Kamis, 16 Januari 2014

PASAR INDONESIA DIDOMINASI WARALABA BERMEREK ASING

REVIEW TAHUN 2013 & TANTANGAN TAHUN 2014


Berdasarkan ketentuan PP no. 42 tahun 2007 tentang “Waralaba” dan Permendag no. 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang “Penyelenggaraan Waralaba”,  setiap perusahaan waralaba wajib memiliki STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba). Dengan demikian, maka hanya perusahaan yang telah memiliki  STPW secara hukum sah sebagai waralaba.

Dari analisis data berdasarkan penerbitan STPW sampai dengan 13 Desember 2013 yang dihimpun dari Kementerian Perdagangan, baru 125 perusahaan waralaba yang telah mendapatkan STPW.  Patut dicatat, data ini belum termasuk STPW yang diterbitkan Pemerintah Daerah. Namun demikian, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan tersebut sudah dapat diperoleh gambaran tentang waralaba di Indonesia, yaitu, Pemberi Waralaba Luar Negeri menguasai 60% dan Pemberi Waralaba Dalam Negeri hanya 2,4%.

Bila dilihat dari jenis/bidang usaha, jumlah waralaba makanan/minuman adalah yang terbesar (49,6%). Dikuti oleh kategori ritel (24%)  dan pendidikan (20,8%). Bidang-bidang usaha tersebut, sebagian terbesar dikuasai pula oleh yang bermerek asing.

Dari data di atas    menunjukan bahwa pasar Indonesia didominasi oleh Pemberi Waralaba asing.  Mengapa hal ini terjadi? Utamanya karena adanya ketentuan, antara lain, laporan keuangan Pemberi Waralaba wajib diaudit Akuntan Publik dan membuka laporan keuangannya ke publik pula (terkecuali Usaha Kecil & Mikro).  Akibatnya, hanya perusahaan waralaba asing dan menengah nasional ke atas yang “mampu” melakukannya. Sedangkan perusahaan waralaba kategori menengah ke bawah, cenderung mengalihkan usahanya ke skema Lisensi dan Kemitraan (Lihat buku tulisan Amir Karamoy, “Percaturan Waralaba Indonesia”, 2013).

Apakah hal ini berdampak negatif terhadap perkembangan waralaba di Indonesia? Jawabannya tidak!  Karena waralaba secara kualitatif semakin baik, walaupun secara kuantitas menurun.  Dengan demikian, waralaba menjadi suatu skema investasi di sektor riel, prospeknya semakin terbuka. 

Sehubungan dengan itu, hal yang harus menjadi perhatian pada tahun 2014, adalah bagaimana mendorong pertumbuhan Pemberi Waralaba Dalam Negeri sebanyak-banyaknya (termasuk UKM),  melalui  pembentukan Indonesian Franchise Development Center (IFDC) yang pendanaannya diperoleh, antara lain,  dari program CSR BUMN.  Selain memperkuat pasar domestik,  IFDC mendorong waralaba Indonesia berkiprah di pasar global. 

Ini adalah tantangan ke depan agar pengusaha waralaba nasional/lokal  tetap menguasai pasar domestik, sekaligus menjadi tuan rumah yang baik memasuki tahun 2015 (era Economic ASEAN Community). 

Tidak ada salahnya kita meniru  Malaysia, dimana setiap perusahaan nasionalnya yang beralih ke waralaba mendapatkan pendanaan dan pelatihan yang difasilitasi Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi & Kepenggunaan, melalui PNS (Perbadanan Nasional Berhad).  Bahkan ada rencana PNS akan mengusulkan kepada Pemerintahnya untuk membuat kebijakan yang memberikan kemudahan bagi para ahli waralaba Indonesia (termasuk yang berpengalaman praktek) untuk bekerja di negara jiran tersebut. Ini menunjukan komitment yang kuat dari Pemerintah Malaysia mendorong dan mengembangkan waralabanya.

