Kamis, 19 Februari 2015

WARALABA & U PERDAGANGAN

Berikut ini adakah hal-hal yang terkait langsung dan tidak langsung  dengan waralaba dalam UU Perdagangan:

Ø  Pengaturan tentang Waralaba dalam UU Perdagangan tidak diatur secara spesifik, berbeda ketika dalam bentuk Rancangan (dalam Rancangan, Waralaba disebut/diartikan seperti dimaksud oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba). Dalam UU Perdagangan, Waralaba disebut sebagai  sistem rantai distribusi yang bersifat umum.

Ø  Kami berpendapat, Waralaba adalah bentuk jaringan distribusi / pemasaran / penjualan produk/jasa berbasis HKI (Merek) –  jadi bukan yang bersifat umum. Ini menunjukan bahwa pihak yang membentuk UU Perdagangan ini mengartikan waralaba  secara sempit, tidak lengkap, bersifat sektoral dan untuk kepentingan sektor tertentu.

Ø  Dalam kaitan itu, diusulkan agar PP no. 42 tahun 2007 segera direvisi, khususnya tentang pengertian waralaba. Kami berpendapat  bahwa, Waralaba adalah Kemitraan Usaha yang bercirikan: (1) Penggunaan/pemanfaatan HKI, khususnya Merek; (2) Penggunaan/pemanfaatan Sistem Pemasaran/Penjualan; (3) Fee yang dibayar oleh salah satu pihak; (4) Perjanjian (waralaba/lisensi).

Ø  Diharapkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum & HAM, Kementerian Negara Koperasi dan UKM serta KADIN/WALI segera duduk bersama guna merevisi/membuat PP waralaba yang baru (mengganti PP no. 42 tahun 2007).

Ø  Setiap barang yang diperdagangkan harus berlabel Bahasa Indonesia dan memenuhi Standar Nasional Indonesia – SNI (termasuk jasa) hal ini berlaku pula untuk waralaba.

Ø  Kewajiban menggunaan produksi domestik/lokal dan pengaturan zonanisasi (ketentuan ini lebih ditujukan ke sektor ritel waralaba).

Ø  Pemerintah memberikan insentif khusus bagi ekspor, termasuk “ekspor waralaba Indonesia” (sebagai bagian dari pengembangan produk kreatif Indonesia). Untuk itu, KADIN dan WALI akan kembali menyelenggarakan program “Ekspor Waralaba Indonesia”.

Ø  Pemerintah wajib  menyelenggarakan promosi (khususnya produk dalam negeri) dalam bentuk pameran di dalam negeri maupun di luar negeri - termasuk pameran waralaba & lisensi - dan untuk itu akan dibentuk bentuk Badan Promosi Dagang di luar negeri.

Ø  Pameran/promosi dagang barang-barang dari LN atau dengan mengundang peserta dari luar negeri (termasuk pameran waralaba & lisensi), tanpa ijin Pemerintah dapat dipidana 3 thn atau denda sebesar Rp. 5 milyar.

Ø  Tidak memiliki ijin dagang  dapat dipidana 4 tahun atau denda sebesar Rp. 10 milyar. Tidak memenuhi SNI dapat pidana selama 5 thn atau denda sebesar Rp. 5 milyar.


Jakarta, 20 Maret 2014



Amir Karamoy
Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi & Kemitraan
KADIN INDONESIA dan Ketua Dewan Pengarah WALI




Senin, 23 Juni 2014

ASEAN FRANCHISE COMMUNITY FORMATION

Ladies and Gentlemen,

On behalf of KADIN (Indonesian Chamber of Commerce and Industry) and WALI (Indonesian Franchising and Licensing Association), I would like to welcome all of you.

On this special occasion, allow me to explain the rationale behind the establishment of the ASEAN FRANCHISE COMMUNITY, abbreviated as AFC.

I have frankly been inspired by the wise views of a a very distinguished statesman, Dr. Datuk Mahathir, the former Malaysian Prime Minister. He had advised me, in a discussion in KL recently, that equality and fair treatment should be the basis of expanding the franchise market in ASEAN as an integrated regional economy.  Without equality and fair treatment, he said, the development of the franchise business within ASEAN could potentially face resistance.

As we approach the ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) in 2015 an era of franchise business without national borders – franchise investment and market expansion as well as franchise network development within all ASEAN countries should be balanced and proportional.

The franchise communities in ASEAN is highly recommended to have their own regional forum for coordinating, communicating and consultations in order to formulate regional policies and programs that are acceptable and applicable in all member countries. Also, to find win-win solutions in facing possible resistance in franchise investment and market expansion to and within each country’s marketplace. We should have a permanent forum that aims to achieve mutual trade benefits and win-win trade relationships in this region as well as in the global market.  This forum is called the AFC (ASEAN FRANCHISE COMMUNITY). Basically, AFC intends to develop equality in franchise market expansion regionally, as well as to establish a better business environment across national borders.

The AFC will be the official partner of the respective government of all ASEAN member countries as well as relevant Sectors  Council within the AEC Council for the purpose of franchise development within ASEAN. The AFC will be aligned with one of the master projects of ASEAN Connectivity, strengthening people-to-people connectivity by building a closer community within ASEAN countries, in addition to organizing dialogues between franchise entrepreneurs and political leaderships in all ASEAN member countries.

Specifically, AFC will be a professional partner in AFTA Council, Coordinating Committee or Working Groups of AEC institution.

Before concluding my speech, I would like to invite all franchise  business councils, associations or chambers of commerce of respective ASEAN member countries to jointly form the AFC for our mutual benefit.

Last but not least, the political commitments and support of each government in ASEAN is obviously needed. With regards to this matter, I would like to thank the Ministry of Trade, Republic of Indonesia and The State Ministry of Cooperative and Small Medium Enterprises, Republic of Indonesia for theirs encouragement and support.

Thank you very much and enjoy your dinner.


AMIR KARAMOY
Chairman, National Commission on Franchising and Licensing
Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN INDONESIA)

Selasa, 18 Maret 2014

WARALABA DALAM UU PERDAGANGAN

Berikut ini adakah hal-hal yang terkait langsung dan tidak langsung  dengan waralaba dalam UU Perdagangan: 

Ø  Pengaturan tentang Waralaba dalam UU Perdagangan tidak diatur secara spesifik, berbeda ketika dalam bentuk Rancangan (dalam Rancangan, Waralaba disebut/diartikan seperti dimaksud oleh PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba). Dalam UU Perdagangan, Waralaba disebut sebagai  sistem rantai distribusi yang bersifat umum.

Ø  Kami berpendapat, Waralaba adalah bentuk jaringan distribusi / pemasaran / penjualan produk/jasa berbasis HKI (Merek) –  jadi bukan yang bersifat umum. Ini menunjukan bahwa pihak yang membentuk UU Perdagangan ini mengartikan waralaba  secara sempit, tidak lengkap, bersifat sektoral dan untuk kepentingan sektor tertentu.

Ø  Dalam kaitan itu, diusulkan agar PP no. 42 tahun 2007 segera direvisi, khususnya tentang pengertian waralaba. Kami berpendapat  bahwa, Waralaba adalah Kemitraan Usaha yang bercirikan: (1) Penggunaan/pemanfaatan HKI, khususnya Merek; (2) Penggunaan/pemanfaatan Sistem Pemasaran/Penjualan; (3) Fee yang dibayar oleh salah satu pihak; (4) Perjanjian (waralaba/lisensi).

Ø  Diharapkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum & HAM, Kementerian Negara Koperasi dan UKM serta KADIN/WALI segera duduk bersama guna merevisi/membuat PP waralaba yang baru (mengganti PP no. 42 tahun 2007).

Ø  Setiap barang yang diperdagangkan harus berlabel Bahasa Indonesia dan memenuhi Standar Nasional Indonesia – SNI (termasuk jasa) hal ini berlaku pula untuk waralaba.

Ø  Kewajiban menggunaan produksi domestik/lokal dan pengaturan zonanisasi (ketentuan ini lebih ditujukan ke sektor ritel waralaba).

