Kamis, 05 April 2012

SIARAN PERS KADIN - WALI



Isyu utama dalam draft Permendag yang baru (pengganti Permendag no. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang ”Penyelenggaraan Waralaba”, antara lain,  adalah hal-hal sebagai berikut:

  1. Mengefisienkan penerbitan surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) dengan cara ”on-line”.
  2. Pembatasan pembangunan company owned outlet (COO) dan mendorong pertumbuhan franchise outlet (FO),  dalam rangka menciptakan praktek usaha sehat yang transparan dan menghidari ”dominasi pasar” oleh individu/kelompok perusahaan/pengusaha tertentu.
  3. Mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara perusahaan/pengusaha besar dengan menengah atau menengah dengan kecil dan mikro atau antara pengusaha di tingkat nasional dengan di daerah-daerah.
  4. Mendorong penggunaan produk dalam negeri yang berkualitas
  5. Laporan Keuangan dalam Prospektus Penawaran Waralaba, wajib diaudit oleh akuntan publik.
  6. Memastikan pengembangan waralaba asing untuk sebesar-besarnya bermanfaat bagi ekonomi nasional.

Pada pihak lain, KADIN (&  Perhimpunan WALI – Waralaba dan Lisensi Indonesia), berpendapat bahwa, praktek waralaba harus dijalankan berdasarkan (I) UU no. 20 tahun 2008 tentang ”Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah”; (II) PP no. 42 tahun 2007 tentang ”Waralaba”.  Artinya,  berdasarkan kedua perundangan/peraturan di atas, memang tidak dikenal yang disebut COO, yang dikenal hanya FO. Oleh karena itu,  praktek waralaba sebaiknya dikembalikan pada pengertian/hukum yang seharusnya/sebenarnya.  Yaitu, fungsi dan manfaat waralaba adalah dalam rangka (1) Menciptakan pengusaha/entreprenuer, (2) Menciptakan lapangan kerja.  (3) Pemerataan kesempatan berusaha dan bekerja.

KADIN (& WALI) menyarankan,  dalam draf materi regulasi waralaba yang baru tersebut,  sebaiknya mencantumkan kewajiban Pemerintah  (Pusat dan Daerah) untuk mendorong dan mengembangkan usaha waralaba nasional/lokal melalui  pemberian fasilitas permodalan/perkreditan, pemasaran/ promosi, kemudahan prosedural,  pelatihan berjenjang dan bekelanjutan, serta R & D, secara terprogram dan kongkrit.  Di samping, menunjuk KADIN (& WALI) sebagai ”intermediate body” yang memberikan rekomendasi atas penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) – untuk memastikan aspek hukum khususnya dalam perjanjian waralaba, dipenuhi.  Serta memonitor penyelenggaraan waralaba dipraktekan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.  

Bagi perusahaan/pengusaha yang tidak nyaman dengan aturan waralaba termasuk pembatasan pembangunan COO, sebaiknya tidak menyatakan dirinya sebagai waralaba.

Kepada Pemerintah, diingatkan gagasan untuk membagi waralaba dalam kategori-kategori kuliner, ritel, jasa dan lain-lain, sama sekali tidak berdasar dan menyesatkan. Waralaba  adalah ”penggunaan/pemanfaatan HKI (merek) sekaligus sistem bisnis yang telah teruji” dari satu pihak ke pihak lain. Jadi, bukan merupakan kategori atau bidang usaha ataupun jenis produk tertentu.

KADIN (& WALI) menyarankan pula agar PP no. 42 tahun 2007 segera direvisi. Dengan  menjadikan waralaba sebagai suatu skim investasi di sektor riel,    melalui cara ”franchisor operating franchise”  dan memberikan payung hukum untuk mendorong ekspor waralaba lokal ke pasar internasional.  Di samping itu, Pemerintah segara menerbitkan PP  tentang Lisensi, sekaligus membuat PP tentang  Kemitraan/Peluang Bisnis (Business Opportunity), berdasarkan UU no. 20 tahun 2008. Kesemua perangkat hukum di atas, untuk memberikan kepastian hukum terhadap praktek waralaba (sebagai suatu skim investasi di sektor riel), lisensi dan kemitraan.


