Rabu, 23 Juni 2010

EKSPOR WARALABA DAN LISENSI INDONESIA

Pada tanggal 16 Juni 2010 yang lalu, telah ditanda tangani perjanjian kerjasama antara KADIN INDONESIA dengan Indonesia Exim Bank (Lembaga Penjaminan Ekspor Indonesia –  LPEI), untuk menyeleksi minimal 20 perusahaan waralaba dan lisensi (pemberi waralaba/lisensi – franchisor/licensor) Indonesia, guna dipersiapkan memasuki pasar internasional ("go global").  Program ini bernama "Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia", yang melibatkan pula  Kementerian Perdagangan RI, khususnya Direktorat Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia). Adapun usaha-usaha yang memiliki ciri: "Produk berbasis budaya Indonesia dan/atau memiliki merek/brand yang menunjukan Indonesia" akan mendapat prioritas  dan asistensi profesional serta pendampingan dari KADIN (& WALI). Sedangkan pembiayaan ekspornya akan disediakan oleh LPEI dengan tingkat bunga yang kompetitif.
 
Pemilihan (minimal) 20 perusahaan waralaba lokal yang akan didorong dan dikembangkan agar siap melakukan ekspor akan dilakukan oleh suatu Tim Jury yang diketuai Amir Karamoy.
 

Sebelum memasuki pasar global, para peserta terpilih akan mendapatkan pelatihan khusus ekspor yang difasilitasi Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI), kemudian mengikuti pameran waralaba di luar negeri yang difasilitasi pula oleh BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional). Dalam proses negosiasi dengan pihak "buyer" (Penerima Waralaba/Lisensi atau Franchisee/Licensee) di luar negeri, peserta akan didampingi oleh Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN INDONESIA dengan menyediakan bantuan jasa konsultan hukum.

Indonesia Trade and Promotion Center (ITPC) yang beroperasi di beberapa Negara di luar negeri  akan pula memfasilitasi program "Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia" ini. 

Program "Ekspor Waralaba dan Lisensi Indonesia" ini akan berlangsung selama 5 tahun. Anda berminat? Silahkan hubungani kami atau klik www.ekspor-waralaba.com

 

 Jakarta, 16 Juni 2010

 


Minggu, 06 Juni 2010

SUATU PEMIKIRAN TENTANG "IDEOLOGI INDEPENDEN" SEKRETARIAT BERSAMA ORGANISASI MAHASISWA LOKAL - SOMAL

( PMB - IMADA - CSB - IMABA - GMS - MMB - IMAYO - IMAPON )

"Ideologi Independen" adalah prinsip kebebasan berfikir (independence of thought), guna mendorong tumbuh berkembangnya insan Indonesia yang kreatif/inovatif, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia dan kualitas kehidupan rakyat seluruhnya serta kualitas bumi tempat hidup manusia. Prinsip kebebasan berfikir ini bebas dari premisis-premisis premordialisme.

"Ideologi Independen" dalam konteks ekonomi dan teknologi berarti kemandirian secara ekonomi dan teknologi yang dicapai melalui pembaruan paradigma, sistem dan methodologi secara terus menerus. Menciptakan insan Indonesia yang berwawasan global namun berpijak kepada tradisi yang merupakan kebijaksanaan lokal (local wisdom).

"Ideologi Independen" secara sosial dan budaya, adalah pengakuan dan penghargaan kepada hak-hak, tradisi dan budaya masyarakat lokal yang bernaung dalam kedaulatan negara Indonesia.

"Ideologi Independen" meletakkan otonomi individu seluas-luasnya, sekaligus kewajiban membina dan mengembangkan hubungan persaudaraan sejati antar manusia secara sederajat, saling menghargai, saling peduli, simpati dan empati, toleran yang menembus batas-batas negara/bangsa, budaya, agama/kepercayaan, gender, warna kulit serta tingkat ekonomi dan sosial.

"Ideologi Independen" adalah secara kelembagaan SOMAL, bebas (not controlled) dari/oleh partai politik, kelompok kepentingan (kelompok agama, kelompok kesukuan /etnik/ras dan gender) dan kekuatan luar (outside forces), termasuk dari/oleh negara/bangsa lain.

