Oleh
AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi & Kemitraan
KADIN – INDONESIA dan Ketua Dewan Pengarah WALI
DPR menghendaki RUU Perdagangan
menjadi payung bagi UU sektoral. Bila ada ketentuan dalam UU sektoral yang
bertentangan dengan RUU Perdagangan yang telah diundangkan, maka yang akan
digunakan adalah UU Perdagangan. Pendeknya, UU Perdagangan diharapkan akan
menjadi referensi utama peraturan perundangan perdagangan, baik secara
horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu ada itikad dan tekad yang kuat dari
lembaga legislatif, RUU ini dibahas secara intensif dan ekstensif dengan memperhatikan serta
mempertimbangkan masukan dari semua
pihak.
Kehadiran UU
Perdagangan memang menarik. Karena sebelumnya sudah banyak UU dan PP (Peraturan
Pemerintah) yang terkait dengan perdagangan diberlakukan lebih dahulu. Oleh karenanya, potensi terjadinya
pertentangan dengan UU dan PP yang
terkait perdagangan yang sudah lebih dahulu diterbitkan, peluangnya cukup besar.
Hal yang
tampaknya krusial dari RUU Perdagangan, adalah aspek relevansi pengertian suatu ketentuan
hukum. Karena RUU ini mengutib mentah-mentah norma dalam PP yang lebih dahulu terbit – khususnya PP yang pembentukannya (construct) dimotori Kementerian Perdagangan. Contohnya
pengertian waralaba pada penjelasan
pasal 5 RUU dikutib mentah-mentah dari PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Pengutiban boleh saja, tetapi bila pengertian hukum yang dikutib
dari PP tidak tepat dan relevansi pengertiannya salah, maka pasti akan menanam masalah ke depan. Mengapa? Karena, seperti disebut di atas, UU
Perdagangan akan menjadi sumber referensi hukum yang utama. Oleh
karenanya, dapat dipastikan setiap regulasi waralaba nantinya baik dalam bentuk PP, Perda atau Permen ke depan, pasti ngawur. Karena norma hukum dari UU yang menjadi sumber acuan, seperti telah disebut di atas, dikutib
mentah-mentah dari PP yang ngawur.
Oleh sebab itu
saya menolak pendapat yang mengatakan bahwa materi muatan “teknis” yang masuk
dalam ruang lingkup peraturan di bawah UU tidak perlu dimuat dalam RUU
Perdagangan. Karena, UU hanya memuat
ketentuan pokok. Pendapat di
atas, bagi saya, hanya menunjukan
“kemalasan” dan “miskinya pengetahuan” dari yang berpendapat demikian. Setiap RUU harus dibahas dengan mempertimbangkan aspek relevansi dari setiap
norma hukum. Bukan dengan hanya mengambil
norma yang sudah ada, tanpa melakukan kajian apakah norma
yang dikutib tersebut sudah benar dan pengertiannya masih relevan dengan
perjalanan waktu ke depan.
* * *
Seperti
dicantumkan dalam RUU Perdagangan, waralaba adalah sub-bagian dari peredaran
barang dan jasa. Secara teknis hal ini tidak sepenuhnya salah. Namun, patut
diketahui bahwa, core business waralaba,
khususnya tipe yang paling berkembang saat ini, business
format franchising, sebetulnya
adalah penjualan portofolio waralaba, yaitu merek dan sistem bisnis yang telah
teruji, ke publik. Misalnya, bila kita berkunjung
ke pameran waralaba dimanapun di dunia ini, yang dipamerkan dan ditawarkan
bukan produk/jasa, tetapi merek dan peluang usaha serta prospek keuntungannya atau
tingkat return-nya.
Penjelasan RUU
Perdagangan tentang waralaba – seperti disebut di atas – dikutib langsung dari
PP no. 42 tahun 2007 yang menyebutkan waralaba adalah hak khusus yang
dimiliki oleh orang perseorangan atau
badan usaha dengan ciri khas usaha dalam
rangka memasarkan barang dan/atau jasa dan seterusnya. Hak khusus dalam
pengertian PP di atas, adalah identik dengan sistem bisnis yang telah terbukti
berhasil. Saya menduga, pengertian di atas pembentukan normanya direkayasa untuk
membenarkan bahwa waralaba adalah bagian dari peredaran barang/jasa yang secara jurisdiksi berada di Kementerian
Perdagangan.
Kalau kita menoleh
ke belakang memperlajari pengertian waralaba dalam PP no. 16 tahun 1997 tentang Waralaba yang
telah dicabut dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007, disebutkan: Waralaba
adalah pemanfaatan/penggunaan HKI atau penemuan atau ciri khas usaha dan
seterusnya. Bila dibandingkan, antara ke dua PP di
atas, maka jelas ada pergeseran
pengertian waralaba. Yaitu, pada PP no. 16 disebutkan waralaba adalah HKI dan
di PP no. 42 hak khusus. Saya berpendapat, hanya hak khusus dalam pengertian waralaba
tidak utuh, di samping tidak jelas dasar
hukumnya. Pengertian waralaba yang utuh dan relevan adalah mencantumkan HKI. Karena dasar hukumnya jelas, yaitu UU terkait
HKI.
Oleh sebab itu, saya
menyarankan, sebaiknya pengertian waralaba dalam RUU Perdagangan mencantumkan
HKI dan hak khusus (sistem bisnis) sekaligus. Waralaba itu ibarat dua sisi
koin, yaitu HKI (lisensi merek) di satu sisi dan sistem bisnis yang telah
terbukti berhasil (a proven system of
business) pada sisi lain.
Kemudian, perlu
dijelaskan pula bahwa waralaba adalah
kemitraan antara dua pihak yang setara
dan independen, yaitu antara pewaralaba (franchisor)
dengan terwaralaba (franchisee),
berdasarkan perjanjian waralaba. Dengan
demikian, berdasarkan pengertian ini, membangun
company owned outlet/unit, sebetulnya bukan waralaba.
Mengingat PP dan
Permendag tentang Waralaba yang berlaku sekarang mengatur tentang kewajiban pewaralaba
melakukan disclose dalam penawaran
waralaba (franchise offering) ke
publik dan laporan keuangan harus diaudit oleh akuntan publik (kecuali usaha
mikro dan kecil), maka dalam RUU Perdagangan perlu pula dimasukan ketentuan
tentang kewajiban memiliki prospektus
penawaran waralaba (disclosure
document), untuk memperkuat landasan hukum dari PP. Dengan
diwajibkannya waralaba memiliki prospektus penawaran waralaba dan audit laporan
keuangan oleh akuntan publik, mengindikasikan bahwa waralaba adalah pula suatu skim
investasi – bukan semata-mata peredaran
barang dan jasa.
Kesimpulan dari
tulisan ini, saya ingin mengatakan dalam pembentukan perundang-undangan jangan
mengabaikan hal-hal “teknis”. Bila mengutib
PP yang sudah lama diterbitkan, cermati normanya apakah pengertiannya sudah
benar dan masih relevan.
Sebelum
mengakhiri tulisan singkat ini, saya ingin berpesan kepada pembentuk UU
Perdagangan, jangan anggap enteng waralaba yang pada tahun 2010 penjualannya mencapai Rp.
140 trilyun per tahun, membuka sekitar 1,5 juta lapangan kerja dan menciptakan
300 ribuan pengusaha, yang sebagian besar adalah kecil dan menengah.
Jakarta, 26 Mei
2013