Tabel 1
Kategori Waralaba
(n = 125)

Pemberi Waralaba Luar Negeri          
                             60,0%
Pemberi Waralaba Dalam Negeri
                                2,4%
Penerima Waralaba
                              32,8%
Pemberi Waralaba Lanjutan Luar Negeri
                                2,4%
Penerima Waralaba Lanjutan
                                2,4%

TABEL 2
Jenis/Bidang usaha
(n = 125)

Makanan & Minuman
                             49,6%
Ritel
                             24,0%
Pendidikan
                             20,8%
Jasa perbaikan
                               6,4%
Hotel
                               1,6%
Real Estate
                               0,8%


Jakarta, 18 Desember 2013

Rabu, 12 Juni 2013

WARALABA DALAM RUU PERDAGANGAN

Oleh

AMIR KARAMOY
Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi & Kemitraan
KADIN – INDONESIA dan Ketua Dewan Pengarah WALI


DPR menghendaki RUU Perdagangan menjadi payung bagi UU sektoral. Bila ada ketentuan dalam UU sektoral yang bertentangan dengan RUU Perdagangan yang telah diundangkan, maka yang akan digunakan adalah UU Perdagangan. Pendeknya, UU Perdagangan diharapkan akan menjadi referensi utama peraturan perundangan perdagangan, baik secara horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu ada itikad dan tekad yang kuat dari lembaga legislatif, RUU ini dibahas secara intensif dan ekstensif  dengan memperhatikan serta mempertimbangkan  masukan dari semua pihak.

Kehadiran UU Perdagangan memang menarik. Karena sebelumnya sudah banyak UU dan PP (Peraturan Pemerintah) yang terkait dengan perdagangan diberlakukan lebih dahulu.  Oleh karenanya, potensi terjadinya pertentangan  dengan UU dan PP yang terkait perdagangan yang sudah lebih dahulu diterbitkan,  peluangnya cukup besar.

Hal yang tampaknya krusial dari RUU Perdagangan, adalah  aspek relevansi pengertian suatu ketentuan hukum. Karena RUU ini mengutib mentah-mentah norma  dalam PP yang lebih dahulu terbit – khususnya  PP yang pembentukannya (construct) dimotori Kementerian Perdagangan.   Contohnya pengertian  waralaba pada penjelasan pasal 5 RUU dikutib mentah-mentah dari PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba.  Pengutiban boleh saja,  tetapi bila pengertian hukum yang dikutib dari PP tidak tepat dan relevansi pengertiannya salah, maka  pasti akan menanam masalah ke depan.  Mengapa? Karena, seperti disebut di atas,  UU  Perdagangan akan menjadi sumber referensi hukum yang utama. Oleh karenanya, dapat dipastikan setiap regulasi waralaba nantinya  baik dalam bentuk  PP, Perda atau Permen ke depan, pasti ngawur.  Karena norma hukum dari UU  yang menjadi sumber acuan,  seperti telah disebut di atas, dikutib mentah-mentah dari PP yang ngawur.

Oleh sebab itu saya menolak pendapat yang mengatakan bahwa materi muatan “teknis” yang masuk dalam ruang lingkup peraturan di bawah UU tidak perlu dimuat dalam RUU Perdagangan. Karena, UU hanya memuat  ketentuan pokok.  Pendapat di atas, bagi saya,  hanya menunjukan “kemalasan” dan “miskinya pengetahuan” dari yang berpendapat demikian.  Setiap RUU harus dibahas dengan  mempertimbangkan aspek relevansi dari setiap norma hukum.  Bukan dengan hanya mengambil norma yang sudah ada, tanpa melakukan kajian  apakah norma  yang dikutib tersebut sudah benar dan pengertiannya masih relevan dengan perjalanan waktu ke depan.

* * *

Seperti dicantumkan dalam RUU Perdagangan, waralaba adalah sub-bagian dari peredaran barang dan jasa. Secara teknis hal ini tidak sepenuhnya salah. Namun, patut diketahui bahwa,  core business  waralaba, khususnya tipe yang paling berkembang saat ini,  business format franchising, sebetulnya adalah penjualan portofolio waralaba, yaitu merek dan sistem bisnis yang telah teruji,  ke publik. Misalnya, bila kita berkunjung ke pameran waralaba dimanapun di dunia ini, yang dipamerkan dan ditawarkan bukan produk/jasa, tetapi merek dan peluang usaha serta prospek keuntungannya atau tingkat return-nya.

Penjelasan RUU Perdagangan tentang waralaba – seperti disebut di atas – dikutib langsung dari PP no. 42 tahun 2007 yang menyebutkan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki  oleh orang perseorangan atau badan usaha dengan ciri khas  usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa dan seterusnya. Hak khusus dalam pengertian PP di atas, adalah identik dengan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil. Saya menduga, pengertian di atas pembentukan normanya direkayasa untuk membenarkan bahwa waralaba adalah bagian dari peredaran barang/jasa  yang secara jurisdiksi berada di Kementerian Perdagangan.   