Singkat, "ideologi Independen" adalah:

1) Kebebasan berfikir yang mengabaikan premisis-premisis premordialisme dimaksudkan untuk mendorong kreatifitas dan inovasi yang merupakan hal hakiki guna memajukan kualitas kehidupan manusia, khususnya kualitas manusia dan rakyat Indonesia seluruhnya dan kualitas lingkungan (bumi)

2) Kemandirian ekonomi dan teknologi yang sepenuhnya ditopang oleh sumber-sumber daya lokal/nasional dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia seluas-luasnya dan seadil-adilnya.

3) Mengakui dan menghargai hak-hak sosial dan budaya masyarakat lokal dalam untaian pulau-pulau dan lautan Nusantara.

4) Humanisme adalah memahami hakekat manusia dalam hubungan dengan Tuhan serta hubungan dan interaksi antar manusia yang sederajat, dalam rangka membentuk kualitas manusia seutuhnya.

5) Paham multi-kulturalisme dan pluralisme yang memperlakukan perbedaan ideologi dan paham politik, agama/kepercayaan, suku/etnik, warna kulit, gender adalah keniscayaan dan realita kehidupan manusia – merupakan ciptaan dan anugerah Tuhan. Penyangkalan terhadap paham di atas, identik dengan pengingkaran terhadap maha keagungan Tuhan

"Ideologi Independen" ini harus dihayati, diyakini, dilaksanakan dan dikumandangkan secara terus menerus.

Jakarta, 12 Juni 2010

AMIR KARAMOY

Senin, 19 April 2010

"MAFIA" PEMILIHAN PEJABAT PUBLIK

Walaupun beritanya telah lama berlalu, menarik membaca "Kegagalan Rekrutmen Pejabat Publik Kita" dalam kolom FOKUS, Kompas tanggal 8 Mei 2009. Saya termasuk orang yang pernah mendorong calon yang saya anggap "sangat memenuhi syarat" atas jabatan publik yang ditawarkan.  Melalui pengalaman tersebut, walaupun saya tidak ada beban (ini sejujurnya!), saya mendapatkan hal-hal yang tampaknya memang patut dipertanyakan. Misalnya, sangat kuat dugaan bahwa pengumuman calon untuk rekrutmen pejabat publik cuma pro-forma saja. Team Seleksi (biasanya team ini berjenjang) yang ditugaskan melakukan rekrutmen, sebenarnya sudah tau atau telah memperkirakan siapa saja yang akan dipilih.  Dengan demikian,  maka dibuatlah  rekayasa agar calon yang dimaksud dapat terpilih. Siapa mereka yang biasanya terpilih? (1) Kalangan dalam suatu departemen atau mantan pejabat (tinggi); (2) Mantan anggota lembaga publik/independen yang melamar kembali, karena masa jabatan telah berakhir; (3) anggota atau mantan anggota DPR/Parpol; (4) Kalangan yang sebelumnya sudah di"approached" oleh salah satu anggota atau Tim Seleksi.

 

Liat saja pemilihan komisioner KPPU yang terseleksi sebagian adalah orang-orang lama. Padahal, saya tau persis, banyak pelamar yang baik dan ahli tetapi dikalahkan hanya oleh seleksi administrasi.  Demikian juga dalam pemilihan anggota Dewan Energi Nasional misalnya. Saya juga tau persis, banyak pelamar yang sangat berpengalaman dalam bidang keenergiaan "dikalahkan" hanya oleh seleksi administrasi.  Lihat saja  rekrutmen Penasihat KPK, yang terpilih adalah Penasihat yang masa jabatannya sudah habis, kemudian dipilih lagi. Padahal banyak para ahli yang sudah senior, ahli (spesialis) serta berintegritas tetapi karena rekayasa team seleksi akhirnya "dikalahkan".

 

Seleksi pejabat publik yang dilakukan selama ini – dikuasai oleh "mafia birokrat atau DPR/parpol".  Di samping "kelompok yang sudah mapan", yang memang tidak menginginkan kehadiran orang baru, karena dikuatirkan akan mengganggu "kenyamanan politik dan kenyamanan materi".