Jakarta,  April 2012




AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap
Waralaba dan Lisensi

Selasa, 28 Februari 2012

RENCANA PEMBUATAN MESIN CUCI DARAH GENERASI BARU - MADE IN INDONESIA



YADUGI (Yayasan Peduli Ginjal Indonesia) tengah merancang  membuat mesin cuci darah generasi baru - made in Indonesia - yang harganya lebih murah dan kualitasnya lebih unggul, dibandingkan dengan mesin impor.   Proyek ini akan dipimpin oleh Bapak Krishnahadi S. Pribadi, Msc. PhD.  

Untuk kegiatan ini, YADUGI membutuhkan sponsor.  
Kepada pihak-pihak yang tertarik dengan program ini, mohon menghubungi blog ini.


Adapun ciri-ciri kelebihan dari rancangan  mesin cuci darah buatan Indonesia ini, adalah sebagai berikut:

  1. Menggunakan Teknologi Imbedded Computer   untuk pengendalian seluruh pengoperasian sistim secara otomatis dengan memanfaatkan expert system
  2. Dapat dioperasikan oleh pasien sendiri dengan sedikit pelatihan, dengan demikian dapat dipakai di rumah, klinik, puskesmas di daerah-daerah
  3. Menggunakan SISTIM REGENERASI DIALYSATE  dengan sistim penyaringan ultra (UF) untuk membuang racun dari dialysate, dan pemakaian ulang cairan dialysate yang steril dan memenuhi syarat sehingga menghemat air
  4. Saringan NANO (NF) dari bahan keramik yang MURAH dengan umur sampai 2 tahun lebih
  5. Menggunakan prosedur sterilisasi  mesin otomatis (pra dan dan pasca pencucian) untuk  menghindari kemungkinan penularan penyakit (hepatitis, HIV, dsb.nya)   
  6. Tidak memerlukan Larutan Dialysate yang mahal, dapat memakai air minum biasa (botol Aqua) antara 10 s/d 15 liter per hari; tidak memerlukan sistim pemurnian air yang kompleks dan mahal seperti halnya dengan sistim konvensional
  7. Sistim memakai monitoring on-line semua parameter penting (on-line blood and dialysate testing) untuk menjamin mutu: tekanan, suhu, konduktivitas, dsb.nya 
  8. Semua data direkam secara waktu nyata dalam media rekam untuk analisis dinamika hemodialisis 
  9. Parameter pengoperasian diprogram oleh komputer sesuai dengan rekomendasi dokter yang disesuaikan untuk setiap pasien.

FITUR- FITUR LAINNYA:

  • Tidak memerlukan memerlukan sistim pemurnian air  (sumber kontaminasi dan infeksi) seperti halnya dengan sistim hemodialysis yang konvensional sekarang. 
  • Sub-sistim Reprocessing Dialyzer  terintegrasi untuk memudahkan pemakaian Dialyzer Reuse (untuk menghemat biaya Dialyzer) 
  • Dapat diprogram untuk melakukan melakukan IHD, CVVH, CVVHD, CVVHDF,  IHD, CVVH, CVVHD, CVVHDF, dan dapat  dipakai  di rumah untuk hemodialysis malam (Nocturnal Daily Hemodialysis Hemodialysis) atau  Dialysis Pendek (2 jam)  setiap hari.  Ideal untuk klinik dan puskesmas di daerah-daerah 
  • Dapat diintegrasikan dengan jaringan sistim kesehatan jarak jauh melalui jejaring internet  nasional  maupun lokal; misalnya puskesmas 
  • Dapat bekerja sama dengan rumah sakit pusat untuk bantuan pengawasan medis dari jarak  jauh  (remote E-medicine)  
  • Biaya investasi dan pengoperasian yang murah, tidak memerlukan cairan dialysate yang mahal, bahkan untuk CVVHD pun. (Pada saat ini CVVHD memerlukan biaya antara Rp 10 juta s/d 15 juta per hari per pasien, antara lain karena biaya cairan dialysate yang sangat mahal)

Selasa, 10 Januari 2012

KEMENTERIAN PERDAGANGAN TENGAH MEREVISI PERMENDAG NO. 31/M-DAG/PER/8/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA

Kemendag mengakui bahwa pelaksanaan Permendag di atas tidak sesuai dengan harapan - terkait dengan "bebasnya" waralaba asing (yang berasal dari luar negeri) beroperasi di Indonesia dan tidak efektifnya penerbitan STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) lokal (berasal dari dalam negeri) yang kewenangannya dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.