Ø  Pemerintah memberikan insentif khusus bagi ekspor, termasuk “ekspor waralaba Indonesia” (sebagai bagian dari pengembangan produk kreatif Indonesia). Untuk itu, KADIN dan WALI akan kembali menyelenggarakan program “Ekspor Waralaba Indonesia”.

Ø  Pemerintah wajib  menyelenggarakan promosi (khususnya produk dalam negeri) dalam bentuk pameran di dalam negeri maupun di luar negeri - termasuk pameran waralaba & lisensi - dan untuk itu akan dibentuk bentuk Badan Promosi Dagang di luar negeri.

Ø  Pameran/promosi dagang barang-barang dari LN atau dengan mengundang peserta dari luar negeri (termasuk pameran waralaba & lisensi), tanpa ijin Pemerintah dapat dipidana 3 thn atau denda sebesar Rp. 5 milyar.

Ø  Tidak memiliki ijin dagang  dapat dipidana 4 tahun atau denda sebesar Rp. 10 milyar. Tidak memenuhi SNI dapat pidana selama 5 thn atau denda sebesar Rp. 5 milyar.


Jakarta, 18 Maret 2014


Amir Karamoy
Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi & Kemitraan
KADIN INDONESIA dan Ketua Dewan Pengarah WALI







Rabu, 12 Februari 2014

LOGO WARALABA MENGABAIKAN KECERDASAN INVESTOR/MITRA DAN KONSUMEN

Kewajiban memajang Logo Waralaba pada gerai-gerai yang diwaralabakan  (berdasarkan Permendag no. 53/M-DAG/PER/8/2012)  tidak akan efektif mendongkrak penjualan dan keuntungan usaha.

Maksud pemajangan logo waralaba adalah untuk membedakan antara gerai waralaba dengan non-waralaba,  yang lebih merupakan kepentingan regulator dalam rangka mempermudah pengawasan. Pengawasan yang terkait aspek administratif  perijinan, bukan kepada  hal-hal yang berhubungan  dengan kesetaraan dan kelanggengan kerjasama/kemitraan bisnis, berdasarkan prinsip saling membutuhan, saling mendukung dan saling menguntungkan.

Mengapa di negara-negara maju, waralaba berkembang pesat atas dorongan Pemerintahnya dan sangat diminati investor/mitra serta konsumen? Bukan karena kehadiran logo waralaba! Tetapi adanya sistem pengawasan internal yang terus menerus dari pemberi waralaba/pewaralaba (franchisor) kepada penerima waralaba/terwaralaba (franchisee). Pengawasan yang terkait dengan  terselenggaranya SOP yang baik dan benar, jaminan tingkat kualitas produk yang sesuai,  pelayanan yang mengutamakan kepuasan pelanggan, ketersedian dan harga produk yang terjangkau oleh segmen pasarnya dan lain-lain. Jadi bukan oleh pengawasan oleh pihak luar atau eksternal (Pemerintah/Daerah), dengan mewajibkan pemajangan logo waralaba.

Konsumen tidak akan peduli  apakah suatu gerai waralaba memajang logo atau tidak, yang lebih diminati adalah bagaimana kualitas produk dan tingkat harga yang ditawarkan, keramahan pelayanan  (termasuk kenyamanan dalam berbelanja) dan sebagainya. Oleh sebab itu, jangan ada anggapan bahwa seolah-olah pemajangan logo di gerai waralaba akan lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan non-waralaba, bila persyaratan-persyaratan pengawasan internal tidak diterapkan (yang dilakukan oleh dan antara pelaku usaha waralaba - pewaralaba dan terwaralaba).

Di samping itu, persoalan  dalam waralaba, bukan kepada adanya logo atau tidak, tetapi  pemahaman yang baik dan benar tentang konsistensi antara filsafat, teori dan praktek waralaba itu sendiri. Bila (R)UU Perdagangan masih mencantumkan pengertian (definisi) waralaba sesuai dengan yang diusulkan Pemerintah, maka disitulah akar masalahnya.