 

Menurut saya sebaiknya seleksi pejabat publik dilakukan oleh lembaga yang independen dan ahli. Dan tidak memperlakukan seolah-olah tes psikolgi adalah segala-galanya. Liat saja anggota KPU yang sekarang, pemilihannya dilakukan melalui tes psikologi yang katanya  "indepth" tetapi tetap saja kinerja anggota KPU belum sebagaimana diharapkan. 

 

Rekrutmen sebaiknya dilakukan melalui suatu panel yang terdiri dari para ahli (multi disiplin ilmu/keahlian) yang memiliki integritas. Saya sangat terkesan dengan rekrutmen "American Idiol". Menurut saya inilah sistem seleksi yang baik.  Walaupun menyita  waktu, dana dan tenaga, tetapi hasilnya excellent!

 

 

 ----------------

 

 

Selasa, 21 Juli 2009

TIDAK SIGNIFIKAN DAMPAK TEROR BOM TERHADAP WARALABA

PRESS RELEASE

 

WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) menyatakan adalah tidak benar anggapan bahwa waralaba dari AS semakin tertekan masuk ke Indonesia seperti disampaikan oleh Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) di suatu harian ekonomi dan bisnis, dampak dari teror bom 17 Juli 2009 di hotel JW Marriot dan Rizt Carlton, Jakarta.

Dari pemantauan WALI, animo waralaba asing (termasuk dari AS) untuk masuk ke pasar Indonesia tidak berubah, kalaupun ada hambatan bukan akibat teror yang dilakukan oleh kelompok anti Pancasila, tetapi lebih karena terjadinya krisis finansial di AS di satu pihak, dan peraturan waralaba yang tidak konsisten yang cenderung berbenturan  antara pusat dengan daerah.

Investasi waralaba asing berbeda dengan penanaman modal asing langsung  (direct foreign investment).  Investasi waralaba di suatu Negara yang dilakukan pewaralaba asing (foreign franchisor), sama sekai tidak membawa kapital, tetapi terbatas pada HaKI (hak kekayaan intelektual) seperti merek, paten, rahasia dagang, hak cipta dan sebagainya. Pihak atau mitra lokal (terwaralaba lokal atau local franchisee) justru adalah yang mengeluarkan biaya berupa modal dan pendanaan.

Dengan demikian, pewaralaba asing (foreign franchisor) sama sekali tidak dirugikan secara finansial bila terjadi teror bom di suatu Negara yang berakibat perputaran roda  ekonomi terhambat.  Yang dirugikan justru adalah investor lokal atau mitra lokal – karena telah mengeluarkan modal (yang cukup besar) pada suatu pihak, di pihak lain, kemungkinan melambatnya ekonomi dan menurunnya pendapatan (revenues) dan profit.

Namun demikian, dalam pengamatan WALI, teror bom di Jakarta baru-baru ini tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan dan perputaran sektor riel,  khususnya waralaba dan lisensi (baik asing maupun lokal).

Pada tahun 2008 (sumber IFBM) ada sekitar 528 perusahaan waralaba (pewaralaba) dengan 41.385 gerai. Penjualan waralaba adalah sebesar Rp. 4,4 trilyun/bulan dan menyerap tenaga kerja sebanyak 890.128. Pertumbuhan waralaba pada tahun 2009 mencapai 16%.  Dari sumber lain, diperoleh angka yang lebih tinggi, yang menyebut penjualan waralaba mencapai Rp. 80 trilyun/tahun dengan jumlah perusahaan waralaba (pewaralaba) sekitar 700an. 

Waralaba pada hakekatnya adalah bisnis kreatif yang berbasiskan HaKI, menciptakan peluang berusaha (menumbuhkan wirausaha) sekaligus membuka kesempatan kerja dan memanfaatkan produk lokal serta sebagian terbesar dijalankan oleh pengusaha kecil dan menengah.