Kalau kita menoleh ke belakang memperlajari pengertian waralaba dalam  PP no. 16 tahun 1997 tentang Waralaba yang telah dicabut dan digantikan oleh PP no. 42 tahun 2007, disebutkan: Waralaba adalah pemanfaatan/penggunaan HKI atau penemuan atau ciri khas usaha dan seterusnya.    Bila dibandingkan, antara ke dua PP di atas,  maka jelas ada pergeseran pengertian waralaba. Yaitu, pada PP no. 16 disebutkan waralaba adalah HKI dan di PP no. 42 hak khusus. Saya berpendapat, hanya hak khusus dalam pengertian waralaba tidak utuh, di samping  tidak jelas dasar hukumnya. Pengertian waralaba yang utuh dan relevan adalah mencantumkan HKI.  Karena dasar hukumnya jelas, yaitu UU terkait HKI.

Oleh sebab itu, saya menyarankan, sebaiknya pengertian waralaba dalam RUU Perdagangan mencantumkan HKI dan hak khusus (sistem bisnis) sekaligus. Waralaba itu ibarat dua sisi koin, yaitu HKI (lisensi merek) di satu sisi dan sistem bisnis yang telah terbukti berhasil (a proven system of business) pada sisi lain.

Kemudian, perlu dijelaskan pula  bahwa waralaba adalah kemitraan  antara dua pihak yang setara dan independen, yaitu antara pewaralaba (franchisor) dengan terwaralaba (franchisee), berdasarkan perjanjian waralaba.  Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini,   membangun company owned outlet/unit,  sebetulnya bukan waralaba.

Mengingat PP dan Permendag tentang Waralaba yang berlaku sekarang mengatur tentang kewajiban pewaralaba melakukan disclose dalam penawaran waralaba (franchise offering) ke publik dan laporan keuangan harus diaudit oleh akuntan publik (kecuali usaha mikro dan kecil), maka dalam RUU Perdagangan perlu pula dimasukan ketentuan tentang kewajiban memiliki prospektus  penawaran waralaba (disclosure document) untuk memperkuat landasan hukum dari PP. Dengan diwajibkannya waralaba memiliki prospektus penawaran waralaba dan audit laporan keuangan oleh akuntan publik, mengindikasikan  bahwa waralaba adalah pula suatu skim investasi –  bukan semata-mata peredaran barang dan jasa.

Kesimpulan dari tulisan ini, saya ingin mengatakan dalam pembentukan perundang-undangan jangan mengabaikan hal-hal “teknis”.  Bila mengutib PP yang sudah lama diterbitkan, cermati normanya apakah pengertiannya sudah benar dan masih relevan.

Sebelum mengakhiri tulisan singkat ini, saya ingin berpesan kepada pembentuk UU Perdagangan, jangan anggap enteng waralaba  yang pada tahun 2010 penjualannya mencapai Rp. 140 trilyun per tahun, membuka sekitar 1,5 juta lapangan kerja dan menciptakan 300 ribuan pengusaha, yang sebagian besar adalah kecil dan menengah.


Jakarta, 26 Mei 2013










Jumat, 17 Mei 2013

FRANCHISE OUTLOOK


USAHA MIKRO DAN KECIL AKAN TERSINGKIR DARI WARALABA

Ø  Apa dan bagaimana Franchise Oulook pasca diberlakukannya regulasi waralaba  yang diterbitkan pada sekitar pertengahan 2012 dan awal 2013 ke depan?  Tampaknya akan terjadi perubahan peta waralaba yang cukup signifikan.  Antara lain, tersisihnya usaha Mikro dan Kecil dari waralaba yang akan lebih didominasi oleh perusahaan menengah dan besar – baik sebagai Pewaralaba (franchisor) maupun Terwaralaba (franchisee).

Ø  Hal ini karena, ketentuan dalam Permendag no. 53/2012 tentang “Penyelenggaraan Waralaba” menyebutkan bahwa Laporan Keuangan Pewaralaba yang dimuat dalam Propektus Penawaran Waralaba wajib diaudit oleh Akuntan Publik, kecuali usaha Mikro dan Kecil.  Kewajiban audit ini, akan meningkatkan kepercayaan (crediblilty) dari para investor (franchisees) kepada Pewaralaba Menengah dan Besar.   Sedangkan Pewaralaba yang Laporan Keuangannya tidak diaudit (yaitu usaha Mikro dan Kecil), hampir dipastikan akan sulit mendapatkan kepercayaan dari para investor.

Ø  Akibat rendahnya kepercayaan (less confidence) investor tersebut, maka sudah dapat diperkirakanakan Pewaralaba Mikro/Kecil akan –  cepat atau lambat –  tergusur dari skema waralaba

Ø  Kemudian, Permendag no. 07/2013 tentang “Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman” pasal 5 angka (2) a menyebutkan, penyertaan modal dari Terwaralaba untuk nilai investasi kurang dari atau sama dengan Rp. 10 milyar, paling sedikit 40% (atau lebih kurang Rp. 4 milyar).  

Ø  Dengan adanya ketentuan Permendag  di atas, maka usaha Mikro dan Kecil dipastikan tidak akan mampu mengikut sertakan modalnya seperti dipersyaratkan. Mengapa? Karena seperti tertera dalam pasal 6 butir (1) dan (2) UU no. 20 tahun 2008, kekayaan bersih usaha Mikro paling banyak Rp. 50 juta (di luar tanah dan bangunan tempat usaha). Sedangkan Usaha Kecil, lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan paling banyak Rp. 500 juta (di luar tanah dan bangunan tempat usaha). 

Ø  Dengan demikian, seperti telah disinggung di atas, karena usaha Mikro/Kecil tidak akan mampu menyertakan modal dalam usaha waralaba yang berinvestasi besar, termasuk waralaba asing (lebih kurang Rp. 4 milyar) maka, Terwaralaba Mikro/Kecil dipastikan akan tersisih dari skema waralaba.

Ø  Ke depan, usaha Mikro dan Kecil akan lebih memilih skema Lisensi (merek) atau Kemitraan, karena relatif persyaratan dan ketentuannya dapat dipenuhi.  Patut dicatat, dalam kenyataannya, Kemitraan (termasuk yang berbasis Shariah) yang dalam prakteknya mirip waralaba, sudah banyak dijalankan oleh usaha Mikro/Kecil saat ini.

Ø  Adapun perkembangan waralaba ke depan, secara kualitas akan semakin membaik, namun secara kuantitas akan menurun. Dengan adanya kewajiban disclose dan audit laporan keuangan, waralaba cenderung menjadi skema investasi di sektor riel.  Oleh sebab itu, ke depan, disarankan, sebaiknya waralaba diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), karena waralaba bukan semata-mata peredaran dan/atau penjualan barang/jasa secara langsung maupun tidak langsung dari produsen ke konsumen seperti dimuat dalam RUU Perdagangan.

Ø  Kemudian, pertumbuhan Lisensi (Merek) dan Kemitraan akan semakin marak seperti diatur oleh UU Merek dan UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah – melebihi pertumbuhan waralaba.

Ø  Prospek perubahan peta waralaba seperti diuraikan di atas, adalah konsekwensi logis dari diterbitkannya regulasi waralaba yang baru. Sejauhmana relevansi dan kualitas regulasi yang baru ini, tampaknya perlu dipertanyakan dan didiskusikan.


Jakarta, 17 Mei 2013
     




            AMIR KARAMOY
Ketua Dewan Pengarah WALI
           dan Ketua Komite Tetap Waralaba, Lisensi
           & Kemitraan KADIN – INDONESIA

Senin, 18 Februari 2013

PERMENDAG NO. 07/2013 TENTANG WARALABA JASA MAKANAN DAN MINUMAN RENTAN DIUJI MATERI DI MAHKAMAH AGUNG


Sejak tahun 1995, saya sudah menggagas perlunya pembatasan gerai waralaba milik sendiri (company owned stores). Hal ini ditulis dalam buku saya yang berjudul “Sukses Usaha Lewat Waralaba” pada halaman 153 (diterbitkan oleh PT. Jurnalindo Aksara Grafika – Bisnis Indonesia).  Dasar pemikirannya, adalah: (1)  Membangun gerai milik sendiri menyalahi konsep waralaba; (2) Berpotensi terjadinya “penguasaan pasar” oleh satu atau lebih individu atau perusahaan, dalam kedudukannya sebagai franchisor (pemberi waralaba) atau master-franchise (pemberi waralaba atau penerima waralaba), baik asing maupun lokal.

Kemudian baru saya ketahui bahwa Asosiasi Waralaba Amerika (American Franchise Association), pernah pula mewacanakan pembatasan jumlah gerai milik sendiri. AFA menyebutkan jumlahnya dibatasi 20 gerai saja.

Gagasan pembatasan ini,  pernah saya usulkan ketika merumuskan PP no. 42 tahun 2007 tentang Waralaba, tetapi tidak ditanggapi oleh sang pembuat regulasi.   Kalau tidak salah, hanya KPPU yang  mendukung usulan tersebut.

Pada awal 2012 pada suatu rapat di Kementerian Perdagangan, ketika membahas revisi permendag no. 31 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, seorang pejabat Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, mengatakan kepada saya, bahwa Pemerintah akan mengeluarkan regulasi untuk membatasi gerai waralaba milik sendiri. Dikatakannya pula, pembuatan regulasi ini terinspirasi oleh gagasan saya.  Ujarnya, yang akan dibatasi adalah sektor ritel dan rumah makan/minum. Alasannya, karena kedua sektor ini yang paling berkembang pesat.

Ketika itu saya mengatakan, tidak ada aturan waralaba di dunia yang khusus mengatur sektor per sektor.  Karena, waralaba bukan produk tetapi sistem bisnis.  Oleh karenanya dapat dipraktekan di hampir semua sektor perdagangan.  Saya juga menyarankan, sebaiknya revisi pemendag no. 31 tahun 2008 (yang kemudian diganti dengan permendag no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba), mencantumkan aturan pembatasan gerai waralaba milik sendiri yang berlaku untuk semua sektor perdagangan, jadi tidak terbatas pada ritel dan rumah makan/minum saja. Sayangnya, saran itu hanya menjadi angin lalu. Untuk diketahui, permendag no. 53 tahun 2012 diterbitkan pada bulan Agustus 2012.

Pada akhir tahun 2012, Kementerian Perdagangan menerbitkan  Permendag no.  68 tahun 2012 tentang Waralaba Untuk Jenis Usaha Toko Modern, yang membatasi jumlah gerai yang dimiliki pemberi waralaba dan penerima waralaba, paling banyak 150.  Sayang, tidak ada “reasoning” mengapa 150?   Sebagai catatan saja, saya tidak diikut sertakan dalam pembuatan permendag ini (juga permendag no. 07 tahun 2013).

Pada awal tahun 2013, Pemerintah menerbitkan lagi Pemendag no. 07 tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan Dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman, yang membatasi jumlah gerai restoran/rumah minum/bar/kafe waralaba milik sendiri, paling banyak 250 gerai. Sayang, sekali lagi, tidak ada alasan ilmiah maupun hukum mengapa dibatasi 250?

Seperti disampaikan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, tujuan dari pembatasan ini untuk lebih mendorong dan memfasilitasi UKM dan pengusaha di daerah terlibat dan ikut mencicipi buah manis pertumbuhan waralaba yang pesat di tanah air. Di samping, menghidari monopoli yang dilakukan oleh perusahaan waralaba besar,  baik asing maupun lokal.

Namun, dalam kajian saya, khusus tentang Permendag no. 07/2013 yang mengatur kerjasama dengan pola  penyertaan modal (pasal 5 huruf 1), sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pembatasan itu sendiri  –  justru  berpotensi mendorong perusahaan waralaba restoran dan rumah minum (khususnya asing dan lokal yang besar), berlomba-lomba membangun gerai yang dimiliki dan dikuasai (control) oleh kelompoknya.  Para UKM dan publik yang ikut menyertakan modal  (30% - 40%), hampir dipastikan, hanya akan menjadi mitra pasif atau “penonton”.

Sungguhpun, dalam permendag tersebut disebutkan bahwa penyertaan modal paling sedikit 30% - 40%, berarti dapat melebihi jumlah tersebut, namun berdasarkan logika bisnis, pihak pemberi waralaba dan penerima waralaba besar (asing dan lokal), pasti akan lebih menyukai penyertaan modal UKM dan publik, tetap “minoritas” atau kurang dari 50%. Mengapa? Karena dengan menguasai 60% (mayoritas), perusahaan waralaba rumah makan/minum besar (asing dan lokal) tadi, akan sepenuhnya  mengontrol dan tetap “memiliki” gerai waralabanya. 

Berbeda dengan apabila UKM (atau publik) menguasai seratus persen kepemilikan gerai, maka  sepenuhnya control berada dalam kendali UKM dan publik. Dimana, perusahaan besar, lebih berfungsi sebagai pendamping sekaligus konsultan yang  memberikan bimbingan untuk keberhasilan  gerai waralaba – yang sepenuhnya dimiliki UKM atau publik.

Jadi, saya berpendapat, akibat ketentuan opsi pernyertaan modal, masalahnya berpindah dari kepemilikan  gerai tunggal yang berpotensi melakukan terjadinya persaingan tidak sehat, menjadi kepada kepemilikan bersama, namun tetap dikuasai oleh pemberi waralaba (asing dan lokal yang besar).  Sedangkan, UKM atau publik yang ikut menyertakan modal 40% (minoritas), cenderung hanya akan menjadi penonton. Mengapa? Karena, seperti ditulis di atas, dengan penguasaan 60% (mayoritas), hampir pasti akan mengontrol operasional gerai dan arus kas perusahaan/gerai.  Hal ini, jelas keluar dari salah satu prinsip waralaba, yaitu dalam rangka mendorong tumbuhnya wirausaha yang mandiri.

