Sejak tahun 1995, saya sudah menggagas
perlunya pembatasan gerai waralaba milik sendiri (company owned stores).
Hal ini ditulis dalam buku saya yang berjudul “Sukses Usaha Lewat Waralaba”
pada halaman 153 (diterbitkan oleh PT. Jurnalindo Aksara Grafika – Bisnis Indonesia). Dasar pemikirannya, adalah: (1) Membangun gerai milik sendiri menyalahi
konsep waralaba; (2) Berpotensi terjadinya “penguasaan pasar” oleh satu atau
lebih individu atau perusahaan, dalam kedudukannya sebagai franchisor (pemberi
waralaba) atau master-franchise (pemberi waralaba atau penerima waralaba), baik
asing maupun lokal.
Kemudian baru saya ketahui bahwa
Asosiasi Waralaba Amerika (American
Franchise Association), pernah pula mewacanakan pembatasan jumlah gerai
milik sendiri. AFA menyebutkan jumlahnya dibatasi 20 gerai saja.
Gagasan pembatasan ini, pernah saya usulkan ketika merumuskan PP no.
42 tahun 2007 tentang Waralaba, tetapi tidak ditanggapi oleh sang pembuat
regulasi. Kalau tidak salah, hanya KPPU
yang mendukung usulan tersebut.
Pada awal 2012 pada suatu rapat
di Kementerian Perdagangan, ketika membahas revisi permendag no. 31 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Waralaba, seorang pejabat Perdagangan Dalam Negeri
Kementerian Perdagangan, mengatakan kepada saya, bahwa Pemerintah akan mengeluarkan
regulasi untuk membatasi gerai waralaba milik sendiri. Dikatakannya pula,
pembuatan regulasi ini terinspirasi oleh gagasan saya. Ujarnya, yang akan dibatasi adalah sektor ritel
dan rumah makan/minum. Alasannya, karena kedua sektor ini yang paling
berkembang pesat.
Ketika itu saya mengatakan, tidak
ada aturan waralaba di dunia yang khusus mengatur sektor per sektor. Karena, waralaba bukan produk tetapi sistem
bisnis. Oleh karenanya dapat dipraktekan
di hampir semua sektor perdagangan. Saya
juga menyarankan, sebaiknya revisi pemendag no. 31 tahun 2008 (yang kemudian
diganti dengan permendag no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba),
mencantumkan aturan pembatasan gerai waralaba milik sendiri yang berlaku untuk
semua sektor perdagangan, jadi tidak terbatas pada ritel dan rumah makan/minum
saja. Sayangnya, saran itu hanya menjadi angin lalu. Untuk diketahui, permendag
no. 53 tahun 2012 diterbitkan pada bulan Agustus 2012.
Pada akhir tahun 2012, Kementerian
Perdagangan menerbitkan Permendag no. 68 tahun 2012 tentang Waralaba Untuk Jenis
Usaha Toko Modern, yang membatasi jumlah gerai yang dimiliki pemberi waralaba
dan penerima waralaba, paling banyak 150.
Sayang, tidak ada “reasoning” mengapa 150? Sebagai
catatan saja, saya tidak diikut sertakan dalam pembuatan permendag ini (juga
permendag no. 07 tahun 2013).
Pada awal tahun 2013, Pemerintah
menerbitkan lagi Pemendag no. 07 tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan
Dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman, yang membatasi
jumlah gerai restoran/rumah minum/bar/kafe waralaba milik sendiri, paling
banyak 250 gerai. Sayang, sekali lagi, tidak ada alasan ilmiah maupun hukum mengapa
dibatasi 250?
Seperti disampaikan Menteri
Perdagangan Gita Wiryawan, tujuan dari pembatasan ini untuk lebih mendorong dan
memfasilitasi UKM dan pengusaha di daerah terlibat dan ikut mencicipi buah
manis pertumbuhan waralaba yang pesat di tanah air. Di samping, menghidari
monopoli yang dilakukan oleh perusahaan waralaba besar, baik asing maupun lokal.
Namun, dalam kajian saya, khusus tentang
Permendag no. 07/2013 yang mengatur kerjasama dengan pola penyertaan modal (pasal 5 huruf 1), sama
sekali tidak sesuai dengan tujuan pembatasan itu sendiri – justru berpotensi
mendorong perusahaan waralaba restoran dan rumah minum (khususnya asing dan
lokal yang besar), berlomba-lomba membangun gerai yang dimiliki dan dikuasai (control) oleh kelompoknya. Para UKM dan publik yang ikut menyertakan
modal (30% - 40%), hampir dipastikan, hanya
akan menjadi mitra pasif atau “penonton”.
Sungguhpun, dalam permendag tersebut
disebutkan bahwa penyertaan modal paling sedikit 30% - 40%, berarti dapat
melebihi jumlah tersebut, namun berdasarkan logika bisnis, pihak pemberi
waralaba dan penerima waralaba besar (asing dan lokal), pasti akan lebih
menyukai penyertaan modal UKM dan publik, tetap “minoritas” atau kurang dari
50%. Mengapa? Karena dengan menguasai 60% (mayoritas), perusahaan waralaba
rumah makan/minum besar (asing dan lokal) tadi, akan sepenuhnya mengontrol dan tetap “memiliki” gerai
waralabanya.