Berdasarkan data dan karekteristik usaha waralaba seperti tersebut di atas, maka sepatutnya Pemerintah lebih lagi mendorong waralaba dengan memangkas birokrasi perijinan, bermitra secara setara dengan komunitas waralaba dan lisensi (WALI) yang profesional, mewajibkan usaha waralaba (termasuk asing) yang beroperasi di daerah-daerah dimiliki dan dioperasikan oleh pengusaha lokal (menumbuhkkan gerai waralaba atau franchised outlets – bukan parent company owned outlets) serta mendorong ekspor waralaba/lisensi lokal ke pasar global.

 

Jakarta, 22 Juli 2009

Ketua Dewan Pengarah WALI,

 

 

AMIR KARAMOY


Jumat, 03 Juli 2009

KASUS PERSENGKETAAN HUKUM McDONAL'S DI INDONESIA (McDONALD'S LEGAL DISPUTE IN INDONESIA)

Catatan: Amir Karamoy



Kasus persengketaan (hukum) antara Bambang N. Rachmadi – yang dipersepsikan masyarakat sebagai terwaralaba (franchisee) pioneer dalam membuka pasar, sekaligus memperkenalkan / mempromosikan produk dan merek dagang (brand) serta membesarkan citra McDonald's di Indonesia – dengan McDonald's Corporation, pemilik/pemberi waralaba (franchisor) dari Amerika, berawal dari dikebirinya hak Bambang N. Rachmadi sebagai pemegang saham minoritas pada PT. Bina Nusa Rama (PT. BNR). Menurut Bambang N. Rachmadi, sebagai pemegang saham minoritas (10%) – melalui PT. Rezeki Utama – di PT. BNR hak-nya dilanggar seenaknya, oleh sebab itu langkah yang dilakukannya adalah menggunakan hak-nya yang tersisa, yaitu "(hak) menggugat" secara hukum untuk mendapatkan keadilan.


Persengketaan hukum ini menjadi terkait dengan waralaba, karena ditanda tanganinya perjanjian waralaba utama (master franchise agreemet) antara PT. Rekso Nasional Food (PT.. RNF) dengan McDonald's International Property Company yang mengalihkan hak PT. BNR membangun restoran siap saji McDonald's di Indonesia kepada PT. RNF – setelah PT. RNF membeli asset restoran PT. BNR. Bambang N. Rachmadi hanya diberikan hak untuk mengelola 15 restoran, sedangkan PT. RNF jauh lebih banyak (diperkirakan akan mengelola lebih kurang 200 restoran). Merasa jasa-jasanya selama ini dalam membesarkan McDonald's di Indonesia, seperti disebut di atas, diabaikan — Bambang N. Rachmadi merasa dirinya telah dilecehkan bahkan dianiaya oleh McDonald's Corp.


Demikialah pokok-pokok yang merupakan latar belakang terjadinya gugatan hukum yang dilancarkan Bambang N. Rachmadi terhadap McDonald's Corp. – salah satu perusahaan raksasa di dunia dari Amerika Serikat.


Kasus pergantian maupun penambahan pemegang saham pada perusahaan penerima waralaba asing di Indonesia sudah beberapa kali terjadi, misalnya Coca-Cola, Pizza Hut's, kemudian KFC dan lain-lain, relatif berlangsung baik-baik saja. Mengapa dalam kasus McDonald's terjadi sengketa hukum? Apa yang salah? Apakah persengketaan ini lebih banyak soal pelanggaran etika dalam kemitraan bisnis antara asing dengan nasional?


Secara subyektif saya lebih tertarik untuk melihat dampak masalah ini ke depan terkait posisi Indonesia dalam hubungan dengan "serbuan" waralaba asing ke pasar domestik. Misalnya, bagaimana dengan perlindungan penerima waralaba nasional atau lokal, setelah perjanjian waralaba utama (master franchise) berakhir? Apakah prinsip "clean break" dalam pemutusan dan pengahiran perjanjian waralaba seperti disebut dalam Permendag no. 31/2008 ditaati, dilaksanakan dan diawasi sebagaimana semestinya? Apakah ketentuan PP no. 42/2007 dan Permendag no. 31/2008 benar-benar ditaati oleh pelaku usaha waralaba, khususnya waralaba asing? Misalnya, ketentuan "choice of forum" atau "choice of law", sungguhpun telah ditetapkan wajib menggunakan hukum Indonesia, pada kenyataannya sering diingkari.