Jakarta, 11 Februari 2014

Kamis, 16 Januari 2014

PASAR INDONESIA DIDOMINASI WARALABA BERMEREK ASING

REVIEW TAHUN 2013 & TANTANGAN TAHUN 2014


Berdasarkan ketentuan PP no. 42 tahun 2007 tentang “Waralaba” dan Permendag no. 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang “Penyelenggaraan Waralaba”,  setiap perusahaan waralaba wajib memiliki STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba). Dengan demikian, maka hanya perusahaan yang telah memiliki  STPW secara hukum sah sebagai waralaba.

Dari analisis data berdasarkan penerbitan STPW sampai dengan 13 Desember 2013 yang dihimpun dari Kementerian Perdagangan, baru 125 perusahaan waralaba yang telah mendapatkan STPW.  Patut dicatat, data ini belum termasuk STPW yang diterbitkan Pemerintah Daerah. Namun demikian, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan tersebut sudah dapat diperoleh gambaran tentang waralaba di Indonesia, yaitu, Pemberi Waralaba Luar Negeri menguasai 60% dan Pemberi Waralaba Dalam Negeri hanya 2,4%.

Bila dilihat dari jenis/bidang usaha, jumlah waralaba makanan/minuman adalah yang terbesar (49,6%). Dikuti oleh kategori ritel (24%)  dan pendidikan (20,8%). Bidang-bidang usaha tersebut, sebagian terbesar dikuasai pula oleh yang bermerek asing.

Dari data di atas    menunjukan bahwa pasar Indonesia didominasi oleh Pemberi Waralaba asing.  Mengapa hal ini terjadi? Utamanya karena adanya ketentuan, antara lain, laporan keuangan Pemberi Waralaba wajib diaudit Akuntan Publik dan membuka laporan keuangannya ke publik pula (terkecuali Usaha Kecil & Mikro).  Akibatnya, hanya perusahaan waralaba asing dan menengah nasional ke atas yang “mampu” melakukannya. Sedangkan perusahaan waralaba kategori menengah ke bawah, cenderung mengalihkan usahanya ke skema Lisensi dan Kemitraan (Lihat buku tulisan Amir Karamoy, “Percaturan Waralaba Indonesia”, 2013).

Apakah hal ini berdampak negatif terhadap perkembangan waralaba di Indonesia? Jawabannya tidak!  Karena waralaba secara kualitatif semakin baik, walaupun secara kuantitas menurun.  Dengan demikian, waralaba menjadi suatu skema investasi di sektor riel, prospeknya semakin terbuka. 

Sehubungan dengan itu, hal yang harus menjadi perhatian pada tahun 2014, adalah bagaimana mendorong pertumbuhan Pemberi Waralaba Dalam Negeri sebanyak-banyaknya (termasuk UKM),  melalui  pembentukan Indonesian Franchise Development Center (IFDC) yang pendanaannya diperoleh, antara lain,  dari program CSR BUMN.  Selain memperkuat pasar domestik,  IFDC mendorong waralaba Indonesia berkiprah di pasar global. 

Ini adalah tantangan ke depan agar pengusaha waralaba nasional/lokal  tetap menguasai pasar domestik, sekaligus menjadi tuan rumah yang baik memasuki tahun 2015 (era Economic ASEAN Community). 

Tidak ada salahnya kita meniru  Malaysia, dimana setiap perusahaan nasionalnya yang beralih ke waralaba mendapatkan pendanaan dan pelatihan yang difasilitasi Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi & Kepenggunaan, melalui PNS (Perbadanan Nasional Berhad).  Bahkan ada rencana PNS akan mengusulkan kepada Pemerintahnya untuk membuat kebijakan yang memberikan kemudahan bagi para ahli waralaba Indonesia (termasuk yang berpengalaman praktek) untuk bekerja di negara jiran tersebut. Ini menunjukan komitment yang kuat dari Pemerintah Malaysia mendorong dan mengembangkan waralabanya.

