagaimana dengan tingkat persaingannya?

 

Persaingan dalam dua hal. Kalau pelanggan  kita kelompok ekonomi menengah dan bawah, maka "harga" produk akan menentukan. Kalau kelompok ekonomi atas, "kualitas" produk lebih menentukan. Artinya, bila pelanggan adalah kelompok ekonomi menengah dan bawah, maka kita akan bersaing dalam "harga".  Bila kelompok menengah atas, maka  akan bersaing dalam menyuguhkan kualitas produk dan pelayanan.  Singkat kata, yang ingin saya katakan, yang akan  unggul dalam persaingan "harga dan kualitas" ini adalah yang kreatif —  yang secara terus menerus melakukan inovasi produk, mengikuti/menerapkan  trend metode pemasaran yang mutahir, baru dan efisien.

  

6.     Kategori bisnis apa yang paling terpengaruh di 2009? Jelaskan?

 

Kalau kondisi moneter nasional  terganggu – seperti ditulis di atas – waralaba asing pasti terpengaruh, termasuk juga usaha-usaha yang terkait dengan jasa pemasaran property / real estate dan penjualan mobil (kendaraan roda empat) – kecuali BI/bank memangkas (menurunkan) bunga bank.

 

7.     Apa yang harus diperhatikan bagi pelaku bisnis franchise dan calon pebisnis franchise dalam menghadapi 2009?

 

Bagi pelaku bisnis waralaba, jangan ragu-ragu untuk mengalihkan sistem usaha anda ke lisensi merek, kalau aturan waralaba yang berlaku sekarang tidak dapat dipenuhi. Sedangkan untuk yang mau membeli (invest) waralaba/lisensi, bila anda pengusaha pemula,  sebaiknya mengambil waralaba. Bila telah berpengalaman dalam bisnis, pilihlah  lisensi merek. Mengapa? Karena sebagai pengusaha pemula yang belum berpengalaman, akan dibimbing secara intens oleh pewaralaba. Bila telah berpengalaman, sebaiknya mengambil lisensi merek, karena akan lebih bebas.  Bila pengusaha berpengalaman membeli waralaba, biasanya akan frustrasi karena terlalu diatur oleh pewaralaba. Sedangkan bagi pemula, akan frustrasi, karena bimbingan dari Licensor (Pemberi Lisensi) terbatas.

 

8.     Menghadapi situasi 2009, apakah bagi pelaku bisnis franchise ekspansi masih memungkinkan? Mengapa?

 

Saya sarankan, sebaiknya waralaba lokal mengalihkan ke lisensi merek – pasti lebih baik. Sekali lagi, bila tidak mampu memenuhi persyaratan aturan waralaba yang baru.  Saat ini saja sudah banyak usaha waralaba yang telah (akan) mengalihkan ke lisensi merek.

 

9.     Bagaimana dengan kegiatan promosi? Apakah memang harus direm dulu?

 

Justru promosi harus dikebut.. Dalam situasi ekonomi melambat, promosi harus dikencangkan.  Agar ketika ekonomi membaik, dapat dinikmati hasilnya.




---------

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



http://akaramoy.blogspot.com/