Berbeda dengan apabila UKM (atau publik)
menguasai seratus persen kepemilikan gerai, maka sepenuhnya control berada dalam kendali UKM
dan publik. Dimana, perusahaan besar, lebih berfungsi sebagai pendamping
sekaligus konsultan yang memberikan
bimbingan untuk keberhasilan gerai
waralaba – yang sepenuhnya dimiliki UKM atau publik.
Jadi, saya berpendapat, akibat ketentuan
opsi pernyertaan modal, masalahnya berpindah dari kepemilikan gerai tunggal yang berpotensi melakukan
terjadinya persaingan tidak sehat, menjadi kepada kepemilikan bersama, namun
tetap dikuasai oleh pemberi waralaba (asing dan lokal yang besar). Sedangkan, UKM atau publik yang ikut
menyertakan modal 40% (minoritas), cenderung hanya akan menjadi penonton. Mengapa?
Karena, seperti ditulis di atas, dengan penguasaan 60% (mayoritas), hampir pasti
akan mengontrol operasional gerai dan arus kas perusahaan/gerai. Hal ini, jelas keluar dari salah satu prinsip
waralaba, yaitu dalam rangka mendorong tumbuhnya wirausaha yang mandiri.
Bila saya berandai menjadi pemberi
waralaba asing atapun waralaba lokal yang besar maka akan berlomba-lomba
memilih opsi kemitraan dengan penyertaan modal, daripada diwaralabakan. Karena,
bila saya membangun gerai milik sendiri harus mengeluarkan modal 100%, dengan opsi
pernyertaan modal hanya 60% (lebih murah). Tidak hanya murah, tetapi saya masih “memiliki” gerai tersebut
dan sepenuhnya mengontrol.
Apa makna dibalik argumen di
atas, adalah, bahwa UKM dan publik adalah pihak yang memberikan “subsidi” bagi berkembangnya gerai-gerai milik sendiri (company owned outlet) jenis usaha jasa
makanan dan minuman (perusahaan asing dan lokal yang besar) di Indonesia.
Tragis bukan?
Oleh sebab itu, saya harus
mengatakan, bahwa kehendak baik Menteri Perdagangan untuk mendorong dan
melibatkan UKM dan publik dalam waralaba, justru tidak tercapai. Yang
berpotensi terjadi – sekali lagi – perusahaan waralaba asing (dan lokal yang
besar), akan lebih banyak lagi membangum gerai-gerai waralaba yang pada
dasarnya adalah “miliknya”.
Apabila saja Permendag ini
menetapkan keturut sertaan UKM dan publik paling sedikit 51%, maka ceritanya
akan lain. Karena kedudukan UKM dan publik akan jauh lebih kuat.
Mengapa opsi pola penyertaan
modal ditawarkan dalam permendag no. 07 tahun 2013, bukan diwaralabakan saja,
titik? Karena ada asumsi yang meragukan bahwa UKM tidak memiliki cukup dana untuk menguasai 100%
atau bahkan 51%. Saya berpendapat, asumsi tersebut sama sekali
tidak berdasar, karena menyimak pasal 6 UU no. 20 tahun 2008, disebutkan
bahwa kekayaan bersih usaha kecil antara Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500
juta. Dan usaha menengah berkisar antara Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 10
milyar (di luar tanah dan bangunan).
Dengan demikian bila nilai investasi gerai Rp. 10 milyar, maka untuk usaha menengah, berdasarkan kriteria pasal
6 di atas, tidak ada masalah. Sedangkan
untuk usaha kecil, dapat sesamanya bergabung untuk mengumpulkan modal atau mendapatkan kredit dari bank. Dari
pengalaman, bank akan dengan senang hati menyalurkan kredit untuk usaha
waralaba, terlebih waralaba yang menyandang merek terkenal. Mengapa? Karena
merek terkenal menjamin tersedianya pasar, artinya dari aspek arus kas perusahaan/gerai
relatif tidak ada masalah.
Maka bila ada anggapan bahwa UKM dananya
sangat terbatas, oleh sebab itu, jalan
keluarnya dibuat opsi penyertaan modal, adalah tidak tepat dan tidak benar.
Dari sisi hukum, secara hirarki peraturan
perundangan-undangan, permendag tidak boleh bertentangan dengan UU di atasnya,
yaitu UU no. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Dari kajian saya, permendag ini jelas
bertentangan dengan UU yang berada di atasnya, termasuk dengan induknya, yaitu Pemendang
no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.
Contohnya, dalam pasal 35 UU no.
20 tahun 2008, disebut bahwa, Usaha besar dilarang memiliki dan/atau menguasai
usaha mikro, kecil dan menengah sebagai mitra usahanya. Opsi penyertaan modal dalam permendag no. 07
tahun 2013, jelas bertentangan ketentuan UU tersebut. Di samping itu, pada pasal 7 permendag no 53
tahun 2012 ditulis, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk pemberi waralaba yang
memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba, baik langsung maupun tidak langsung. Opsi penyertaan modal dipastikan
akan mempraktekan hubungan pengendalian secara langsung ataupun tidak langsung
antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. Jadi, kesimpulannya, sesama permendag
yang mengatur waralaba, bertentangan.
Dari uraian singkat ini, saya
menyarankan sebaiknya Menteri Perdagangan menarik permendag no. 07 tahun 2013,
untuk disempurnakan lagi. Agar tidak dilakukan uji materi di Mahkamah Agung
Jakarta, 18 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar