Jumat, 17 Mei 2013

FRANCHISE OUTLOOK


USAHA MIKRO DAN KECIL AKAN TERSINGKIR DARI WARALABA

Ø  Apa dan bagaimana Franchise Oulook pasca diberlakukannya regulasi waralaba  yang diterbitkan pada sekitar pertengahan 2012 dan awal 2013 ke depan?  Tampaknya akan terjadi perubahan peta waralaba yang cukup signifikan.  Antara lain, tersisihnya usaha Mikro dan Kecil dari waralaba yang akan lebih didominasi oleh perusahaan menengah dan besar – baik sebagai Pewaralaba (franchisor) maupun Terwaralaba (franchisee).

Ø  Hal ini karena, ketentuan dalam Permendag no. 53/2012 tentang “Penyelenggaraan Waralaba” menyebutkan bahwa Laporan Keuangan Pewaralaba yang dimuat dalam Propektus Penawaran Waralaba wajib diaudit oleh Akuntan Publik, kecuali usaha Mikro dan Kecil.  Kewajiban audit ini, akan meningkatkan kepercayaan (crediblilty) dari para investor (franchisees) kepada Pewaralaba Menengah dan Besar.   Sedangkan Pewaralaba yang Laporan Keuangannya tidak diaudit (yaitu usaha Mikro dan Kecil), hampir dipastikan akan sulit mendapatkan kepercayaan dari para investor.

Ø  Akibat rendahnya kepercayaan (less confidence) investor tersebut, maka sudah dapat diperkirakanakan Pewaralaba Mikro/Kecil akan –  cepat atau lambat –  tergusur dari skema waralaba

Ø  Kemudian, Permendag no. 07/2013 tentang “Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman” pasal 5 angka (2) a menyebutkan, penyertaan modal dari Terwaralaba untuk nilai investasi kurang dari atau sama dengan Rp. 10 milyar, paling sedikit 40% (atau lebih kurang Rp. 4 milyar).  

Ø  Dengan adanya ketentuan Permendag  di atas, maka usaha Mikro dan Kecil dipastikan tidak akan mampu mengikut sertakan modalnya seperti dipersyaratkan. Mengapa? Karena seperti tertera dalam pasal 6 butir (1) dan (2) UU no. 20 tahun 2008, kekayaan bersih usaha Mikro paling banyak Rp. 50 juta (di luar tanah dan bangunan tempat usaha). Sedangkan Usaha Kecil, lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan paling banyak Rp. 500 juta (di luar tanah dan bangunan tempat usaha). 

Ø  Dengan demikian, seperti telah disinggung di atas, karena usaha Mikro/Kecil tidak akan mampu menyertakan modal dalam usaha waralaba yang berinvestasi besar, termasuk waralaba asing (lebih kurang Rp. 4 milyar) maka, Terwaralaba Mikro/Kecil dipastikan akan tersisih dari skema waralaba.

Ø  Ke depan, usaha Mikro dan Kecil akan lebih memilih skema Lisensi (merek) atau Kemitraan, karena relatif persyaratan dan ketentuannya dapat dipenuhi.  Patut dicatat, dalam kenyataannya, Kemitraan (termasuk yang berbasis Shariah) yang dalam prakteknya mirip waralaba, sudah banyak dijalankan oleh usaha Mikro/Kecil saat ini.

Ø  Adapun perkembangan waralaba ke depan, secara kualitas akan semakin membaik, namun secara kuantitas akan menurun. Dengan adanya kewajiban disclose dan audit laporan keuangan, waralaba cenderung menjadi skema investasi di sektor riel.  Oleh sebab itu, ke depan, disarankan, sebaiknya waralaba diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), karena waralaba bukan semata-mata peredaran dan/atau penjualan barang/jasa secara langsung maupun tidak langsung dari produsen ke konsumen seperti dimuat dalam RUU Perdagangan.

Ø  Kemudian, pertumbuhan Lisensi (Merek) dan Kemitraan akan semakin marak seperti diatur oleh UU Merek dan UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah – melebihi pertumbuhan waralaba.

Ø  Prospek perubahan peta waralaba seperti diuraikan di atas, adalah konsekwensi logis dari diterbitkannya regulasi waralaba yang baru. Sejauhmana relevansi dan kualitas regulasi yang baru ini, tampaknya perlu dipertanyakan dan didiskusikan.


Jakarta, 17 Mei 2013
     




            AMIR KARAMOY
Ketua Dewan Pengarah WALI
           dan Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi
           & Kemitraan KADIN – INDONESIA

Senin, 18 Februari 2013

PERMENDAG NO. 07/2013 TENTANG WARALABA JASA MAKANAN DAN MINUMAN RENTAN DIUJI MATERI DI MAHKAMAH AGUNG


Sejak tahun 1995, saya sudah menggagas perlunya pembatasan gerai waralaba milik sendiri (company owned stores). Hal ini ditulis dalam buku saya yang berjudul “Sukses Usaha Lewat Waralaba” pada halaman 153 (diterbitkan oleh PT. Jurnalindo Aksara Grafika – Bisnis Indonesia).  Dasar pemikirannya, adalah: (1)  Membangun gerai milik sendiri menyalahi konsep waralaba; (2) Berpotensi terjadinya “penguasaan pasar” oleh satu atau lebih individu atau perusahaan, dalam kedudukannya sebagai franchisor (pemberi waralaba) atau master-franchise (pemberi waralaba atau penerima waralaba), baik asing maupun lokal.

Kemudian baru saya ketahui bahwa Asosiasi Waralaba Amerika (American Franchise Association), pernah pula mewacanakan pembatasan jumlah gerai milik sendiri. AFA menyebutkan jumlahnya dibatasi 20 gerai saja.

Gagasan pembatasan ini,  pernah saya usulkan ketika merumuskan PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba, tetapi tidak ditanggapi oleh sang pembuat regulasi.   Kalau tidak salah, hanya KPPU yang  mendukung usulan tersebut.

Pada awal 2012 pada suatu rapat di Kementerian Perdagangan, ketika membahas revisi permendag no. 31 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, seorang pejabat Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, mengatakan kepada saya, bahwa Pemerintah akan mengeluarkan regulasi untuk membatasi gerai waralaba milik sendiri. Dikatakannya pula, pembuatan regulasi ini terinspirasi oleh gagasan saya.  Ujarnya, yang akan dibatasi adalah sektor ritel dan rumah makan/minum. Alasannya, karena kedua sektor ini yang paling berkembang pesat.

Ketika itu saya mengatakan, tidak ada aturan waralaba di dunia yang khusus mengatur sektor per sektor.  Karena, waralaba bukan produk tetapi sistem bisnis.  Oleh karenanya dapat dipraktekan di hampir semua sektor perdagangan.  Saya juga menyarankan, sebaiknya revisi pemendag no. 31 tahun 2008 (yang kemudian diganti dengan permendag no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba), mencantumkan aturan pembatasan gerai waralaba milik sendiri yang berlaku untuk semua sektor perdagangan, jadi tidak terbatas pada ritel dan rumah makan/minum saja. Sayangnya, saran itu hanya menjadi angin lalu. Untuk diketahui, permendag no. 53 tahun 2012 diterbitkan pada bulan Agustus 2012.

Pada akhir tahun 2012, Kementerian Perdagangan menerbitkan  Permendag no.  68 tahun 2012 tentang Waralaba Untuk Jenis Usaha Toko Modern, yang membatasi jumlah gerai yang dimiliki pemberi waralaba dan penerima waralaba, paling banyak 150.  Sayang, tidak ada “reasoning” mengapa 150?   Sebagai catatan saja, saya tidak diikut sertakan dalam pembuatan permendag ini (juga permendag no. 07 tahun 2013).

Pada awal tahun 2013, Pemerintah menerbitkan lagi Pemendag no. 07 tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan Dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman, yang membatasi jumlah gerai restoran/rumah minum/bar/kafe waralaba milik sendiri, paling banyak 250 gerai. Sayang, sekali lagi, tidak ada alasan ilmiah maupun hukum mengapa dibatasi 250?

Seperti disampaikan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, tujuan dari pembatasan ini untuk lebih mendorong dan memfasilitasi UKM dan pengusaha di daerah terlibat dan ikut mencicipi buah manis pertumbuhan waralaba yang pesat di tanah air. Di samping, menghidari monopoli yang dilakukan oleh perusahaan waralaba besar,  baik asing maupun lokal.

Namun, dalam kajian saya, khusus tentang Permendag no. 07/2013 yang mengatur kerjasama dengan pola  penyertaan modal (pasal 5 huruf 1), sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pembatasan itu sendiri  –  justru  berpotensi mendorong perusahaan waralaba restoran dan rumah minum (khususnya asing dan lokal yang besar), berlomba-lomba membangun gerai yang dimiliki dan dikuasai (control) oleh kelompoknya.  Para UKM dan publik yang ikut menyertakan modal  (30% - 40%), hampir dipastikan, hanya akan menjadi mitra pasif atau “penonton”.

Sungguhpun, dalam permendag tersebut disebutkan bahwa penyertaan modal paling sedikit 30% - 40%, berarti dapat melebihi jumlah tersebut, namun berdasarkan logika bisnis, pihak pemberi waralaba dan penerima waralaba besar (asing dan lokal), pasti akan lebih menyukai penyertaan modal UKM dan publik, tetap “minoritas” atau kurang dari 50%. Mengapa? Karena dengan menguasai 60% (mayoritas), perusahaan waralaba rumah makan/minum besar (asing dan lokal) tadi, akan sepenuhnya  mengontrol dan tetap “memiliki” gerai waralabanya. 

Berbeda dengan apabila UKM (atau publik) menguasai seratus persen kepemilikan gerai, maka  sepenuhnya control berada dalam kendali UKM dan publik. Dimana, perusahaan besar, lebih berfungsi sebagai pendamping sekaligus konsultan yang  memberikan bimbingan untuk keberhasilan  gerai waralaba – yang sepenuhnya dimiliki UKM atau publik.

Jadi, saya berpendapat, akibat ketentuan opsi pernyertaan modal, masalahnya berpindah dari kepemilikan  gerai tunggal yang berpotensi melakukan terjadinya persaingan tidak sehat, menjadi kepada kepemilikan bersama, namun tetap dikuasai oleh pemberi waralaba (asing dan lokal yang besar).  Sedangkan, UKM atau publik yang ikut menyertakan modal 40% (minoritas), cenderung hanya akan menjadi penonton. Mengapa? Karena, seperti ditulis di atas, dengan penguasaan 60% (mayoritas), hampir pasti akan mengontrol operasional gerai dan arus kas perusahaan/gerai.  Hal ini, jelas keluar dari salah satu prinsip waralaba, yaitu dalam rangka mendorong tumbuhnya wirausaha yang mandiri.

Bila saya berandai menjadi pemberi waralaba asing atapun waralaba lokal yang besar maka akan berlomba-lomba memilih opsi kemitraan dengan penyertaan modal, daripada diwaralabakan. Karena, bila saya membangun gerai milik sendiri harus mengeluarkan modal 100%, dengan opsi pernyertaan modal hanya 60% (lebih murah). Tidak hanya murah,  tetapi saya masih “memiliki” gerai tersebut dan sepenuhnya mengontrol.

Apa makna dibalik argumen di atas, adalah, bahwa UKM dan publik adalah pihak yang memberikan “subsidi”  bagi berkembangnya gerai-gerai milik sendiri (company owned outlet) jenis usaha jasa makanan dan minuman (perusahaan asing dan lokal yang besar) di Indonesia. Tragis bukan?

Oleh sebab itu, saya harus mengatakan, bahwa kehendak baik Menteri Perdagangan untuk mendorong dan melibatkan UKM dan publik dalam waralaba, justru tidak tercapai. Yang berpotensi terjadi – sekali lagi – perusahaan waralaba asing (dan lokal yang besar), akan lebih banyak lagi membangum gerai-gerai waralaba yang pada dasarnya adalah “miliknya”.

Apabila saja Permendag ini menetapkan keturut sertaan UKM dan publik paling sedikit 51%, maka ceritanya akan lain. Karena kedudukan UKM dan publik akan jauh lebih kuat.

Mengapa opsi pola penyertaan modal ditawarkan dalam permendag no. 07 tahun 2013, bukan diwaralabakan saja, titik? Karena ada asumsi yang meragukan bahwa  UKM tidak memiliki cukup dana untuk menguasai 100%  atau bahkan 51%.  Saya berpendapat, asumsi tersebut sama sekali tidak berdasar, karena   menyimak pasal 6 UU no. 20 tahun 2008, disebutkan bahwa kekayaan bersih usaha kecil antara Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta. Dan usaha menengah berkisar antara Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 10 milyar (di luar tanah dan bangunan).  Dengan demikian bila nilai investasi gerai Rp. 10 milyar, maka  untuk usaha menengah, berdasarkan kriteria pasal 6 di atas, tidak ada masalah.  Sedangkan untuk usaha kecil, dapat sesamanya bergabung untuk mengumpulkan modal  atau mendapatkan kredit dari bank. Dari pengalaman, bank akan dengan senang hati menyalurkan kredit untuk usaha waralaba, terlebih waralaba yang menyandang merek terkenal. Mengapa? Karena merek terkenal menjamin tersedianya pasar, artinya dari aspek arus kas perusahaan/gerai relatif tidak ada masalah.

Maka bila ada anggapan bahwa UKM dananya  sangat terbatas, oleh sebab itu, jalan keluarnya dibuat opsi penyertaan modal, adalah tidak tepat dan tidak benar.

Dari sisi hukum, secara hirarki peraturan perundangan-undangan, permendag tidak boleh bertentangan dengan UU di atasnya, yaitu UU no. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.  Dari kajian saya, permendag ini jelas bertentangan dengan UU yang berada di atasnya, termasuk dengan induknya, yaitu Pemendang no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Contohnya, dalam pasal 35 UU no. 20 tahun 2008, disebut bahwa, Usaha besar dilarang memiliki dan/atau menguasai usaha mikro, kecil dan menengah sebagai mitra usahanya.  Opsi penyertaan modal dalam permendag no. 07 tahun 2013, jelas bertentangan ketentuan UU tersebut.  Di samping itu, pada pasal 7 permendag no 53 tahun 2012 ditulis, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk pemberi waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba, baik langsung  maupun tidak langsung. Opsi penyertaan modal dipastikan akan mempraktekan hubungan pengendalian secara langsung ataupun tidak langsung antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. Jadi, kesimpulannya, sesama permendag yang mengatur waralaba, bertentangan.

Dari uraian singkat ini, saya menyarankan sebaiknya Menteri Perdagangan menarik permendag no. 07 tahun 2013, untuk disempurnakan lagi. Agar tidak dilakukan uji materi di Mahkamah Agung



Jakarta, 18 Februari 2013

Minggu, 23 Desember 2012

ALI SADIKIN DAN JOKOWI


Gagasan dan rencana Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) untuk menata kembali perkampungan (kumuh), bukanlah suatu hal yang baru.  Pada tahun 1930, pemerintah kolonial Belanda telah menjalankan program semacam ini bernama  “Kampong Verbetring” (Perbaikan Kampung).

Pada jaman Gubernur Ali Sadikin, program ini dihidupkan kembali dengan nama “Proyek Moh. Husni Thamrin” yang memperoleh penghargaan dunia, antara lain mendapatkan  Agha Khan Award dan bantuan finansial dan teknis  dari Bank Dunia.  Program ini menarik perhatian dunia, karena  mempraktekan prinsip “membangun tanpa menggusur” di wilayah kumuh perkotaan besar.

Pada awal tahun 70an, ketika saya aktif sebagai mahasiswa yang tergabung dalam IMADA (Ikatan Mahasiswa Djakarta), atas inisiatif teman dekat saya, Chaidir Makarim dan persetujuan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ketika itu – kami menyelenggarakan evaluasi program Moh. Husni Thamrin.

Kemudian atas permintaan Ali Sadikin pula, IMADA diminta untuk mengisi kegiatan HUT Kota Jakarta. Salah satu usulan IMADA yang disambut antusias oleh  Ali Sadikin adalah menyelenggarakan “malam muda-mudi” dan karnaval di jalan Thamrin yang pada malam hari ditutup untuk semua kendaraan bermotor. Istilahnya sekarang, seperti yang dikatakan Gubernur Jokowi “car free nite”. 

Di sepanjang jalan Thamrin didirikan panggung-panggung pertunjukan musik (band), pertunjukan kebudayaan Nusantara dan sebagainya. Kegiatan utama pada malam itu adalah  “dancing in the street”. Dimana anak-anak muda (dan orang dewasa) bergembira, bernyanyi dan menari di sepanjang jalan.

* * *

Kembali tentang program perbaikan kampung, pada awal tahun 80an Bank Dunia mengucurkan dana dalam rangka monitoring dan evaluasi KIP (Kampung Improvement Program) di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang (Makasar) dan beberapa kota lainnya untuk selama 4 tahun. Kebetulan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Sosial dan Ekonomi) ditunjuk sebagai penyelenggaranya, dimana saya menjadi  Project Manager.

Hasil monitoring dan evaluasi KIP ini mengungkapkan  bahwa:

SATU
Dampak ekonomi dalam arti meningkatnya kesejahteraan masyarakat setempat akibat   perbaikan kampung, tidak signifikan. Artinya, tidak ada korelasi positif antara perbaikan kampung dengan turun atau meningkatnya ekonomi masyarakat setempat

      DUA
      Dampak sosial yang cukup signifikan adalah tertatanya lingkungan hidup (kondisi    
      pisik perkampungan) yang lebih baik

     TIGA 
   Timbul niat  dari sebagian masyarakat untuk menjual tanah dan bangunan/rumah yang         harganya meningkat, akibat perbaikan lingkungan pisik kampung
   
     EMPAT 
  Perlu dibangun tanggung jawab kolektif masyarakat  terkait  dengan pemeliharaan       pembangunan fisik dan lingkungan hidup (khususnya menggalakkan program penghijauan)

      LIMA   
   Perlu dibentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, agar masyarakat dapat mengatur dan mengorganisasi dirinya sendiri, tanpa terlalu tergantung kepada pihak lain (termasuk pemerintah kota).

Apa yang dikerjakan gubernur Jokowi patut didukung.  ”Let’s learn from the past for the brighter future..…”



Jakarta, 23 Desember 2012





Sabtu, 01 Desember 2012

THE NEW FRANCHISE REGULATION (2)

The second franchise regulation has just been published on October 29, 2012 is about “Franchise for Modern Shop” (Permendag no. 68/2012). This regulation specifies on the retail modern shop which may only have 150 companies owned and operated by the franchisor or master franchise.  The rest should be franchised and owned (and operated) by another party or public.  

For example, when the franchisor of the modern retail shop, before the regulation is published have already 500 companies owned stores, then the rest (350 stores) should be converted to franchise stores in the next 5 years.

According to the International Franchise Association (IFA), a regulation limiting number of company owned units is the first to be practiced in Indonesia.  In my book titled “Successful Business through Franchising” (Sukses Usaha Lewat Waralaba) which was published in 1996 (page 153), I had written about the need of limiting the growth of company owned units in franchising. To avoid a dominant position by one or two companies that could potentially dictate the market as well as inclining anti-competition. Therefore, violating the law on prohibiting unfair competition.

The issuance of this limitation, bring to the local franchise retails the most disadvantage, such as Alfa Mart and Indo Mart. As regard to my professional advice, the regulation should not be applied retroactively. But unfortunately was rejected by the Ministry of Trade for unclear reason.  However, the foreign franchises, e.g. 7 Eleven, Circle K, Lotte, Giant, Carrefour and others will not come to any harmed.

The next regulation which will be issued soon by the government is about the “Restaurant and Café/Tavern Franchise”. In this upcoming regulation the restriction on the number of company owned will also be applied.

Most likely the number of restaurant and café/tavern owned companies will be limited to 150 or 200.

When the restriction is applied, then that foreign franchise restaurants and café/tavern such as McDonalds, KFC, Starbucks and others will be most affected.

I wonder if the foreign franchise will bring this matter to the Supreme Court for judicial review.


Jakarta, 1st December 2012


Kamis, 11 Oktober 2012

THE NEW FRANCHISE REGULATIONS IN INDONESIA


Of the two proposed regulations on franchising, one has been issued, namely the Minister of Trade Decree no. 53 year 2012 concerning the “Implementation of Franchising”. This regulation was recently published (last August this year). This new regulation replaces the previous rule no. 31 year 2008.

The essence of this trade ministerial regulation is matters in using and selling domestic product (should be at least 80%) and financial statements of each franchisor/master franchise that should be audited by a public accountant.  And each franchise companies should put a special logo. Which (according the Ministry of Trade) will enable to distinguish between a franchise and non-franchise.

In addition, independent teams will be formed, namely the Assessment and Supervisory teams.  Those teams will guide and supervise the practices of franchises in the market place. The teams members will consist of businesses franchise communities, Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN) and WALI  (The Indonesian Franchising and Licensing Society).

The second franchise regulation is not published yet, it is about modern shops, restaurants, and café/coffee or tea shops. This regulation will set the limitation on the increase of company owned outlets   that owned and operated by the franchisor or master franchise.  It is planned that franchisor/master Franchise are permitted to have only 150 - 200 company owned outlets. The remaining (modern stores/restaurants/cafés) should be franchised.

However, the amount of 150 - 200 (especially modern retail shops) still being discussed. The Government has proposed 150 while the retail community at the most 200 owned stores.

The policy to limit the amount growth of modern shops owned units is to avoid a dominant position by one or two company (ies) that can potentially dictate the market as well as inclining anti-competition. Therefore, violating the law on prohibiting unfair competition and monopoly.  I heard that the transfer of owned outlets to franchise will be made within a certain period of time, say 2 years or 3 years. Meaning, if a franchisor who have already 500 owned stores, then as many as 300 or 350 must be converted into franchised outlets, who are owned by public or independent entrepreneurs / local companies within 2 – 3 years.

However, I’ve proposed that the above regulation should not be applied retroactively. Since, if the new regulation applies retroactively, it would potentially disturb the performance of franchisors that have already, say 300 or more owned stores. Why? For example, KFC a public company that offers its shares at the stock exchange, which already operates 300 owned restaurants, suddenly is being asked to sell 150 as many as 200 outlets to franchisees - it is definitely complicated task.   In practice is not easy to have good and professional franchisees, in the sense to find franchisees that have the same vision and mission as well as in line with the franchisor’s corporate culture

In addition, KFC – for example – which has planned to build 100 owned outlets next year, then not permitted to build outlets, that will clearly have a negative impact on its stock price and would harm their business.  Therefore, once again, I propose that the regulation should not be applied retroactively, so there was no need to convert into franchises. But, when the regulation (Permendag) is issued, all franchises must comply to the new rules, namely – I propose – to apply a ratio of 2 to 1. For every two owned outlets establishment, one franchise outlet must be built.

I understand that Indonesia law does not apply retroactive principle.  If the government imposes this rule retroactively, I’m afraid the business community will bring this matter to the Supreme Court for judicial review.  I also believe, when it is applied retroactively it would certainly discourage (foreign) franchise investment in Indonesia. This should be avoided.

However, from the other perspective, based on the following reasons, I agree the restriction of company owned units growth in franchising i.e.: (1) Franchising is essentially the use of brand and a proven business system of the franchisor to the franchise. (2) Franchising is one way to encourage the development of (local) entrepreneurs. (3) Franchising is a method to expand the market in a responsible way by utilizing others capital.

From the definition above, it can be concluded that there are two independent parties involve and cooperate with each other.

So, basically a franchise is a partnership or business cooperation between franchisor with franchisee (or independent businessmen/companies). Therefore, in my opinion when only build company owned units, meaning to run franchise not in the right way and not legal. (If seeing from the perspective of PP no. 42 year 2007 and the new upcoming Permendag)


Jakarta, 2nd October 2012

Sabtu, 18 Agustus 2012

WARALABA DALAM KAITAN DENGAN RUU PERDAGANGAN

USULAN UNTUK FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (FPKS) DPR-RI DISAMPAIKAN DALAM DISKUSI PUBLIK MEMBAHAS RUU PERDAGANGAN 

Kronologi

UU yang pertama kali memuat kata Waralaba adalah UU no. 9 tahun 1995 tentang “Usaha Kecil”. UU ini telah dicabut dan digantikan oleh UU no. 20 tahun 2008 tentang “Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”.
Kemudian UU no. 5 tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” menyebut secara khusus “Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba”.  Perlu dicatat bahwa kedua UU di atas, tidak merumuskan/memuat batasan pengertian/definisi tentang Waralaba.    Baru pada PP no. 16 tahun 1997 tentang “Waralaba”, pengertian/definisi Waralaba dirumuskan, sbb: “Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa”.

Sebagai peraturan pelaksana/ atas PP no. 16/1997 diterbitkan SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba”. Kemudian sebagai konsekwensi diberlakukannya UU no. 10 tahun 2004, SK Menperindag no. 259/MPP/Kep/7/1997 di atas dicabut dan diganti oleh Permendag no. 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang “Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba”. Patut dicatat bahwa dalam Permendag no. 12/2006, pengertian/definisi Waralaba berubah, sbb: “Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba di mana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba”.

PP no. 16/1997 kemudian dibatalkan dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang “Waralaba”. Patut dicatat, pengertian/definisi Waralaba pada PP no. 16/1997 dan pada Permedag no. 12/2006 berubah lagi dengan diterbitkannya PP no. 42/2007, yaitu sbb: “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”

Kesimpulan & Saran

Pada hakekatnya, Indonesia belum memiliki pengertian/definsi Waralaba yang tepat dan baku.   Pengertian/definisi tentang Waralaba dicantumkan/disebut dalam PP dan Permendag, menurut kami masih mengandung kerancaun dalam pengertiannya. Oleh sebab itu, disarankan dirumuskan/dibuat pengertian / definisi tentang Waralaba yang baku pada tingkat UU (Perdagangan). Kami berpendapat Waralaba bukan sekedar distribusi barang dan/atau jasa yang perdagangannya secara langsung atau tidak langsung (lihat Pasal 5 RUU Perdagangan), tetapi juga menyangkut penggunaan/pemanfaatan Hak kekayaan Intelektual (HKI), khususnya Merek. Pengertian/definisi pada (PP no. 42 tahun 2007) yang dicantumkah dalam Penjelasan RUU pasal 5b. Menurut kami tidak tepat, karena tidak mencantumkan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), khususnya MEREK, tetapi HAK KHUSUS. Apa yang dimaksud dengan HAK KHUSUS tidak jelas dan yang pasti tidak berdasarkan acuan UU. Berbeda dengan MEREK/HKI yang dilindungi dan diatur dalam UU Merek no. 15 tahun 2001 khususnya, UU tentang HKI umumnya. Dengan demikian, perlu menempatkan Waralaba pada pasal tersendiri dengan suatu pengertian/definisi yang lebih lengkap, integratif, menyeluruh dan baku dalam UU Perdagangan ini. Waralaba juga harus dilihat sebagai suatu skim peluang bisnis (business opportunity), misalnya lisensi.

Kami menyarankan pengertian/definisi Waralaba yang baku yang dicantumkan dalam RUU Perdagangan (atau pada Penjelasan Pasal 5 b), paling sedikit mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

(1). Hak Kekayaan Intelektual (HKI).  (2) Sistem Usaha yang telah terbukti sukses (3)  Perjanjian waralaba

Dengan adanya unsur Perjanjian waralaba dalam definisi waralaba, maka dipastikan ada 2 (dua) pihak (atau pelaku usaha) yang terlibat, yaitu Pemberi Waralaba (franchisor) dan Penerima Waralaba (franchisee). Pengertian ini menjelaskan bahwa sebetulnya tidak ada "company owned unit" dalam skim waralaba yang benar.      


Jakarta, 20 Juni 2012


POKOK-POKOK PIKIRAN DALAM RANGKA REVISI PERMENDAG TENTANG PENYELENGGARAAN WARALABA



POKOK-POKOK PIKIRAN DALAM RANGKA REVISI PERMENDAG NO. 31/2008 DAN DRAF PERMENDAG TENTANG WARALABA TOKO MODERN, RUMAH MAKAN DAN RUMAH MINUM 


 Oleh AMIR KARAMOY 
 Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi KADIN-INDONESIA

Berikut ini adalah saran/masukan terkait dengan butir-butir revisi permendag no. 31/M-DAG/PER/8/2008 dan draf Permendag tentang Penyelenggaraan Waralaba Toko Modern, Rumah Makan dan Rumah Minum, yang kami terima melalui email, pada tanggal 5 Juli 2012. 1.

Diinfromasikan bahwa baru-baru ini kami diundang oleh FPKS di DPR untuk memberikan masukan dalam rangka review perbaikan/penyempurnaan pengertian/definisi waralaba seperti dimaksud dalam RUU Perdagangan pasal 5 (dan penjelasannya). Kesimpulan diskusi di DPR tersebut, menyarankan pengertian/definisi waralaba seperti dimaksud dalam penjelasan pasal 5 RUU Perdagangan, perlu diperbaiki/disempurnakan. Hasil diskusi merumuskan pula bahwa, waralaba adalah HKI (utamanya merek) dan sistem bisnis/usaha/pemasaran, bukan bentuk jenis usaha atau bidang usaha tertentu, misalnya, ritel, rumah makan/minum, toko modern atau tradisional dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka, adalah tidak tepat bila dalam aturan/regulasi tentang waralaba mengatur pula secara spesifik/khusus (dan secara langsung) jenis usaha atau bidang usaha tertentu, misalnya toko modern, rumah makan/minum. Untuk diketahui, tidak ada aturan/regulasi waralaba di dunia yang mengaitkan dan/atau mengatur secara spesifik/khusus (secara langsung) suatu jenis/bidang usaha tertentu. Suatu usaha perdagangan ritel atau toko modern misalnya, bila menjalankan waralaba, maka berlaku untuknya dua aturan/regulasi, yaitu, aturan/regulasi tentang ritel/toko modern dan waralaba sekaligus. Bila hanya menjalankan perdagangan ritel/toko modern, maka tidak terkena aturan/regulasi tentang waralaba (hanya menjalankan aturan/regulasi tentang ritel/toko modern). Oleh sebab itu, draf permendag tentang “Waralaba Toko Modern, Rumah Makan dan Rumah Minum”, yang mengatur secara spesifik/khusus suatu jenis/bidang usaha tertentu, tidak lazim, tidak relevan dan tidak tepat. Dikuatirkan, bila satu saat nanti misalnya, bertumbuh pesat jasa perbengkelan otomotif atau salon mobil yang juga menyediakan pelayanan makan/minum, maka Pemerintah akan mengeluarkan lagi Permendang tentang Waralaba “Perbengkelan/Salon Mobil Modern?”.

Kami mendesak agar pembahasan draf Permendag tentang hal di atas dihentikan. Karena, dikuatirkan hanya akan menimbulkan “cemohan” yang menyatakan Kementerian Perdagangan tidak memahami konsep/pengertian dan operasional waralaba yang benar dan sesungguhnya. Di samping itu, semakin banyaknya regulasi terkait dengan waralaba, potensial dapat berdampak negatif bagi perkembangan sektor riel, waralaba khususnya, yang bertujuan membentuk wirausaha atau menciptakan kesempatan berusaha serta – sekaligus – menciptakan lapangan/kesempatan kerja akan terhambat bahkan tidak terjadi. 

Aturan/regulasi terkait dengan Toko Modern, Rumah Makan dan Rumah Minum, bila memang dianggap mendesak, sebaiknya dibuat tersendiri – tanpa menyebutkan waralaba, karena sudah diatur tersendiri. 

Seperti telah disampaikan di atas, semua jenis/bidang usaha bila mempraktekan waralaba, maka tunduk pula kepada aturan/regulasi waralaba.

Kami menyarankan agar materi revisi Permendag no. 31/2008 yang menyebutkan “kewajiban untuk menjalankan usaha sesuai dengan izin usaha yang dimilki” dipertajam dan dipertegas. Dan mencoret revisi yang menyebutkan “penyimpangan dapat dilakukan untuk barang-barang pendukung usaha paling banyak 10%”. Karena, sulit (multi interpretasi) untuk mengukur/menetapkan telah terjadi penyimpangan di atas 10%?

Kami berterima kasih atas diterimanya usulan kami tentang tetap diberikannya wewenang kepada Dinas Kab/Kota menerbitkan STPW, sesuai dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Berdasarkan usulan kami tersebut dengan mempertimbangkan asas profesionalitas dalam penerbitan STPW, serta dalam rangka membantu Kementerian Perdagangan, maka perlu dipertimbangkan untuk pula melibatkan KADIN, sebagai pihak yang memberikan rekomendasi atas penerbitan STPW dimaksud, baik pada tingkat nasional maupun lokal (Kab/Kota). Sedangkan hak untuk menerbitkan STPW sepenuhnya pada Pemerintah (daerah). Mengingat KADIN adalah satu-satunya organisasi pengusaha/perusahaan yang berada di semua ibukota Propinsi dan Kab/Kota di Indonesia, maka penunjukan KADIN mendampingi/membantu Pemerintah (pusat dan daerah) untuk memberikan rekomendasi penerbitan STPW, sangat dimungkinkan. Selain karena KADIN memenuhi kelengkapan infra struktur organisasi seperti disebut di atas, juga adanya dasar hukum yang menunjangnya (lihat UU no. 1 tahun 1987 tentang KADIN, pasal 8 butir a dan b). 4. Revisi tentang “wajib mencantumkan komposisi penggunaan tenaga kerja dan barang/bahan baku yang diwaralabakan”, tidak jelas, khususnya “barang/bahan baku yang diwaralabakan”. Sesuatu yang diwaralabakan adalah HKI dan sistem usaha/bisnis/pemasaran. Oleh sebab itu, kami menyarankan agar pengertian dalam revisi ini diperjelas dan disesuaikan dengan kaidah pengertian waralaba yang benar.

Tentang LOGO WARALABA, kami menyarankan dibuat dahulu Kepmen-nya, agar dasar hukumnya jelas. Atau, dicarikan upaya lain, agar kewajiban mencantumkan LOGO WARALABA berdasarkan ketentuan hukum yang sah.

Ketentuan “kewajiban untuk menjalankan semua ketentuan pemerintah” (termasuk peraturan perundang-undangan) adalah berlebihan, oleh sebab itu tidak perlu dicantumkan. Karena semua warga negara, termasuk pengusaha/perusahaan, sesuai dengan asas negara hukum, harus taat dan menjalankan semua ketentuan pemerintah dan peraturan-undangan yang berlaku.

Pembatasan jumlah gerai milik sendiri adalah amanat dari pasal 11 butir g dan pasal 36 butir 2, UU no. 20 tahun 2008 (terkait pula dengan UU no. 5 tahun 1999 dan Kep KPPU no. 57/KPPU/Kep/III/2009). Oleh sebab itu, sebaiknya team pembuat revisi Permendag no. 31/2008 berkomunikasi/berkonsultasi dengan KPPU, guna menetapkan pengertian yang pas tentang dominasi pasar/posisi dominan. Misalnya, apa reasoning ekonomi dan hukum dari rasio 2 : 1 (2 gerai milik sendiri dan 1 milik penerima waralaba). Mudah-mudahan hal ini telah dikerjakan.

Dalam rangka peningkatan dan diversifikasi ekspor, kami menyarankan “ekspor waralaba Indonesia”, dimasukan dalam Permendag dalam rangka mendorong ekspor merek Indonesia dan budaya/life-style Indonesia. Dengan demikian, dalam revisi Permendag, perlu ditambahkan ketentuan, bahwa Pemerintah (daerah) wajib mendorong dan memfasilitasi dalam arti luas serta kemudahan dalam rangka ekspor waralaba (termasuk fasilitas kredit ekspor) serta mewajibkan atase perdagangan/ITPC secara aktif mempromosikan waralaba lokal/Indonesia di pasar global.

Dalam revisi Permendag, perlu secara eksplisit dinyatakan (dalam pasal tersendiri) bahwa Pemerintah akan memprioritaskan memberikan kemudahan perizinan, perkreditan, akses pasar, promosi, pelatihan/konsultasi, R & D dan sebagainya bagi pengusaha/perusahaan waralaba Indonesia. Hal ini sangat diperlukan, bila tidak dicantumkan dan dilaksanakan, maka sudah dapat dipastikan, waralaba tidak akan bertumbuh/berkembang. Pengusaha lebih tertarik menjalankan pola lainnya yang tidak/belum “diregulasi”. Misalnya lisensi, kerjasama/kemitraan usaha dan sebagainya. Oleh sebab itu, keberpihakan dan komitmen Pemerintah (daerah) untuk membangun dan mengembangkan waralaba nasional, perlu dicantumkan secara jelas, dengan mengikut sertakan KADIN dan Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia – WALI) membina dan memacu pertumbuhan/perkembangan waralaba lokal/nasional yang bonafid dan profesional. Demikian saran kami. Semoga bermanfaat dan ditanggapi dengan baik.


 Jakarta, 9 Juli 2012