Tabel 1
Kategori Waralaba
(n = 125)

Pemberi Waralaba Luar Negeri          
                             60,0%
Pemberi Waralaba Dalam Negeri
                                2,4%
Penerima Waralaba
                              32,8%
Pemberi Waralaba Lanjutan Luar Negeri
                                2,4%
Penerima Waralaba Lanjutan
                                2,4%

TABEL 2
Jenis/Bidang usaha
(n = 125)

Makanan & Minuman
                             49,6%
Ritel
                             24,0%
Pendidikan
                             20,8%
Jasa perbaikan
                               6,4%
Hotel
                               1,6%
Real Estate
                               0,8%


Jakarta, 18 Desember 2013

Rabu, 12 Juni 2013

WARALABA DALAM RUU PERDAGANGAN

Oleh

AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi & Kemitraan
KADIN – INDONESIA dan Ketua Dewan Pengarah WALI


DPR menghendaki RUU Perdagangan menjadi payung bagi UU sektoral. Bila ada ketentuan dalam UU sektoral yang bertentangan dengan RUU Perdagangan yang telah diundangkan, maka yang akan digunakan adalah UU Perdagangan. Pendeknya, UU Perdagangan diharapkan akan menjadi referensi utama peraturan perundangan perdagangan, baik secara horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu ada itikad dan tekad yang kuat dari lembaga legislatif, RUU ini dibahas secara intensif dan ekstensif  dengan memperhatikan serta mempertimbangkan  masukan dari semua pihak.

Kehadiran UU Perdagangan memang menarik. Karena sebelumnya sudah banyak UU dan PP (Peraturan Pemerintah) yang terkait dengan perdagangan diberlakukan lebih dahulu.  Oleh karenanya, potensi terjadinya pertentangan  dengan UU dan PP yang terkait perdagangan yang sudah lebih dahulu diterbitkan,  peluangnya cukup besar.

Hal yang tampaknya krusial dari RUU Perdagangan, adalah  aspek relevansi pengertian suatu ketentuan hukum. Karena RUU ini mengutib mentah-mentah norma  dalam PP yang lebih dahulu terbit – khususnya  PP yang pembentukannya (construct) dimotori Kementerian Perdagangan.   Contohnya pengertian  waralaba pada penjelasan pasal 5 RUU dikutib mentah-mentah dari PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba.  Pengutiban boleh saja,  tetapi bila pengertian hukum yang dikutib dari PP tidak tepat dan relevansi pengertiannya salah, maka  pasti akan menanam masalah ke depan.  Mengapa? Karena, seperti disebut di atas,  UU  Perdagangan akan menjadi sumber referensi hukum yang utama. Oleh karenanya, dapat dipastikan setiap regulasi waralaba nantinya  baik dalam bentuk  PP, Perda atau Permen ke depan, pasti ngawur.  Karena norma hukum dari UU  yang menjadi sumber acuan,  seperti telah disebut di atas, dikutib mentah-mentah dari PP yang ngawur.

Oleh sebab itu saya menolak pendapat yang mengatakan bahwa materi muatan “teknis” yang masuk dalam ruang lingkup peraturan di bawah UU tidak perlu dimuat dalam RUU Perdagangan. Karena, UU hanya memuat  ketentuan pokok.  Pendapat di atas, bagi saya,  hanya menunjukan “kemalasan” dan “miskinya pengetahuan” dari yang berpendapat demikian.  Setiap RUU harus dibahas dengan  mempertimbangkan aspek relevansi dari setiap norma hukum.  Bukan dengan hanya mengambil norma yang sudah ada, tanpa melakukan kajian  apakah norma  yang dikutib tersebut sudah benar dan pengertiannya masih relevan dengan perjalanan waktu ke depan.

* * *

Seperti dicantumkan dalam RUU Perdagangan, waralaba adalah sub-bagian dari peredaran barang dan jasa. Secara teknis hal ini tidak sepenuhnya salah. Namun, patut diketahui bahwa,  core business  waralaba, khususnya tipe yang paling berkembang saat ini,  business format franchising, sebetulnya adalah penjualan portofolio waralaba, yaitu merek dan sistem bisnis yang telah teruji,  ke publik. Misalnya, bila kita berkunjung ke pameran waralaba dimanapun di dunia ini, yang dipamerkan dan ditawarkan bukan produk/jasa, tetapi merek dan peluang usaha serta prospek keuntungannya atau tingkat return-nya.

Penjelasan RUU Perdagangan tentang waralaba – seperti disebut di atas – dikutib langsung dari PP no. 42 tahun 2007 yang menyebutkan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki  oleh orang perseorangan atau badan usaha dengan ciri khas  usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa dan seterusnya. Hak khusus dalam pengertian PP di atas, adalah identik dengan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil. Saya menduga, pengertian di atas pembentukan normanya direkayasa untuk membenarkan bahwa waralaba adalah bagian dari peredaran barang/jasa  yang secara jurisdiksi berada di Kementerian Perdagangan.   

Kalau kita menoleh ke belakang memperlajari pengertian waralaba dalam  PP no. 16 tahun 1997 tentang Waralaba yang telah dicabut dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007, disebutkan: Waralaba adalah pemanfaatan/penggunaan HKI atau penemuan atau ciri khas usaha dan seterusnya.    Bila dibandingkan, antara ke dua PP di atas,  maka jelas ada pergeseran pengertian waralaba. Yaitu, pada PP no. 16 disebutkan waralaba adalah HKI dan di PP no. 42 hak khusus. Saya berpendapat, hanya hak khusus dalam pengertian waralaba tidak utuh, di samping  tidak jelas dasar hukumnya. Pengertian waralaba yang utuh dan relevan adalah mencantumkan HKI.  Karena dasar hukumnya jelas, yaitu UU terkait HKI.

Oleh sebab itu, saya menyarankan, sebaiknya pengertian waralaba dalam RUU Perdagangan mencantumkan HKI dan hak khusus (sistem bisnis) sekaligus. Waralaba itu ibarat dua sisi koin, yaitu HKI (lisensi merek) di satu sisi dan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business) pada sisi lain.

Kemudian, perlu dijelaskan pula  bahwa waralaba adalah kemitraan  antara dua pihak yang setara dan independen, yaitu antara pewaralaba (franchisor) dengan terwaralaba (franchisee), berdasarkan perjanjian waralaba.  Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini,   membangun company owned outlet/unit,  sebetulnya bukan waralaba.

Mengingat PP dan Permendag tentang Waralaba yang berlaku sekarang mengatur tentang kewajiban pewaralaba melakukan disclose dalam penawaran waralaba (franchise offering) ke publik dan laporan keuangan harus diaudit oleh akuntan publik (kecuali usaha mikro dan kecil), maka dalam RUU Perdagangan perlu pula dimasukan ketentuan tentang kewajiban memiliki prospektus  penawaran waralaba (disclosure document) untuk memperkuat landasan hukum dari PP. Dengan diwajibkannya waralaba memiliki prospektus penawaran waralaba dan audit laporan keuangan oleh akuntan publik, mengindikasikan  bahwa waralaba adalah pula suatu skim investasi –  bukan semata-mata peredaran barang dan jasa.

Kesimpulan dari tulisan ini, saya ingin mengatakan dalam pembentukan perundang-undangan jangan mengabaikan hal-hal “teknis”.  Bila mengutib PP yang sudah lama diterbitkan, cermati normanya apakah pengertiannya sudah benar dan masih relevan.

Sebelum mengakhiri tulisan singkat ini, saya ingin berpesan kepada pembentuk UU Perdagangan, jangan anggap enteng waralaba  yang pada tahun 2010 penjualannya mencapai Rp. 140 trilyun per tahun, membuka sekitar 1,5 juta lapangan kerja dan menciptakan 300 ribuan pengusaha, yang sebagian besar adalah kecil dan menengah.


Jakarta, 26 Mei 2013










Jumat, 17 Mei 2013

FRANCHISE OUTLOOK


USAHA MIKRO DAN KECIL AKAN TERSINGKIR DARI WARALABA

Ø  Apa dan bagaimana Franchise Oulook pasca diberlakukannya regulasi waralaba  yang diterbitkan pada sekitar pertengahan 2012 dan awal 2013 ke depan?  Tampaknya akan terjadi perubahan peta waralaba yang cukup signifikan.  Antara lain, tersisihnya usaha Mikro dan Kecil dari waralaba yang akan lebih didominasi oleh perusahaan menengah dan besar – baik sebagai Pewaralaba (franchisor) maupun Terwaralaba (franchisee).