Bila saya berandai menjadi pemberi waralaba asing atapun waralaba lokal yang besar maka akan berlomba-lomba memilih opsi kemitraan dengan penyertaan modal, daripada diwaralabakan. Karena, bila saya membangun gerai milik sendiri harus mengeluarkan modal 100%, dengan opsi pernyertaan modal hanya 60% (lebih murah). Tidak hanya murah,  tetapi saya masih “memiliki” gerai tersebut dan sepenuhnya mengontrol.

Apa makna dibalik argumen di atas, adalah, bahwa UKM dan publik adalah pihak yang memberikan “subsidi”  bagi berkembangnya gerai-gerai milik sendiri (company owned outlet) jenis usaha jasa makanan dan minuman (perusahaan asing dan lokal yang besar) di Indonesia. Tragis bukan?

Oleh sebab itu, saya harus mengatakan, bahwa kehendak baik Menteri Perdagangan untuk mendorong dan melibatkan UKM dan publik dalam waralaba, justru tidak tercapai. Yang berpotensi terjadi – sekali lagi – perusahaan waralaba asing (dan lokal yang besar), akan lebih banyak lagi membangum gerai-gerai waralaba yang pada dasarnya adalah “miliknya”.

Apabila saja Permendag ini menetapkan keturut sertaan UKM dan publik paling sedikit 51%, maka ceritanya akan lain. Karena kedudukan UKM dan publik akan jauh lebih kuat.

Mengapa opsi pola penyertaan modal ditawarkan dalam permendag no. 07 tahun 2013, bukan diwaralabakan saja, titik? Karena ada asumsi yang meragukan bahwa  UKM tidak memiliki cukup dana untuk menguasai 100%  atau bahkan 51%.  Saya berpendapat, asumsi tersebut sama sekali tidak berdasar, karena   menyimak pasal 6 UU no. 20 tahun 2008, disebutkan bahwa kekayaan bersih usaha kecil antara Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta. Dan usaha menengah berkisar antara Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 10 milyar (di luar tanah dan bangunan).  Dengan demikian bila nilai investasi gerai Rp. 10 milyar, maka  untuk usaha menengah, berdasarkan kriteria pasal 6 di atas, tidak ada masalah.  Sedangkan untuk usaha kecil, dapat sesamanya bergabung untuk mengumpulkan modal  atau mendapatkan kredit dari bank. Dari pengalaman, bank akan dengan senang hati menyalurkan kredit untuk usaha waralaba, terlebih waralaba yang menyandang merek terkenal. Mengapa? Karena merek terkenal menjamin tersedianya pasar, artinya dari aspek arus kas perusahaan/gerai relatif tidak ada masalah.

Maka bila ada anggapan bahwa UKM dananya  sangat terbatas, oleh sebab itu, jalan keluarnya dibuat opsi penyertaan modal, adalah tidak tepat dan tidak benar.

Dari sisi hukum, secara hirarki peraturan perundangan-undangan, permendag tidak boleh bertentangan dengan UU di atasnya, yaitu UU no. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah.  Dari kajian saya, permendag ini jelas bertentangan dengan UU yang berada di atasnya, termasuk dengan induknya, yaitu Pemendang no. 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Contohnya, dalam pasal 35 UU no. 20 tahun 2008, disebut bahwa, Usaha besar dilarang memiliki dan/atau menguasai usaha mikro, kecil dan menengah sebagai mitra usahanya.  Opsi penyertaan modal dalam permendag no. 07 tahun 2013, jelas bertentangan ketentuan UU tersebut.  Di samping itu, pada pasal 7 permendag no 53 tahun 2012 ditulis, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk pemberi waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba, baik langsung  maupun tidak langsung. Opsi penyertaan modal dipastikan akan mempraktekan hubungan pengendalian secara langsung ataupun tidak langsung antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. Jadi, kesimpulannya, sesama permendag yang mengatur waralaba, bertentangan.

Dari uraian singkat ini, saya menyarankan sebaiknya Menteri Perdagangan menarik permendag no. 07 tahun 2013, untuk disempurnakan lagi. Agar tidak dilakukan uji materi di Mahkamah Agung



Jakarta, 18 Februari 2013

Minggu, 23 Desember 2012

ALI SADIKIN DAN JOKOWI


Gagasan dan rencana Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) untuk menata kembali perkampungan (kumuh), bukanlah suatu hal yang baru.  Pada tahun 1930, pemerintah kolonial Belanda telah menjalankan program semacam ini bernama  “Kampong Verbetring” (Perbaikan Kampung).