Secara garis besar, dalam draf rancangan Permendag yang baru itu, waralaba asing diwajibkan untuk pada tahap awal, melakukan investasi sendiri dan masuk dalam ketentuan PMA (Penanaman Modal Asing). Kemudian, pembangunan gerai milik sendiri (company owned unit) dibatasi. Hal yang terakhir ini sesuai dengan saran yang acapkali disampaikan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia).

Pelimpahan penerbitan STPW lokal dikembalikan ke Kementerian Perdagangan (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri). Peranan Pemerintah Daerah adalah dalam melakukan pembinaan, jadi tidak lagi dalam penerbitan STPW. Kemudian, jangka waktu perjanjian waralaba tidak lagi 10 tahun, tetapi 5 tahun dan dapat diperpanjang.

Saya sudah diminta untuk memberikan masukan, guna perbaikan Pemendag yang baru ini.

Secara garis besar draf rancangan perubahan cukup baik, walaupun ada beberapa hal yang tampaknya masih perlu dikoreksi. Misalnya, jangan rancu mengartikan penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) dengan foreign franchise investment. Rasio pembangunan gerai milik sendiri dengan gerai waralaba perlu ditetapkan. Misalnya 1 banding 2 atau 1 banding 3 dan seterusnya. Kriterianya juga harus jelas.

Disarankan pula agar KADIN/WALI bekerjasama dengan Kementerian Perdagangan melakukan pembinaan dan pengembangan waralaba, berdasarkan prinsip "public - private partnership" - terutama dalam rangka mendorong "ekspor waralaba Indonesia".

Dalam buku "WARALABA: JALUR BEBAS HAMBATAN MENJADI PENGUSAHA SUKSES", (buku ini dapat diperoleh di tokok-toko buku), sebenarnya sudah banyak usulan-usulan terkait dengan perlunya dibuat regulasi baru tentang waralaba di Indonesia.


Jakarta, 10 Januari 2012
     

Selasa, 13 Desember 2011

SAMBUTAN DALAM RANGKA MENERIMA 14 WARALABA DARI AS DI KANTOR KADIN INDONESIA


KOMITE TETAP WARALABA DAN LISENSI KADIN INDONESIA
Menara KADIN INDONESIA 29th Floor, Jalan Rasuna Said X-5 Kav. 2-3
Jakarta 12950 - Indonesia



Ladies and Gentlemen,

On behalf of the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN INDONESIA), I would like to welcome the US Franchise trade mission in Jakarta, Indonesia. I would also like to express my gratitude to the US Commercial Attaché who has arranged today’s meeting – as well as to the participants and guest that have met our invitation. Especially to the Board of the Indonesian Franchising and Licensing Society or WALI as well as Ibu Efin Suhada smd ibu Jaskiran Dillon, Vice Chairman of the Franchising and Licensing Committee of KADIN, I would like to convey my appreciation for your presence in this franchise business gathering.

As we know, the purpose of this meeting is looking for soul mates in franchise   business, between US Franchises and Indonesian businessmen.

Therefore, allow me to give a brief overview on the latest franchise development in Indonesia marketplace.

At present, it is estimated – I say estimated because Indonesia does not have an official data based on a comprehensive survey on franchise businesses. There are about 1100 franchisors and licensors  operating in Indonesia, consisting of 30% foreign franchisors/licensors and 70% local ones or the homegrown franchisors/licensors.   Approximately, the total turnover is about US $ 11,6 billion.         60% of the turnover mentioned above, is contributed by the foreign franchises/licenses and only 40% by the local ones. Although the number of foreign franchises is lower than the local, however in term of sales the foreign franchises are higher than the local ones.  According to the studies conducted by IFBM, the franchise/license industries in Indonesia contribute about 5% to the Indonesia gross domestic product.

The data mentioned above clearly shows positive prospects regarding the foreign franchise investment and development in Indonesia.

However, as the Chairman of KADIN’s Franchising and Licensing National  Committee, I would like to appeal to foreign franchises to run a real franchise system by developing more franchised units rather than company owned outlets. I would suggest recruiting more entrepreneurs as your franchisees or licensees at the districs and municipals level in all over Indonesia.     Franchise business has to trickle down and be beneficial to small and medium businesses at the areas  mentioned above.

Based on the government rule on franchise (PP no. 42/2007), each franchise agreement is under the Indonesia laws. Therefore, Indonesia language is required to use in the franchise contract or agreement. Franchise offering has to be transparent. Each foreign franchisor must have disclosure documents which has been legalizef by a public notary and  get a letter of reference from the Indonesian trade attaché. The document should be registered and give  to franchisees 2 weeks before signing the contract/agreement.

The franchise regulation mentioned that foreign franchise must use raw materials and products  made locally, as far as the quality requirements is met.  The franchise agreement’s length of time is at least for 10 years and any agreement uniterally terminated must be based on “clean break” principle.

Indonesian Commission for the Supervision of Business Competition (KPPU), has issued the regulation that “post expiry non-competition clause” should not be in the franchise contract/agreement anymore.

“Post expiry non-competition” is a clause  which requires that franchisee is prohibited to conduct/run the same or similar business for 1 year after commencing from the date of the contract/agreement ends/terminated.  

For Indonesian businessmen wishing to invest in the franchise industry, they should remember and carry on the International Franchise Association motto, namely: “Investigate before Investing”.     I really hope that “McDonald’s law case” in Indonesia is the first and will be the last.  Therefore, I would like to emphasize, besides studying carefully about the market and financial matters, you should be smart and accurate regarding the legal aspects, particularly matters related to the franchise contract/agreement.

I do hope that today’s meeting will be productive and provides benefits to all parties involved.
Thank you.

November 13, 2011



AMIR KARAMOY
ChaIrman, The National Committee on Franchising
and Licensing of KADIN INDONESIA and Chairman of the Board of
Directors Indonesian Franchising and Licensing Society (WALI)











































Senin, 05 Desember 2011

YAYASAN PEDULI GINJAL INDONESIA (YADUGI) MEMBUTUHKAN PERAWAT

Yayasan Peduli Ginjal Indonesia (YADUGI) membutuhkan perawat yang telah memiliki serifikat HD (hemodialisis). Namun demikian bagi yang belum memiliki serifikat HD akan disekolahkan (mengikuti training) untuk mendapat sertifikat tersebut, dengan biaya dari YADUGI.dan akan ditempatkan di rumah sakit - rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya.

Bagi mereka yang berminat (baik yang telah bersertifkat HD maupun yang belum) dapat segera mengirimkan CV ke alamat email blog ini.


Jakarta, 5 Desember 2011

Selasa, 29 November 2011

DAPATKAN SEGERA BUKU BARU: "WARALABA: JALUR BEBAS HAMBATAN MENJADI PENGUSAHA SUKSES". OLEH AMIR KARAMOY (BUKU INI DAPAT DIPEROLEH DI TOKO BUKU GRAMEDIA)



KATA PENGANTAR

Motif menulis buku ini adalah untuk menyediakan semacam buku teks atau buku pengantar (ilmu) pengetahuan tentang waralaba (franchise).  yang ditulis secara populer. Tujuannya, adalah untuk membekali pengetahuan dasar tentang waralaba.  Siapapun yang ingin mempelajari waralaba, khususnya yang terjadi di Indonesia, sebaiknya membaca buku ini, terutama para (calon) wirausaha/pengusaha, dosen, mahasiswa dan masyarakat umumnya.

Dengan mulai bermunculannya universitas dan pendidikan tinggi membuka program studi tentang waralaba, diharapkan buku ini dapat mengisi kekosongan bahan bacaan tentang waralaba sebagai (ilmu) pengetahuan terapan. Oleh sebab itu, sistematika buku ini, secara garis besar dibagi dalam 2 (dua) bagian.  Yaitu, bagian I, adalah pembahasan tentang telaah konsep dan teori waralaba. Bagian II, disajikan dalam bentuk tanya-jawab dengan maksud agar materi yang dibahas lebih praktis dan, dengan demikian, pengertiannya lebih aplikatif.

* * *

Investigate before investing, adalah motto yang dianjurkan oleh International Franchise Association (IFA).  Maksudnya, apakah anda pewaralaba (franchisor) atau terwaralaba (franchisee), sebaiknya telitilah sebelum memutuskan untuk menjalankan waralaba. Teliti dalam arti menilai apakah waralaba memang sesuai dengan kepribadian, minat dan kualitas kemampuan diri. Waralaba jelas berbeda dengan bisnis independen. Apa perbedaannya? Buku ini akan menjelaskan lebih rinci dan mendalam.

Dari sudud pewaralaba, motto di atas dimaksudkan agar dalam merekrut terwaralaba sebagai mitra, sebaiknya teliti terlebih dahulu dengan mempelajari pengalaman (khususnya bisnis) dan kemampuan finansial dan sebagainya dari (calon) terwaralaba. Sebaliknya, bila ingin membeli waralaba (sebagai terwaralaba), pelajari dan teliti pula rekam jejak  (track record) pewaralaba anda itu.

Dari pengalaman penulis, keberhasilan dalam kerjasama waralaba, banyak ditentukan oleh ketelitian dan kehati-hatian pihak-pihak dalam memilih (menyeleksi) calon mitranya itu.  Bagaimana caranya? Buku ini akan membahasnya, sekaligus memberikan bimbingan.

* * *

Banyak pihak beranggapatan bahwa waralaba  identik  dengan sektor modern dan – sebaliknya – usaha skala mikro dan kecil, adalah sektor tradisional. Keduanya tidak dapat dipertemukan, karena secara hakiki berlawanan satu sama lain. Anggapan ini salah! Waralaba tidak identik dengan sektor modern, apalagi ukuran berdasarkan skala usaha mikro, kecil, menengah dan besar – tetapi adalah suatu perangkat lunak (soft ware) mengenai suatu sistem bisnis atau konsep usaha. Semua skala usaha, termasuk yang dikategorikan non-tradisional dan tradisional dapat menggunakan atau memanfaatkan sistem waralaba. 

Bahkan secara hukum, waralaba diatur oleh Undang-Undang no. 20 tahun 2008 tentang “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah” (sebelumnya UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha Kecil”). Artinya – berdasarkan judul UU tersebut – waralaba – pada hakekatnya merupakan bagian dari pengembangan usaha skala besar ke bawah.  Dengan demikian, adalah salah kaprah bila ada orang medikotomikan antara waralaba dengan  usaha mikro, kecil dan menengah termasuk sektor modern dengan sektor tradisional.

* * *

Tantangan Indonesia saat ini dan mendatang, adalah bagaimana mengembangkan usaha kecil menengah,  menjalankan waralaba dalam kedudukannya sebagai  pewaralaba. Memang tidak mudah, oleh sebab itu perlu bantuan dari semua pihak, khususnya Pemerintah, KADIN dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia), agar usaha-usaha skala kecil menengah yang telah memiliki sistem manajemen yang baik dan telah terbukti menguntungkan, dikembangkan menjadi pewaralaba Indonesia – seperti dimaksud oleh penjelasan PP no. 42 tahun 2007.

Pemikiran mengembangkan usaha kecil menengah sebagai pewaralaba di Indonesia, terinspirasi pula oleh perkembangan waralaba di Amerika Serikat pada tahun 1930an yang awalnya dipelopori oleh usaha-usaha kecil menengah.  Penulis berpendapat, mengembangkan pengusaha/perusahaan kecil menengah sebagai pewaralaba, akan lebih mendorong peningkatan dan ekskalasi dari skala kecil menengah ke besar.

Namun, patut dicatat, tidak berarti upaya mendorong perusahaan besar menjadi pewaralaba nasional tidak perlu, tetap diperlukan, termasuk BUMN. Selain guna memberikan contoh bagaimana menjalankan perusahaan waralaba yang baik, bonafid dan profesional – juga sebagai pilot project untuk menjadikan waralaba sebagai skim investasi di sektor riel. Setelah terbukti bahwa waralaba laik dijadikan portofolio investasi, maka perlu dibuat aturan dan regulasi yang mendukungnya, seperti,  laporan keuangan pewaralaba  wajib diaudit oleh akuntan publik dan hadirnya lembaga regulator, semacam BAPPEMLK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan).

Upaya mendorong perusahaan besar juga dalam rangka menciptakan kesempatan berusaha, pemerataan berusaha dan lapangan kerja serta  memperkenalkan merek Indonesia di pasar luar negeri (global market). Untuk mengembangkan merek Indonesia di pasar internasional melalui waralaba, kiranya perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan perbankan.  Pengalaman penulis dalam menjalankan “ekspor waralaba Indonesia” yang merupakan program Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN INDONESIA, bekerjasama WALI pada tahun 2010, belum secara antusias didukung oleh pemerintah dan perbankan.

* * *

Banyak pihak yang belum memahami kaitan antara waralaba dengan produk kreatif. Padahal kaitan antara keduanya dapat saling mendukung khususnya dalam rangka pemasaran dan penjualan.

Produk kreatif terkait erat dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), demikian pula waralaba (khususnya Merek). Perbedaanya adalah produk kreatif adalah wujud produknya (hard ware), sedangkan waralaba adalah metode pemasarannya (soft ware). Produk kreatif hanya akan bermakna ekonomi bila dapat dipasarkan atau dijual serta dibeli konsumen. Bagaimana cara memasarkannya dengan cepat dan tepat? Melalui waralaba.  Mengapa dengan cara waralaba? Karena melalui waralaba bukan hanya produk yang dijual, tetapi juga merek. Apalagi bila merek tersebut cukup dikenal atau menjadi terkenal, maka akan lebih  mendorong penjualan secara massal dan sangat mungkin akan mampu melewati batas-batas negara.

Patut dicatat pula, bahwa pemasaran produk kreatif melalui waralaba, dapat pula diartikan sebagai pemasaran  produk buatan Indonesia, baik untuk pasar di dalam maupun di luar negeri

* * *

Tampaknya pengulangan atas pembahasan suatu hal atau masalah dalam buku ini tidak dapat dihindari.  Pengulangan terjadi selain untuk mengingatkan kembali pentingnya  hal atau masalah tersebut,  acapkali juga konteksnya berbeda. Dengan penjelasan ini diharapkan pembaca menjadi maklum adanya.

Untuk penyempurnaan isi buku ini penulis mengharapkan saran dan kritik sebagai input  bagi penerbitan mendatang. Saran dan kritik tersebut dapat disampaikan melalui email: amirkaramoy@gmail.com

Sebelum mengakhiri Kata Pengantar ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Gramedia Publisher yang bersedia menerbitkan buku pengantar (ilmu) pengetahuan waralaba yang masih sangat langka.  Ucapan terima kasih dan cium sayang penulis disampaikan pula kepada Muly, Pronky, Linda, Vincent, Fifi dan Adia, Legolas, Shafiya, Gahan atas dukungan dalam penyelesaian buku ini.

Semoga apa yang diinginkan oleh buku ini – sebagai pengantar pengetahuan (ilmu) waralaba di Indonesia – tercapai.

Penulis,


AMIR KARAMOY

Rabu, 12 Oktober 2011

SIARAN PERS

Catatan Tentang Regulasi Waralaba

Catatan ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada Pemerintah dan instansi terkait.

Persoalan yang cenderung menghambat regulasi waralaba berjalan dengan baik, lebih disebabkan oleh:

Ø  Masih kurangnya sosialisasi aturan yang terkait langsung dengan waralaba, yaitu PP No. 42 tahun 2007 tentang: “WARALABA”; Peraturan Menteri Perdagangan (PERMENDAG) No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang: “PENYELENGGARAAN WARALABA”; dan “PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PERMENDAG”  yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan RI.

Ø  Selain regulasi di atas, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) juga mengeluarkan Keputusan No: 57/KPPU/Kep/III/2009 tentang: “PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 Huruf b UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG: “LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT” TERHADAP PERJANJIAN YANG BERKAITAN DENGAN WARALABA, 

Ø  Sangat kurangnya sosialisasi regulasi seperti disebut di atas, diukur dari banyaknya pelaku usaha waralaba, kurang/belum/tidak memahaminya dengan baik.

Ø  Sesuai dengan pasal 11 (2) PP No. 42 tahun 2007, perjanjian waralaba wajib di daftarkan. Kami menyakini bahwa isi perjanjian waralaba yang didaftarkan tersebut, belum/tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Surat Keputusan KPPU di atas.  Di samping itu, sesuai dengan ketentuan Permendag No. 31/2008, jangka waktu Perjanjian Waralaba adalah 10 (sepuluh) tahun.  Namun demikian, kami masih melihat banyak perjanjian waralaba yang tidak berjangka waktu 10 tahun, mendapat STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) – hal ini jelas melanggar ketentuan yang ada.

Ø  Hal di atas terjadi karena pemahaman aparat Pemerintah di daerah yang diberikan wewenang untuk menjalankankan (dan mengawasi) regulasi waralaba (khususnya lokal), masih sangat kurang. Di samping itu, sering terjadinya mutasi pegawai Pemda yang ditunjuk untuk menjalankan regulasi waralaba di daerah, menjadi salah satu penghambat.

Ø  Di tingkat global, ketika KADIN INDONESIA dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi) menyelenggarakan program “ekspor waralaba Indonesia” secara swadaya. diperoleh kesan bahwa kebanyakan Atase Perdagangan/ITPC (Indonesia Trade Promotion Center)  tidak mengetahui/memahami isi regulasi waralaba, seperti dimaksud oleh PP No. 42 tahun 2007, Permendag No. 31/2008 dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Permendag (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri). 

Ø  Berkembangnya pola waralaba dimana pihak pewaralaba (franchisor) yang menjalankan sehari-hari usaha milik terwaralaba (franchisee), selain bertentangan dengan PP No. 42 tahun 2007 (antara lain, pasal 8), juga mengingkari hakekat waralaba dalam rangka menumbuhkan wirausaha. Contoh praktek di atas, antara lain,  seperti yang selama ini dijalan oleh bisnis ritel (mini-market).

Ø  Sementara itu, masuknya waralaba asing ke pasar Indonesia, yang kebanyakan menggandeng pengusaha besar nasional, dalam prakteknya di lapangan tidak sejalan dengan ketentuan PP, karena lebih banyak membangun company owned stores. Hal ini berseberangan dengan pasal 9 (2) PP. No. 42 tahun 2007.

Ø  Perlu dipikirkan untuk membentuk suatu Badan yang profesional dan independen yang tugas utamanya merekomendasikan pemberian STPW kepada instansi Pemerintah yang berwenang (Daerah dan Pusat). Badan ini bertugas pula untuk memonitor/membantu mengawasi kegiatan waralaba (lokal/asing) dan secara rutin melaporkan kepada Pemerintah Daerah dan Pusat.  Diusulkan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) – yang adalah organisasi perusahaan & pengusaha waralaba   ditunjuk sebagai Badan dimaksud di atas.

Ø  KADIN INDONESIA kembali menyarankan, agar ketentuan waralaba dalam Draft RUU Perdagangan (pasal 5) yang menyebutkan “waralaba adalah sistem peredaran barang dan/atau jasa yang pemasarannya secara langsung atau tidak langsung dari produsen atau importir sampai konsumen” – diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan hakekat pengertian waralaba yang benar, yaitu terkait dengan HKI dan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business).  Di samping itu, pencantuman kata “importir” pada pasal 5 tersebut, perlu dipertimbangkan untuk dihapus. Pencantuman kata “importir” dikuatirkan bertentangan dengan semangat pengembangan waralaba, seperti dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2008 dan PP No. 42 Tahun 2007, untuk mendorong pengembangan produksi dalam negeri dan perusahaan/pengusaha kecil menengah.

Ø  Disarankan agar PP No. 44 Tahun 1997 tentang “Kemitraan”, diganti dan disempurnakan dengan PP yang baru yang berlandaskan UU No. 20 Tahun 2008. Dalam PP yang baru tersebut perlu diatur tentang prinsip fair business practices dalam kemitraan dan perjanjian kemitraan yang melindungi hak dan kewajiban para pihak secara fair, termasuk kewajiban melakukan disclose.  Demikian pula aturan (PP) tentang (Perjanjian) Lisensi Merek, untuk lebih memberikan kepastian terhadap usaha-usaha yang dijalankan dengan pola lisensi (khususnya merek) yang saat ini berkembang pesat di Indonesia.


Jakarta, 14 Oktober 2011





AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba
dan Lisensi KADIN INDONESIA