Ø  Hal ini karena, ketentuan dalam Permendag no. 53/2012 tentang “Penyelenggaraan Waralaba” menyebutkan bahwa Laporan Keuangan Pewaralaba yang dimuat dalam Propektus Penawaran Waralaba wajib diaudit oleh Akuntan Publik, kecuali usaha Mikro dan Kecil.  Kewajiban audit ini, akan meningkatkan kepercayaan (crediblilty) dari para investor (franchisees) kepada Pewaralaba Menengah dan Besar.   Sedangkan Pewaralaba yang Laporan Keuangannya tidak diaudit (yaitu usaha Mikro dan Kecil), hampir dipastikan akan sulit mendapatkan kepercayaan dari para investor.

Ø  Akibat rendahnya kepercayaan (less confidence) investor tersebut, maka sudah dapat diperkirakanakan Pewaralaba Mikro/Kecil akan –  cepat atau lambat –  tergusur dari skema waralaba

Ø  Kemudian, Permendag no. 07/2013 tentang “Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman” pasal 5 angka (2) a menyebutkan, penyertaan modal dari Terwaralaba untuk nilai investasi kurang dari atau sama dengan Rp. 10 milyar, paling sedikit 40% (atau lebih kurang Rp. 4 milyar).  

Ø  Dengan adanya ketentuan Permendag  di atas, maka usaha Mikro dan Kecil dipastikan tidak akan mampu mengikut sertakan modalnya seperti dipersyaratkan. Mengapa? Karena seperti tertera dalam pasal 6 butir (1) dan (2) UU no. 20 tahun 2008, kekayaan bersih usaha Mikro paling banyak Rp. 50 juta (di luar tanah dan bangunan tempat usaha). Sedangkan Usaha Kecil, lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan paling banyak Rp. 500 juta (di luar tanah dan bangunan tempat usaha). 

Ø  Dengan demikian, seperti telah disinggung di atas, karena usaha Mikro/Kecil tidak akan mampu menyertakan modal dalam usaha waralaba yang berinvestasi besar, termasuk waralaba asing (lebih kurang Rp. 4 milyar) maka, Terwaralaba Mikro/Kecil dipastikan akan tersisih dari skema waralaba.

Ø  Ke depan, usaha Mikro dan Kecil akan lebih memilih skema Lisensi (merek) atau Kemitraan, karena relatif persyaratan dan ketentuannya dapat dipenuhi.  Patut dicatat, dalam kenyataannya, Kemitraan (termasuk yang berbasis Shariah) yang dalam prakteknya mirip waralaba, sudah banyak dijalankan oleh usaha Mikro/Kecil saat ini.

Ø  Adapun perkembangan waralaba ke depan, secara kualitas akan semakin membaik, namun secara kuantitas akan menurun. Dengan adanya kewajiban disclose dan audit laporan keuangan, waralaba cenderung menjadi skema investasi di sektor riel.  Oleh sebab itu, ke depan, disarankan, sebaiknya waralaba diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), karena waralaba bukan semata-mata peredaran dan/atau penjualan barang/jasa secara langsung maupun tidak langsung dari produsen ke konsumen seperti dimuat dalam RUU Perdagangan.

Ø  Kemudian, pertumbuhan Lisensi (Merek) dan Kemitraan akan semakin marak seperti diatur oleh UU Merek dan UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah – melebihi pertumbuhan waralaba.

Ø  Prospek perubahan peta waralaba seperti diuraikan di atas, adalah konsekwensi logis dari diterbitkannya regulasi waralaba yang baru. Sejauhmana relevansi dan kualitas regulasi yang baru ini, tampaknya perlu dipertanyakan dan didiskusikan.


Jakarta, 17 Mei 2013
     




            AMIR KARAMOY
Ketua Dewan Pengarah WALI
           dan Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi
           & Kemitraan KADIN – INDONESIA