Pada jaman Gubernur Ali Sadikin, program ini dihidupkan kembali dengan nama “Proyek Moh. Husni Thamrin” yang memperoleh penghargaan dunia, antara lain mendapatkan  Agha Khan Award dan bantuan finansial dan teknis  dari Bank Dunia.  Program ini menarik perhatian dunia, karena  mempraktekan prinsip “membangun tanpa menggusur” di wilayah kumuh perkotaan besar.

Pada awal tahun 70an, ketika saya aktif sebagai mahasiswa yang tergabung dalam IMADA (Ikatan Mahasiswa Djakarta), atas inisiatif teman dekat saya, Chaidir Makarim dan persetujuan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ketika itu – kami menyelenggarakan evaluasi program Moh. Husni Thamrin.

Kemudian atas permintaan Ali Sadikin pula, IMADA diminta untuk mengisi kegiatan HUT Kota Jakarta. Salah satu usulan IMADA yang disambut antusias oleh  Ali Sadikin adalah menyelenggarakan “malam muda-mudi” dan karnaval di jalan Thamrin yang pada malam hari ditutup untuk semua kendaraan bermotor. Istilahnya sekarang, seperti yang dikatakan Gubernur Jokowi “car free nite”. 

Di sepanjang jalan Thamrin didirikan panggung-panggung pertunjukan musik (band), pertunjukan kebudayaan Nusantara dan sebagainya. Kegiatan utama pada malam itu adalah  “dancing in the street”. Dimana anak-anak muda (dan orang dewasa) bergembira, bernyanyi dan menari di sepanjang jalan.

* * *

Kembali tentang program perbaikan kampung, pada awal tahun 80an Bank Dunia mengucurkan dana dalam rangka monitoring dan evaluasi KIP (Kampung Improvement Program) di Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang (Makasar) dan beberapa kota lainnya untuk selama 4 tahun. Kebetulan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Sosial dan Ekonomi) ditunjuk sebagai penyelenggaranya, dimana saya menjadi  Project Manager.

Hasil monitoring dan evaluasi KIP ini mengungkapkan  bahwa:

SATU
Dampak ekonomi dalam arti meningkatnya kesejahteraan masyarakat setempat akibat   perbaikan kampung, tidak signifikan. Artinya, tidak ada korelasi positif antara perbaikan kampung dengan turun atau meningkatnya ekonomi masyarakat setempat

      DUA
      Dampak sosial yang cukup signifikan adalah tertatanya lingkungan hidup (kondisi    
      pisik perkampungan) yang lebih baik

     TIGA 
   Timbul niat  dari sebagian masyarakat untuk menjual tanah dan bangunan/rumah yang         harganya meningkat, akibat perbaikan lingkungan pisik kampung
   
     EMPAT 
  Perlu dibangun tanggung jawab kolektif masyarakat  terkait  dengan pemeliharaan       pembangunan fisik dan lingkungan hidup (khususnya menggalakkan program penghijauan)

      LIMA   
   Perlu dibentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, agar masyarakat dapat mengatur dan mengorganisasi dirinya sendiri, tanpa terlalu tergantung kepada pihak lain (termasuk pemerintah kota).

Apa yang dikerjakan gubernur Jokowi patut didukung.  ”Let’s learn from the past for the brighter future..…”



Jakarta, 23 Desember 2012





Sabtu, 01 Desember 2012

THE NEW FRANCHISE REGULATION (2)

The second franchise regulation has just been published on October 29, 2012 is about “Franchise for Modern Shop” (Permendag no. 68/2012). This regulation specifies on the retail modern shop which may only have 150 companies owned and operated by the franchisor or master franchise.  The rest should be franchised and owned (and operated) by another party or public.  

For example, when the franchisor of the modern retail shop, before the regulation is published have already 500 companies owned stores, then the rest (350 stores) should be converted to franchise stores in the next 5 years.

According to the International Franchise Association (IFA), a regulation limiting number of company owned units is the first to be practiced in Indonesia.  In my book titled “Successful Business through Franchising” (Sukses Usaha Lewat Waralaba) which was published in 1996 (page 153), I had written about the need of limiting the growth of company owned units in franchising. To avoid a dominant position by one or two companies that could potentially dictate the market as well as inclining anti-competition. Therefore, violating the law on prohibiting unfair competition.