Saya menyakini persengketaan hukum antara Bambang N. Rachmadi dengan McDonald's Corp., pasti ada hal-hal yang dipersepsikan oleh masing-masing pihak sebagai kesalahan – tidak mungkin sepihak. Seperti kata pepatah, "tidak ada asap tanpa api" atau "ada aksi ada reaksi".


Untuk mendamaikan persengketaan (hukum) dalam keluarga besar McDonald's, saya atas nama WALI, kemudian menawarkan diri sebagai penengah (mediator), untuk mencari pemecahan masalah secara bermartabat dan menguntungkan kedua pihak (win-win solution) – tidak membawanya ke pengadilan. Namun pihak McDonald's menolak tawaran WALI dengan alasan meragukan independensi WALI - seperti disampaikan oleh Mr. Todd O. Tucker Vice President & General Counsel McDonald"s yang berkedudukan di Singpore. Berdasarkan ketidak netralan itu, WALI kemudian menawarkan Komite Tetap Waralaba & Lisensi KADIN INDONESIA sebagai Penengah, akan tetapi juga tidak ditanggapi. Suatu hal yang sangat disayangkan dan disesalkan.


Secara eksplisit maupun implisit isi surat penolakan dari McDonald's Corp. yang bekedudukan di Singapore terhadap itikad baik WALI, sangat kentara adanya indikasi yang menganggap persengketaan ini adalah masalah "kecil". Benarkah pesengketaan ini soal kecil? Jawabannya tidak! Karena bagi WALI persengketaan ini dapat menjadi preseden buruk, jika tidak terselesaikan dengan baik dan menguntungkan kedua belah pihak. Suatu preseden dimana waralaba asing dapat seenaknya mendikte pengusaha waralaba nasional/lokal yang telah bersusah payah membuka dan merintis pasar, membesarkan pangsa pasar, membuat citra yang positif atas merek waralaba asing tersebut – kemudian setelah itu "habis manis sepah dibuang". Di samping, mungkin tidak kita sadari bahwa sesama perusahaan nasional telah "diadu domba" oleh perusahaan raksasa waralaba dunia.


Saya berharap kabinet baru nanti yang dibentuk oleh Presiden terpilih, hasil pilpres 2009 akan menjadikan pasar Indonesia lebih ramah terhadap waralaba asing, sekaligus membuat perundangan yang benar-benar melindungi pengusaha waralaba nasional/lokal pada pasca bermitra dengan perusahaan waralaba asing, termasuk kewajiban untuk tidak hanya membentuk company owned outlets (yang dimiliki/dikuasai oleh hanya 1 perusahaan), tetapi minimal 50% franchised outlets yang dimiliki publik.


Jakarta, 1 Juli 2009



Catatan:


Beberapa saat setelah tulisan ini ditulis di blog, saya diberi tau tengah terjadi upaya perdamaian yang telah menunjukan titik cerah akan terjadi perdamain. Semoga demikian dan itulah WALI harapkan.























































Selasa, 16 Juni 2009

FRANCHISE PORTFOLLIO: ALTERNATIVE INVESTMENT IN REAL SECTOR

By Amir Karamoy *)

 

 

Franchise is a special right possesses individually or by an enterprise over a business system having a characteristic kind of business, with the objective of marketing goods or services which have been proven successful and can be utilized or use by other parties based on  a franchise agreement – as stated in the government regulation no. 42/2007 about Waralaba (franchise).

 

Based on the above comprehension, franchise can be defined as (1) a business system (in marketing) that has been proven successful; (2) this system can be utilized  or used by other party based on a franchise agreement. In short, franchise is  the use of a proven system of business by other parties, company or individual. The owner of this proven business system is called Franchisor and the party using it is the Franchisee. Most Franchisees are local and small business enterprises, while  Franchisor are medium or big companies.

 

Based on the data of 2008 (IFBM) there are 518 Franchisor companies in Indonesia which throughout the year 2008 had opened 41.381 outlets, consisting of franchised outlets and company owned stores – employing 890.128 workers. The franchise sales turn over reached up to Rp. 52,8 trillion (approximately US $ 52,8 million).  However, according to the Trade Minister franchise gross sales reached up to Rp. 80 trillion (US $ 80 million).

 

Foreign franchise holders are mostly interested in developing theirs company owned stores. While local franchise owners are more into franchised outlets. What is the differences between the two? Company owned store is a branch company or separately unit store owned and operated by the parent company (franchisor). While ownership of franchised outlet  can be from many parties  (company or individual). It can be illustrated contradictory as while company store is owned by only one enterprise, a franchised outlets by public.

 

Contextual to selling franchise portfolio by a franchisor,  building franchise outlets for the purpose of market expansion is often categorized as investing scheme in the real sector. The franchisor is the one who sells a franchise portfolio and the franchisee who buys is the investor.

 

At present,  there are two patterns in franchise investment (1) active investment; (2) passive investment. It is defined as active investment since the investor is fully involve in managing and operating his/hers daily business himself/herself (with supervision and guidance by the franchisor) so that the investment quickly returns and his/hers company grows with profit. 

 

In this pattern the franchisor receives a payment from the investor as franchise fee or up-front fee which is paid once and an on-going royalty taken from the gross revenues of franchisee's outlets based on certain percentage as agreed and noted in the franchise/license agreement. While in the passive investment the investor (franchisee) only provide the capital and or asset (store building and its equipment) and the franchisor conduct the daily business operation of the shop or outlet owned by the franchisee. Through this passive investment pattern, usually besides franchise fee or up-front fee payed to the franchisor, every 3 or 4 months net profit from the franchisee outlets sales is distributed. Percentage of the profit sharing has to be negotiated and agreed by the parties affiliated. For example, 40% - 50% for the franchisee and 60% -  50% for the franchisor or vice versa.

 

Empirically, through several financial simulation ever conducted, franchise return in F & B and retail, are more  stable and on the medium and long term range higher than when investing in the capital market. Investment in franchise portfolio is not influenced by economical  or political issues and relatively stable facing the fluctuated exchange rate as well as  fluctuated regional market stock rate.

 

Several studies in the U.S..A. (among others: The US Federal Trade Commission, Arthur Anderson, John Naisbitt) revealed that the success rate of franchise business is 92% while non-franchise business 38%. Why is  the investor (franchisee) success rate high? It is since the investor buys a business experience as mentioned above – which has been proven successful. Isn't it true that "experience is the best teacher?"

 

If franchise should become a scheme for investment in the real sector than it should be recommended that regulation concerning franchise be more strict. Especially regulation on franchise professionalism and transparency on the initial franchise offering. For example, when a franchise is being offered by a franchisor, it is a requirement to disclose its financial  report which has been audited by a certified accountant (public accountant). And each franchise permit given by the Trade Ministry or Trade Local Office, should be based on recommendation by a professional independent institution or body which function to assess the financial health of the franchise business, such as, financial stability and profitability. KADIN (Indonesia Chamber of Commerce and Industry) and WALI (Indonesia Franchising and Licensing Society) could take the role of establishing  the body mentioned above.

 

The strategy to create franchise portfolio as alternative investment scheme in the real sector is to develop a reliable and bonafide franchisor, proven to be beneficial. Why? Because only through an experienced and successful franchisor will derive flourishing sound investors or franchisees – never the opposite.

 

June 19, 2009

 

    *)

Indonesia Franchising and Licensing Society - WALI Chairman of The Board and Chairman of the National Committee on Franchising & Licensing - Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN). Founder and previously was Chairman of AFI (Indonesian Franchise Association).

 

 

 

 

 

 

 


Senin, 25 Mei 2009

WARALABA (FRANCHISE): SKIM INVESTASI DI SEKTOR RIIL - Oleh Amir Karamoy

Waralaba (franchise) adalah, "hak khusus yang dimiliki orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba" –  demikian bunyi PP no. 42/2007 tentang "WARALABA". Berdasarkan pengertian di atas, maka waralaba dapat dikatakan adalah (1) Sistem bisnis (dalam rangka pemasaran) yang telah terbukti berhasil. (2) Sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Secara singkat, dapat dikatakan, waralaba adalah "penggunaan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business) yang dapat dimanfaatkan/digunakan oleh pihak lain" yaitu perusahaan atau perorangan.  Pemilik sistem bisnis (yang telah terbukti berhasil) tadi disebut pewaralaba (franchisor), sedang pihak yang memanfaatkan/menggunakan sistem bisnis disebut terwaralaba (franchisee). Kebanyakan terwaralaba adalah pengusaha kecil (lokal/nasional) dan pewaralaba adalah perusahaan menengah besar. 

 

Berdasarkan data tahun 2008 (Sumber: IFBM), ada 518 perusahan pewaralaba yang sepanjang tahun 2008 membentuk sebanyak 41.381 gerai (outlets), baik franchised outlets maupun company owned outlets dengan mempekerjakan 890.128 tenaga kerja. Perputaran penjualan waralaba, pada tahun 2008 mencapai Rp. 52,8 trilyun. Namun, menurut Departemen Perdagangan penjualan kotor waralaba mencapai Rp. 80 trilyun.

 

Waralaba pemegang merek asing  lebih tertarik membangun gerai usaha sendiri (company owned outlets) daripada membangun gerai waralaba (franchised outlets). Sedangkan waralaba pemilik merek nasional/lokal, kebanyakan lebih tertarik  membangun gerai waralaba.  Apa perbedaan gerai usaha sendiri dengan gerai waralaba? Gerai usaha sendiri adalah cabang perusahaan atau "anak" perusahaan yang dimiliki (owned) dan dikelola (operated) perusahaan induk, sedangkan gerai waralaba kepemilikan usahanya (ownership) dikuasai oleh banyak pihak, baik perusahaan ataupun perorangan..  Secara kontras, dapat ilustrasikan bahwa, gerai usaha sendiri dimiliki oleh hanya satu perusahaan, gerai waralaba dimiliki oleh publik.

 

Dalam konteks "menjual" portofolio waralaba oleh pewaralaba dalam rangka ekspansi pasar dengan membentuk gerai-gerai waralaba, acapkali dikategorikan sebagai suatu skim investasi di sektor riil.  Pewaralaba sebagai pihak yang menjual waralaba dan terwaralaba adalah pihak yang membeli atau berinvestasi dalam waralaba, disebut investor.  Saat ini ada dua pola yang dijalankan dalam investasi waralaba, yaitu (1) Investasi aktif; (2) Investasi pasif.  Disebut investasi aktif karena investor (terwaralaba) bekerja dan menjalankan sehari-hari usahanya sendiri (dengan supervisi dan bimbingan pewaralaba) agar investasinya itu cepat kembali dan bertumbuh secara menguntungkan. Investasi pasif, investor atau terwaralaba terbatas hanya menyediakan modal dan atau aset, pihak pewaralaba-lah yang menjalankan operasional usaha sehari-hari gerai atau toko milik terwaralaba. Dalam pola investasi aktif, pihak pewaralaba menerima pembayaran dari investor berupa franchise fee atau up-front fee (hanya dibayarkan satu kali di muka) dan on-going royality yang diambil dari hasil penjualan kotor (gross revenues) gerai terwaralaba, berdasarkan jumlah prosentasi tertentu, selama kedua pihak terikat perjanjian (waralaba).

 

Dalam pola investasi pasif, biasanya, selain franchise fee atau up-front fee dibayarkan kepada pewaralaba,  kemudian setiap 3 atau 4 bulan sekali dibagi keuntungan bersih dari hasil penjualan gerai terwaralaba. Besarnya prosentasi pembagian keuntungan (profit sharing), proporsinya dinegosiasikan dan disepakati para pihak. Misalnya, 40% atau 45% untuk terwaralaba dan 60% atau 55% untuk pewaralaba, atau dapat pula sebaliknya.  

 

Secara empiris, dari beberapa simulasi keuangan yang pernah dibuat, return waralaba, khususnya usaha waralaba rumah makan atau kafe dan ritel,  rata-rata lebih stabil dan bila dihitung dalam jangka menengah dan panjang, lebih tinggi dari pada bermain di pasar modal.  Investasi dalam waralaba sama sekali tidak terpangaruh oleh isyu-isyu ekonomi atau politik dan relatif stabil menghadapi turun naiknya nilai tukar uang. Di samping, tidak terpengaruh oleh turun-naiknya nilai saham di pasar regional.

 

Dari beberapa studi yang pernah dibuat di AS  (US Federal Trade Commission), terungkap bahwa tingkat keberhasilan usaha (business success rate) waralaba rata-rata mencapai 92%, sedang usaha non-waralaba hanya 38%. Mengapa tingkat keberhasilan sebagai investor (terwaralaba) tinggi? Karena, investor "membeli pengalaman usaha" – seperti disebut di atas – yang telah terbukti sukses dan menguntungkan. Bukankah "pengalaman adalah guru yang baik?"  

 

Bila waralaba ingin dijadikan skim investasi di sektor riel, disarankan agar aturan tentang waralaba lebih diperketat. Khususnya aturan profesionalitas  pewaralaba dan transparansi dalam penawaran waralaba (initial franchise offering), lewat dikeluarkannya suatu regulasi. Misalnya, setiap pewaralaba, ketika menawarkan waralabanya, diwajibkan untuk membuka (disclose) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Dan, setiap pemberian  surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) oleh Departemen Perdagangan (atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah), harus berdasarkan rekomendasi suatu badan independen yang profesional – dimana badan ini bertugas melakukan penilaian tingkat kesehatan usaha pewaralaba. Mengapa Badan independen ini diperlukan? Karena, Departemen Perdagangan maupun Dinas Perindustrian dan Perdagangan di daerah-daerah sudah sibuk dengan rutinitas pekerjaaannya sehari-hari oleh sebab itu, dikuatirkan tidak dapat fokus dalam membina usaha waralaba.  Adanya Badan independen yang operasionalnya dibiayai sendiri, tidak mengambil anggaran negara/daerah, akan lebih fokus dalam membina dan mengembangkan waralaba. KADIN dan Perhimpunan WALI (Waralaba dan Lisensi Indonesia) dapat berperan dalam pembentukan Badan dimaksud di atas. Melalui pembentukan Badan ini pula, maka strategi yang akan ditempuh dalam rangka menjadikan waralaba sebagai skim investasi di sektor riel adalah menumbuhkan terlebih dahulu pewaralaba yang sehat, bonafid dan telah terbukti  menguntungkan. Mengapa? Karena  hanya dari pewaralaba yang telah berhasil akan tumbuh berkembang terwaralaba yang sukses atau investor yang mendapatkan capital gain yang tinggi – tidak pernah sebaliknya.

 

Selain itu, disarankan otoritas perbankan segera menyalurkan kredit murah bagi usaha kecil, khususnya untuk terwaralaba.  Belajar dari AS misalnya, Presiden Obama telah mengeluarkan suatu kebijakan khusus  untuk mendorong berkembangnya waralaba sebagai bagian dari recovery package di AS. Badan yang membiayai usaha kecil menengah (termasuk waralaba) yaitu, Small Business Administratiom (SBA) telah diperintahkan untuk meningkatkan jaminan kredit SBA dan memperkcil fees (increasing the SBA loan guarantees, lowering fees).

 

Pengucuran kredit untuk waralaba, resikonya jauh lebih rendah (lower-risk) dibandingkan dengan usaha independen.  Terlebih apabila adanya ketentuan yang mewajibkan pewaralaba dalam mendapatkan STPW, harus memiliki rekomendasi dari badan independen seperti diusulkan di atas.  Dengan demikian, pihak bank tidak perlu ragu untuk mengucurkan kreditnya, karena perjalanan bisnis terwaralaba terus didampingi dan dibimbing oleh pewaralaba yang sudah terbukti berhasil dan bonafid. Pendampingan yang diberikan pewaralaba berujung kepada tingkat keberhasilan usaha terwaralaba semakin besar dan pada gilirannya tingkat resiko kredit menjadi lebih rendah daripada usaha non-waralaba.

 

Mudah-mudahan gagasan di atas didengar dan mendapat perhatian dari pihak yang membuat regulasi.

 

Jakarta, 26 Mei 2009