The issuance of this limitation, bring to the local franchise retails the most disadvantage, such as Alfa Mart and Indo Mart. As regard to my professional advice, the regulation should not be applied retroactively. But unfortunately was rejected by the Ministry of Trade for unclear reason.  However, the foreign franchises, e.g. 7 Eleven, Circle K, Lotte, Giant, Carrefour and others will not come to any harmed.

The next regulation which will be issued soon by the government is about the “Restaurant and Café/Tavern Franchise”. In this upcoming regulation the restriction on the number of company owned will also be applied.

Most likely the number of restaurant and café/tavern owned companies will be limited to 150 or 200.

When the restriction is applied, then that foreign franchise restaurants and café/tavern such as McDonalds, KFC, Starbucks and others will be most affected.

I wonder if the foreign franchise will bring this matter to the Supreme Court for judicial review.


Jakarta, 1st December 2012


Kamis, 11 Oktober 2012

THE NEW FRANCHISE REGULATIONS IN INDONESIA


Of the two proposed regulations on franchising, one has been issued, namely the Minister of Trade Decree no. 53 year 2012 concerning the “Implementation of Franchising”. This regulation was recently published (last August this year). This new regulation replaces the previous rule no. 31 year 2008.

The essence of this trade ministerial regulation is matters in using and selling domestic product (should be at least 80%) and financial statements of each franchisor/master franchise that should be audited by a public accountant.  And each franchise companies should put a special logo. Which (according the Ministry of Trade) will enable to distinguish between a franchise and non-franchise.

In addition, independent teams will be formed, namely the Assessment and Supervisory teams.  Those teams will guide and supervise the practices of franchises in the market place. The teams members will consist of businesses franchise communities, Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN) and WALI  (The Indonesian Franchising and Licensing Society).

The second franchise regulation is not published yet, it is about modern shops, restaurants, and café/coffee or tea shops. This regulation will set the limitation on the increase of company owned outlets   that owned and operated by the franchisor or master franchise.  It is planned that franchisor/master Franchise are permitted to have only 150 - 200 company owned outlets. The remaining (modern stores/restaurants/cafés) should be franchised.

However, the amount of 150 - 200 (especially modern retail shops) still being discussed. The Government has proposed 150 while the retail community at the most 200 owned stores.

The policy to limit the amount growth of modern shops owned units is to avoid a dominant position by one or two company (ies) that can potentially dictate the market as well as inclining anti-competition. Therefore, violating the law on prohibiting unfair competition and monopoly.  I heard that the transfer of owned outlets to franchise will be made within a certain period of time, say 2 years or 3 years. Meaning, if a franchisor who have already 500 owned stores, then as many as 300 or 350 must be converted into franchised outlets, who are owned by public or independent entrepreneurs / local companies within 2 – 3 years.

However, I’ve proposed that the above regulation should not be applied retroactively. Since, if the new regulation applies retroactively, it would potentially disturb the performance of franchisors that have already, say 300 or more owned stores. Why? For example, KFC a public company that offers its shares at the stock exchange, which already operates 300 owned restaurants, suddenly is being asked to sell 150 as many as 200 outlets to franchisees - it is definitely complicated task.   In practice is not easy to have good and professional franchisees, in the sense to find franchisees that have the same vision and mission as well as in line with the franchisor’s corporate culture

In addition, KFC – for example – which has planned to build 100 owned outlets next year, then not permitted to build outlets, that will clearly have a negative impact on its stock price and would harm their business.  Therefore, once again, I propose that the regulation should not be applied retroactively, so there was no need to convert into franchises. But, when the regulation (Permendag) is issued, all franchises must comply to the new rules, namely – I propose – to apply a ratio of 2 to 1. For every two owned outlets establishment, one franchise outlet must be built.

I understand that Indonesia law does not apply retroactive principle.  If the government imposes this rule retroactively, I’m afraid the business community will bring this matter to the Supreme Court for judicial review.  I also believe, when it is applied retroactively it would certainly discourage (foreign) franchise investment in Indonesia. This should be avoided.

However, from the other perspective, based on the following reasons, I agree the restriction of company owned units growth in franchising i.e.: (1) Franchising is essentially the use of brand and a proven business system of the franchisor to the franchise. (2) Franchising is one way to encourage the development of (local) entrepreneurs. (3) Franchising is a method to expand the market in a responsible way by utilizing others capital.

From the definition above, it can be concluded that there are two independent parties involve and cooperate with each other.

So, basically a franchise is a partnership or business cooperation between franchisor with franchisee (or independent businessmen/companies). Therefore, in my opinion when only build company owned units, meaning to run franchise not in the right way and not legal. (If seeing from the perspective of PP no. 42 year 2007 and the new upcoming Permendag)


Jakarta, 2nd October 2012